Civil Society

  • 03 September 2018
  • latifah
  • 6090

Negara hukum memerlukan kehadiran civil society yang kuat. Roda demokrasi akan bergerak keluar rel hukum, jika tanpa kontrol civil society secara kritis. Civil society harus diperankan oleh lembaga swadaya masyarakat, media massa, lembaga pendidikan, serta organisasi keagamaan. Tanpa peran civil society yang kuat, bangunan negara akan bercirikan aristokrat-borjuis, yang tidak menyediakan tempat berlindung bagi rakyatnya.

Bramantyo dalam buku ‘’Demokrasi dan Civil Society’’ menjelaskan, civil sociey yang disepadankan oleh ilmuwan sosial politik di Indonesia sebagai ‘’masyarakat sipil’’, berasal dari bahasa Latin, civitas dei atau ‘’kota Illahi’’. Dari kata ini, kemudian dikenal istilah civilization atau peradaban; sehingga secara harafiah, civil society diartikan sebagai masyarakat yang beradab. Istilah civil society pertama kali diperkenalkan oleh Adam Ferguson, filsuf Skotlandia pada tahun 1767. Dalam bukunya An Essay on the History of Civil Society, Ferguson menggambarkan civil society sebagai sebuah masyarakat yang terdiri atas lembaga-lembaga otonom yang mampu mengimbangi kekuasaan negara.

Hal yang sama, juga dikutip oleh Bramantyo dari Larry Diamond dalam bukunya Developing Democracy toward Consolidation, yang mendefinisikan civil society sebagai lingkup kehidupan sosial terorganisir yang terbuka, sukarela, timbul dengan sendirinya atau self-generating, setidaknya berswadaya, otonom dari negara, dan terkait oleh suatu tatanan hukum atau seperangkat nilai-nilai bersama. Ia melibatkan warga yang bertindak secara kolektif dalam sebuah lingkup publik untuk mengekspresikan kepentingan-kepentingan, hasyrat, preferensi, dan ide-ide mereka, untuk bertukar informasi, untuk mencapai sasaran kolektif, untuk mengajukan tuntutan pada negara, untuk memperbaiki struktur dan perfungsian negara, dan untuk menuntut akuntabilitas pejabat negara.

Istilah civil society, yang kini sering diterjemahkan dengan ‘’masyarakat kewargaan’’ atau ‘’masyarakat madani’’, tampaknya semakin mendapat tempat di dalam wacana politik di Indonesia. Harus diakui, bahwa pemahaman atas terminologi tersebut masih akan terus berkembang dan karenanya persilangan pendapat menjadi tidak terelakkan. Sangatlah wajar, mengingat hal serupa juga terjadi di negara-negara yang sudah lebih lama mengenal dan menggunakan terminologi tersebut, baik dalam wacana ilmiah maupun keseharian. Berbagai keragaman pemahaman dan gagasan-gagasan orisinal diharapkan muncul, sehingga dapat menyumbangkan pemahaman yang lebih baik untuk konteks Indonesia.

Menurut Muhammad AS Hikam, sebagai sebuah konsep, civil society berasal dari proses sejarah masyarakat Barat. Akar perkembangannya dapat dirunut mulai Cicero dan bahkan, lebih ke belakang sampai Aristoteles. Yang jelas, Cicero lah yang memulai menggunakan istilah societes civilis dalam filsafat politiknya. Dalam tradisi Eropa sampai abad ke 18, pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian negara atau the state, yakni suatu kelompok atau kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat yang lain. Jadi istilah-istilah seperti koninonia politike, societas civilis, societe civile, buergerliche gesellschaft, civil society, dan societa civile dipakai secara bergantian dengan polis, civitas, etat, staat, state, dan stato. Pada saat J.J. Rousseau menggunakan istilah societas civile, dipahaminya sebagai negara yang salah satu fungsinya menjamin hak milik, kehidupan, dan kebebasan para anggotanya.

Dalam buku ‘’Demokrasi dan Civil Society’’, Bramantyo mengutip pendapat Eisenstadt, menyebutkan bahwa civil society meliputi empat komponen, yaitu:

Pertama, otonom dari negara.

Otonom dari negara berarti, civil society adalah masyarakat yang terlepas sama sekali dari pengaruh negara. Sifat otonom dari civil society ini seringkali dipahami secara keliru, bahwa civil society merupakan lawan dari negara. ‘’Otonom’’ di sini berarti civil societymerupakan arena bagi masyarakat untuk mengekspresikan kepentingan dan aspirasinya tanpa ada tekanan dan tidak berada di bawah pengaruh negara. Tegasnya, civil society untuk mengimbangi kekuasaan negara dan bukan sebagai lawan.

