AI Ciptakan Ilustrasi ala Studio Ghibli, Inovasi Visual atau Plagiarisme Digital?

  • 15 April 2025
  • VaniaS
  • 103

Belakangan ini, media sosial diramaikan oleh tren edit foto yang menampilkan gaya animasi khas Studio Ghibli. Tren ini memungkinkan pengguna mengubah foto biasa menjadi ilustrasi bernuansa film-film Ghibli hanya dalam hitungan detik, dengan bantuan artificial intelligence (AI).


Salah satu platform yang digunakan untuk menghasilkan gambar tersebut adalah ChatGPT, yang kini didukung oleh model terbaru GPT-4o dari OpenAI. Model ini dikenal sebagai salah satu generator gambar AI tercanggih saat ini.


Namun, tren ini tidak lepas dari kontroversi. Banyak warganet mengingatkan kembali pernyataan Hayao Miyazaki, pendiri Studio Ghibli, yang secara terbuka menyatakan penolakannya terhadap penggunaan AI dalam proses kreatif. Sikap kritis Miyazaki mencerminkan kekecewaannya terhadap tren ini, yang ia anggap merendahkan nilai seni dan kemanusiaan.


Kemajuan Teknologi, Tapi Etika Jangan Dilupakan


Penggunaan AI untuk meniru gaya Studio Ghibli menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, hal ini menunjukkan kemajuan luar biasa AI dalam memahami dan mereproduksi estetika visual yang kompleks. 


Disisi lain, jika tidak digunakan secara bertanggung jawab, dapat menimbulkan kekhawatiran soal pelanggaran hak cipta dan etika kreatif. Oleh karena itu, respon terhadap teknologi ini harus seimbang. Kita perlu mengapresiasi potensinya dengan tetap menjaga orisinalitas dan integritas karya seni.


Secara teknis, AI telah mencapai kemajuan signifikan dalam bidang generative art, khususnya dalam meniru gaya visual yang khas seperti milik Studio Ghibli. Dengan memanfaatkan teknik seperti deep learning, style transfer, dan diffusion models, AI dapat menghasilkan karya visual yang sangat mendekati estetika asli. 


Tetap perlu disadari bahwa kemampuan ini bukan tanpa batas, AI masih mengandalkan data pelatihan yang berasal dari karya manusia, yang berarti tantangan etika dan hukum masih perlu ditangani dengan bijak.


Inovasi atau Plagiarisme?


Jawabannya tergantung pada konteks penggunaan. Jika AI digunakan untuk eksplorasi kreatif, tujuan edukasi, atau sebagai alat bantu sambil tetap menghargai hak pencipta aslinya, maka kehadirannya dapat dianggap sebagai bentuk inovasi positif. Tetapi jika AI digunakan tanpa izin dan hasilnya dimanfaatkan secara komersial dengan mengklaim hasil sebagai karya orisinal, maka hal itu bisa dianggap sebagai plagiarisme. Di sinilah pentingnya kesadaran etis dan regulasi dalam penggunaan teknologi.


Risiko Banjir Konten dan Tergerusnya Karya Asli


Salah satu tantangan utama dari tren ini adalah potensi penyalahgunaan teknologi untuk menggantikan karya kreatif manusia tanpa penghargaan terhadap orisinalitas, serta risiko eksploitasi data tanpa izin. Maraknya karya tiruan munculnya karya imitasi dalam jumlah besar juga dapat mempengaruhi ekosistem industri kreatif dan mereduksi nilai kerja seniman. Maka, dibutuhkan regulasi yang jelas, pengawasan etika, serta literasi digital yang kuat agar AI berkembang sebagai alat pemberdaya, bukan perusak.


AI Jembatan Kolaborasi, Bukan Mesin Peniru


Pada bidang kreatif, AI sebaiknya tidak hanya dipandang sebagai alat untuk meniru, melainkan sebagai medium kolaboratif yang memperluas cakrawala ekspresi manusia. Dengan penggunaan yang bertanggung jawab, AI dapat membuka peluang baru dalam seni, desain, dan pendidikan kreatif. Akademisi memiliki peran penting untuk mengedukasi masyarakat, mengembangkan standar etika, serta menciptakan ekosistem yang seimbang antara inovasi teknologi dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dalam berkarya.


*) Fridy Mandita, S.Kom., M.Sc, Dosen Program Studi Artificial Intelligence Fakultas Teknik Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id

Vania

Reporter

\