Bagaimana Nasib Kurikulum Merdeka di Tahun Ajaran Baru?

  • 16 Desember 2024
  • 63

Kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) telah menjadi salah satu inovasi besar dalam pendidikan tinggi di Indonesia. Dengan tujuan memberikan pengalaman belajar yang beragam dan relevan, konsep ini, pada dasarnya, memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas lulusan. Namun, penerapannya di lapangan menghadirkan tantangan yang perlu mendapat perhatian serius agar manfaat yang diharapkan benar-benar tercapai.


Salah satu aspek positif yang tidak bisa diabaikan dari MBKM adalah bagaimana program ini mendorong mahasiswa untuk keluar dari zona nyaman. Contohnya, melalui program pertukaran pelajar, mahasiswa tidak hanya belajar materi akademik tetapi juga berinteraksi dengan budaya dan lingkungan baru. Pengalaman ini memperkaya wawasan dan keterampilan adaptasi mahasiswa. Saya setuju bahwa konsep ini secara fundamental sangat baik, terutama dalam menciptakan generasi muda yang tangguh dan multikultural.


Namun, di balik konsep yang bagus ini, ada persoalan implementasi yang perlu dievaluasi. Salah satu isu utama adalah penetapan target kuota mahasiswa yang harus mengikuti program MBKM. Misalnya, ketika sebuah program studi dipatok untuk mengikutsertakan minimal 10% dari total mahasiswanya dalam program MBKM, tantangan besar muncul dalam mencari tempat magang, pertukaran, atau kegiatan lain yang relevan.


Konversi SKS dan Relevansi Program

Kita harus memahami bahwa setiap mata kuliah memiliki capaian pembelajaran yang spesifik. Ketika mahasiswa ditempatkan di institusi atau perusahaan tanpa relevansi yang jelas dengan mata kuliah yang diambil, tujuan pembelajaran bisa melenceng. Misalnya, seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi ditempatkan magang di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) untuk memenuhi kuota 10% tersebut, dengan konversi 20 SKS. Pertanyaannya, bagaimana kegiatan magang tersebut berkontribusi terhadap capaian pembelajaran program studi Ilmu Komunikasi? Relevansi seperti ini sering kali diabaikan demi memenuhi target kuota.


Hal yang sama terjadi dalam program Kampus Mengajar. Ketika mahasiswa Ilmu Komunikasi mengajar di tingkat SD dan kegiatan ini dikonversi menjadi 20 SKS, benang merahnya dengan mata kuliah yang mereka pelajari menjadi tidak jelas. Apakah kegiatan mengajar di SD memberikan kontribusi signifikan pada kompetensi yang dibutuhkan di dunia kerja? Ataukah hanya sekadar memenuhi angka partisipasi yang ditargetkan tadi?


Pentingnya Pendekatan Sukarela

Untuk mengatasi masalah ini, saya mengusulkan agar MBKM bersifat sukarela, bukan diwajibkan dengan kuota tertentu. Pendekatan ini memberikan fleksibilitas bagi universitas dan program studi dalam mengelola program. Misalnya, jika ada lima mitra perusahaan atau institusi yang masing-masing membutuhkan dua mahasiswa, maka total kebutuhan hanya 10 mahasiswa. Kita bisa membuka lowongan kepada mahasiswa dengan kualifikasi tertentu dan menyaring mereka yang benar-benar siap dan sesuai untuk mengikuti program tersebut.


Pendekatan sukarela memungkinkan universitas untuk menempatkan mahasiswa di tempat yang relevan dengan program studi mereka. Selain itu, proses seleksi ini memastikan bahwa mahasiswa yang berpartisipasi adalah mereka yang memiliki potensi terbaik untuk memanfaatkan pengalaman tersebut. Institusi mitra juga diuntungkan karena mendapatkan mahasiswa yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan mereka.


Menghindari Dampak Negatif

Ketika program ini dilakukan secara terpaksa untuk memenuhi kuota, hasilnya sering kali tidak maksimal. Mahasiswa tidak mendapatkan pengalaman yang sesuai dengan bidang mereka, institusi mitra merasa terbebani, dan pada akhirnya tujuan utama MBKM yang memberikan pengalaman belajar yang relevan dan bermakna, menjadi tidak tercapai.


Selain itu, pendekatan yang berbasis kuota bisa mengurangi antusiasme mahasiswa. Jika mereka merasa program ini hanya menjadi formalitas atau sekadar untuk memenuhi angka, maka nilai dari pengalaman belajar tersebut menjadi kurang bermakna. Dengan sifat sukarela, mahasiswa yang benar-benar berminat akan mengikuti program dengan motivasi yang lebih tinggi, sehingga hasilnya lebih optimal.


Menjamin Capaian Pembelajaran

Setiap mata kuliah dalam kurikulum memiliki capaian pembelajaran yang harus dicapai mahasiswa. Ketika program MBKM disesuaikan dengan kebutuhan, proses evaluasi dan kajian terhadap kesesuaian program dengan capaian pembelajaran dapat dilakukan dengan lebih baik. Ini memastikan bahwa program MBKM tidak hanya menjadi kegiatan tambahan, tetapi benar-benar terintegrasi dalam kurikulum dan memberikan manfaat nyata bagi mahasiswa.


Konsep Kampus Merdeka sebenarnya sangat baik, tetapi pelaksanaannya harus dievaluasi dengan cermat. Target kuota yang diwajibkan justru berisiko mengurangi kualitas program. Oleh karena itu, saya mendukung pendekatan sukarela, di mana universitas dapat mengelola program ini secara lebih fleksibel dan relevan. Dengan demikian, MBKM tidak hanya menjadi program inovatif di atas kertas, tetapi benar-benar memberikan dampak positif bagi mahasiswa, institusi, dan masyarakat luas. (Boby)


Harjo Seputro, S.T., M.T. Wakil Rektor I Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id