Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Ajaran agama Islam senantiasa membawa kemudahan dan kelapangan. Salah satunya adalah diperbolehkannya mengulang shalat untuk menemani orang lain yang belum sempat melaksanakan shalat berjamaah. Dalam fiqih, tindakan ini dikenal sebagai shalat i’adah, yang hukumnya sunnah.
Bagi seseorang yang telah melaksanakan shalat berjamaah, diperbolehkan untuk mengulang shalatnya demi menemani orang lain agar mendapatkan keutamaan berjamaah. Hukum ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW.
Mengutip dari NU Online, suatu ketika di zaman Nabi Muhammad SAW, ada seseorang yang tertinggal shalat berjamaah di masjid. Ketika dia datang, shalat berjamaah sudah selesai. Nabi SAW kemudian bertanya kepada para jamaah, apakah ada yang bersedia menemani orang tersebut melaksanakan shalat. Salah satu jamaah pun bersedia untuk mengulangi shalatnya dan shalat bersama orang yang terlambat itu. Kisah ini diriwayatkan oleh sahabat Abu Sa’id Al-Khudri.
Dalam kisah tersebut seseorang yang bersedia menemani Shalat berjamaah adalah sahabat Abu Bakar As-Shiddiq. Sebagaimana riwayat Imam Al-Baihaqi: “Dan diriwayatkan dari Al-Hasan, dari Nabi saw dengan status hadits mursal berkaitan riwayat Abu Sa'id Al-Khudri ini: “Kemudian Abu Bakar ra berdiri lalu shalat bersama orang tersebut, padahal ia telah shalat berjamaah bersama Nabi saw.” (HR Al-Baihaqi).
Secara lugas, Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab mengatakan bahwa dalam hadits itu terdapat petunjuk atas kesunahan mengulangi shalat secara berjamaah bagi orang yang sebenarnya sudah melakukannya secara berjamaah pula. Meskipun jamaah yang kedua lebih sedikit daripada jamaah yang pertama. (An-Nawawi, Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, juz IV, halaman 221-222).
Berdasarkan kisah di zaman Nabi Muhammad SAW ini, hukum mengulang shalat untuk menemani orang lain adalah diperbolehkan, bahkan dianjurkan (sunnah). Hal ini berlaku untuk semua shalat fardhu, seperti Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan Subuh. (Azri)