Keterlambatan pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masih menjadi masalah kronis di banyak daerah. Tak hanya menghambat pembangunan, kondisi ini juga dianggap merugikan rakyat dan melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Menjawab persoalan tersebut, advokat Dr. Sartono, S.H., M.H., memaparkan hasil penelitiannya dalam Ujian Terbuka Program Doktor Ilmu Hukum (DIH) Fakultas Hukum Untag Surabaya, pada Kamis, 17 Juni 2025.
Melalui karya ilmiah berjudul “Penjatuhan Sanksi Administratif bagi Kepala Daerah dan DPRD dalam Keterlambatan Pengesahan Peraturan Daerah tentang Rancangan APBD”, Sartono menyoroti ketimpangan aturan dalam Pasal 312 ayat (3) Undang-Undang Pemerintahan Daerah Tahun 2014. Pasal tersebut menyatakan bahwa jika keterlambatan pengesahan R-APBD disebabkan oleh Kepala Daerah, maka hanya Kepala Daerah yang dikenai sanksi administratif.
Padahal, DPRD juga memiliki peran penting dalam proses pengesahan APBD. Namun, dalam aturan yang berlaku saat ini, tidak ada sanksi serupa jika keterlambatan justru berasal dari pihak legislatif. Ketimpangan ini memunculkan perosalan keadilan normatif dan melemahkan efektivitas penerapan hukum.
Melihat ketimpangan itu, Sartono menegaskan bahwa ketentuan tersebut tidak sejalan dengan prinsip keadilan, akuntabilitas, dan tanggung jawab kolektif dalam pemerintahan daerah. Untuk itu, melalui analisis ratio legis dan pendekatan hukum progresif, ia merekomendasikan reformulasi norma hukum. Salah satunya dengan menambahkan ayat baru dalam Pasal 312 UU Pemda Tahun 2014 yang secara tegas mengatur sanksi administratif juga bagi DPRD apabila turut menyebabkan keterlambatan.
Lebih lanjut, disertasi ini juga mengusulkan penguatan mekanisme pengawasan melalui optimalisasi peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) serta penerapan Early Warning System (EWS) berbasis teknologi. Sistem ini bertujuan mendeteksi potensi keterlambatan sejak awal dan mencegah dampaknya terhadap pembangunan, pelayanan publik, maupun iklim investasi di daerah.
Penelitian Sartono juga menemukan bahwa salah satu penyebab keterlambatan pengesahan APBD adalah tarik-menarik kepentingan politik, terutama menjelang kontestasi Pilkada. Kepentingan elektoral sering kali lebih dominan daripada kepentingan masyarakat, sehingga pengesahan anggaran bisa dipercepat atau ditunda demi strategi politik. Karena itu, Sartono menekankan pentingnya penguatan norma dan sistem hukum agar APBD betul-betul difungsikan sebagai instrumen keadilan sosial dan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam simpulannya, Sartono menyatakan bahwa reformulasi hukum terhadap mekanisme sanksi dalam pengesahan APBD sudah sangat mendesak. Sebab, keterlambatan yang terus berulang terbukti berdampak besar terhadap efektivitas pembangunan, menurunkan kualitas layanan publik, serta mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Penerapan sanksi administratif yang adil dan proporsional, baik kepada Kepala Daerah maupun DPRD, dinilai sebagai langkah strategis untuk mendorong disiplin fiskal dan memperkuat tata kelola pemerintahan daerah.
Gagasan ini menegaskan peran Untag Surabaya dalam mendorong reformasi hukum yang adil dan berpihak pada rakyat. Disertasi ini sekaligus menegaskan peran Untag Surabaya sebagai ruang lahirnya pemikiran hukum yang berpihak pada keadilan dan kepentingan publik. (Boby)