Keduaakses masyarakat terhadap negara.

Setiap individu dapat dengan bebas menyalurkan aspirasi mereka, baik kepada pejabat maupun lembaga-lembaga negara.

Ketiga, tumbuhnya arena publik yang bersifat otonom.

Bersamaan dengan tumbuhnya arena publik yang bersifat otonom, menjadikan berbagai macam organisasi sosial dapat berkembang dan mengatur diri mereka sendiri. Arena publik ini merupakan ruang yang tersedia, sehingga warga negara dapat mengembangkan dirinya secara maksimal dalam berbagai aspek kehidupan.

Keempat, tersedianya arena publik yang terbuka bagi semua lapisan masyarakat. Arena tersebut harus dapat diakses secara terbuka, tidak eksklusif, dan tidak dijalankan secara rahasia.

Sejalan dengan pemikiran di atas, Muhammad AS Hikam memberikan pengertian tentang civil society. Menurut Hikam, civil society dapat didefinisikan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan, antara lain: kesukarelaan atau voluntary, keswasembadaan atau self-generating dan keswadayaan atau self-supporting, kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Sebagai ruang publik, civil society merupakan suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan materiil, dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang publik yang bebas, tempat di mana transaksi komunikasi yang bebas dan dapat dilakukan oleh warga masyarakat.

Berdasarkan uraian tentang pengertian civil society di atas, maka civil society terwujud dalam berbagai organisasi atau asosiasi yang dibuat oleh masyarakat di luar pengaruh negara. Lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial dan keagamaan, dan kelompok-kelompok kepentingan atau interest groups merupakan pengejawantahan atau manifestasi kelembagaan civil society.

David Beetham dan Kevin Boyle dalam bukunya ‘’Demokrasi: 80 Tanya Jawab’’ menerangkan, unsur utama civil society, yaitu: ekonomi pasar; media komunikasi yang independen; faktor-faktor keahlian dalam semua aspek kebijakan pemerintah yang independen dari pengaruh negara. Yang terpenting, jaringan kelompok-kelompok sukarela yang berkembang secara leluasa pada semua bidang kehidupan sosial, dengan kewajiban orang-orang menangani urusan-urusan mereka sendiri. Pada saat dan tempat yang berlainan, kelompok-kelompok atau perkumpulan-perkumpulan tersebut memiliki arti penting tersendiri bagi pembelaan dan peningkatan kehidupan demokrasi. Apakah mereka termasuk dalam serikat-serikat buruh, organisasi-organisasi profesional, kelompok-kelompok wanita, organisasi-organisasi hak-hak asasi manusia dan pembangunan, lembaga-lembaga keagamaan, atau segala macam organisasi kemasyarakatan ‘’akar-rumput’’ atau grass-roots. Dalam lingkungan yang diwarnai kebebasan berekspresi dan berserikat, kelompok-kelompok seperti itu akan berkembang secara spontan, sebab orang-orang merasakan adanya kebutuhan akan tindakan kolektif untuk mengatur urusan-urusan mereka atau untuk membela dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka. Selain itu, kelompok-kelompok tersebut dapat juga didorong oleh pengakuan publik, misalnya pengakuan pada peranan konsultatif mereka dalam bidang-bidang penting menyangkut kebijakan pemerintah.

Bagi Indonesia, menurut Cornelis Lay, relevansi konsep ini tidak terbantahkan. Basis bagi tindakan kolektif, tersedia cukup memadai dalam masyarakat kita. Asosiasi ketetanggaan yang independen dari negara. Organisasi-organisasi non kelas yang berbasis lokal, universitas, pesantren, masjid, gereja, pura, dan sebagainya memiliki akar yang dalam di masyarakat kita. Demikian pula dengan aneka raut permukaan lainnya dari civil society yang merupakan hasil temuan yang lebih baru, lembaga swadaya masyarakat misalnya, sudah cukup meluas dalam masyarakat kita. Kesemuanya merupakan komponen-komponen dasar yang dapat membentuk civil society.

Sekalipun demikian, secara bertahap dapat disaksikan satu demi satu organ-organ kolektif di tingkat masyarakat yang membentuk civil society mulai memudar dikooptasi oleh negara atau terserap ke dalam bentuk-bentuk organisasi modern yang berada di bawah kendali negara. Akibatnya dapat disaksikan inisiatif yang bersifat lokal dan bersumber dari masyarakat menjadi peristiwa langka. Bahkan, warga masyarakat hampir-hampir kehilangan kemampuan untuk menyelesaikan berbagai tantangan yang dihadapinya.

Kondisi civil society mencapai titik yang paling parah di bawah Orde Lama, yang ditopang oleh upaya penguatan negara dilakukan dengan dukungan elite kekuasaan yang baru. Di bawah sistem Demokrasi Terpimpin, politik Indonesia didominasi oleh penggunaan mobilisasi massa sebagai alat legitimasi politik. Akibatnya, setiap usaha yang dilakukan oleh anggota masyarakat untuk mencapai kemandirian beresiko dicurigai sebagai kontra revolusi. Menguatnya kecenderungan ideologisasi politik telah mempertajam polarisasi  politik, sehingga merapuhkan kohesi sosial.

Pada era Orde Baru, melanjutkan upaya sebelumnya untuk memperkuat posisi negara di segala bidang. Hal ini tentu saja harus dibayar dengan merosotnya kemandirian dan partisipasi politik anggota masyarakat. Penetrasi negara yang kuat dan jauh, terutama lewat jaringan birokrasi dan aparat keamanan, telah mengakibatkan semakin menyempitnya ruang-ruang bebas yang dulu pernah ada. Akibatnya, kondisi civil society dan pertumbuhannya di bawah Orde Baru menampilkan berbagai paradoks. Misalnya, semakin berkembangnya kelas menengah, yang seharusnya bertambah mandiri sebagai penyeimbang kekuatan negara, seperti yang terjadi di negara-negara Barat. Kenyataannya, kelas menengah yang tumbuh ternyata memiliki ciri yang berbeda dengan yang tumbuh di Barat akibat proses modernisasi, yaitu adanya ketergantungan yang sangat tinggi terhadap negara.

Uraian di atas menunjukkan, betapa pentingnya keberadaan civil society yang dianggap sebagai syarat kemungkinan pembangunan demokrasi akan muncul. Ciri-ciri yang perlu diperhatikan dalam usaha perwujudan kehidupan demokratis di Indonesia, yaitu terwujudnya civil society sebagai ‘’partisipasi rakyat’’ yang merupakan cita-cita demokrasi. Sejalan dengan pemikiran ‘’dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’’, maka demokrasi yang dicita-citakan yaitu demokrasi bersifat partisipatoris atau participatory democracy.

Menurut David Held dalam bukunya Models of Democracy seperti dikutip oleh Aidul Fitriciada Azhari menjelaskan, bahwa model participatory democracy dijabarkan sebagai berikut:

Pertama, prinsip-prinsip justifikasi.

Hak yang sama pada kebebasan dan pengembangan diri hanya dapat dicapai dalam suatu ‘’masyarakat partisipatif’’, suatu masyarakat yang memelihara perhatian pada masalah-masalah kolektif dan memberikan kontribusi pada pembentukan pengetahuan yang luas bagi rakyat dalam memelihara kepentingan yang berkelanjutan dalam proses pemerintahan.

Kedua, ciri-ciri umum.

1). Partisipasi rakyat secara langsung dalam regulasi lembaga-lembaga sosial yang penting, termasuk tempat kerja dan komunitas lokal. 2) Reorganisasi sistem kepartaian  dengan menciptakan pejabat partai yang bertanggung jawab langsung pada anggota partai. 3) Bekerjanya ‘’partai partisipatif’’ dalam struktur parlemen atau kongresional, memelihara sistem kelembagaan yang terbuka untuk mendorong kemungkinan bagi eksperimentasi bentuk-bentuk politik yang baru.

Ketiga, kondisi umum.

1) Perbaikan langsung basis sumber daya orang-orang miskin dalam berbagai kelompok sosial melalui redistribusi sumber daya mineral. 2) Minimilisasi – penghapusan, bila dimungkinkan – kekuatan birokrasi yang tidak akuntabel di dalam kehidupan publik maupun pribadi. 3) Suatu sistem informasi yang terbuka untuk menjamin keputusan-keputusan yang relevan dan dibutuhkan. 4) Pengujian kembali aturan-aturan pemeliharaan anak-anak sehingga perempuan maupun laki-laki memilki peluang untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik.

Berdasarkan uraian di atas, participatory democracy pada dasarnya merupakan demokrasi konstitusional yang bertumpu aturan mayoritas melalui perluasan partisipasi rakyat secara bebas melalui kekuatan-kekuatan kolektif yang terdapat di tengan civil society.

Penulis : Soetanto Soepiadhy, Pakar Hukum Konstitusi Untag Surabaya dan Pendiri ‘’Rumah Dedikasi’’ Soetanto Soepiadhy

 

 

 


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id

N. S. Latifah

Redaksi yang malang melintang di bidang jurnalisme