Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Korupsi di Indonesia ini berkembang secara sistematik. Karena sudah begitu sistematiknya, orang sepertinya tak lagi melihat sebagai sebuah pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dan amat sangat miris, melihat semangat dan kultur yang tumbuh dalam Partai Politik (Parpol) sudah begitu dalam disusupi oleh kepentingan kelompok, keluarga dan jejaring bisnis yang hanya ingin mendapatkan perlindungan dan fasilitas negara dengan lebel ‘demokrasi’, ungkap Dr. Soetanto Soephiady S.H., M.Hum., dosen Fakultas Hukum UNTAG Surabaya atau lebih akrab dengan sebutan Tokoh Independe tersebut.
" Karena korupsi sudah sistemik, maka dalam sebuah penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah. Dengan kenyataan kondisi yang seperti ini, tentunya menurut segenap aktivitas pemberantasan korupsi di negeri ini kita harus ditingkatkan, utamanya oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK). " ucap dalam acara sarasehan ‘Meningkatkan peran generasi muda dalam pencegahan tindak pidana korupsi’
Yang pasti, lanjut Ketua Umum Eksponen Inginkan Semua Tertib, korupsi di Indonesia ini sudah mewabah, susah untuk dihentikan. Seperti sudah dalam tahap menghawatirkan. Satu contoh, pada kasus korupsi yang luar biasa besar dan spektakuler seperti Bank Century dan Hambalang juga kasus Pelindo II. Kita tahu pelaku korupsi itupun tidak main-main, bisa dibilang mereka adalah pejabat tinggi negara, dimana kemaslahatan dan kemakmuran negara kita berada di genggaman tangan mereka.
Dia juga menjelaskan bahwa jika dilihat dalam sistem ketatanegaraan di semua negara, Partai Politik (Parpol) adalah prasyarat bagi sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Yang pada awalnya, parpol didirikan guna menyalurkan aspirasi rakyat dan memilih ‘putra-putri bangsa terbaik’ untuk duduk di lembaga perwalian rakyat serta memilih presiden dan wakil presiden agaknya sudah tidak sejalan dengan harapan.
" Kita harus paham, betapa vital dan berkualitasnya parpol bagi negara yang menganut sistem demokrasi seperti kita ini. Karena dari Rahim parpol, kita berharap akan lahir ‘putra-putri bangsa terbaik’ untuk mengelola negara ini menjadi negara yang adil dan sejahtera. Tetapi pertanyaanya, apakah itu kemudian terpenuhi setelah 71 tahun lebih merdeka? Rupanya bangsa ini masih harus mengelus dada, kecewa berat, karena harapan untuk memperoleh ‘putra-putri bangsa terbaik’ agaknya jauh panggang dari api. Dan itu terkonfirmasi jelas, ketika kita semua mencermati surat dakwaan jaksa dalam kasus proyek e-KTP atau KTP-elektronik senilai hampir Rp. 6 trilyun pada 9 Maret 2017 baru lalu. " terang dosen Hukum Tata Negara.
Saya sebagai pendidik dan ilmuan hukum, amat miris melihat semangat dan kultur yang tumbuh dalam parpol kita sudah begitu dalam disusupi oleh kepentingan-kepentingan tertentu dengan lebel ‘demokrasi’. Kita saat ini berada dalam sebuah dilema. Dimana parpol sebagai sebuah keharusan dalam berdemokrasi, di sisi lain kualitas parpol dan praktik berdemokrasinya sangat buruk. Inilah cermin terjadinya kondisi senjakala partai politik. Maka disini masyarakat harus bersikap untuk mengurai dilema ini.
" Ada dua pilihan untuk ini, pertama, tetap mempertahankan parpol dengan mengubah, merevisi atau merekontruksi ulang Undang-Undangnya. Atau kedua, perpol seperti itu lebih baik ‘dibubarkan’ saja. Secara etika, mereka tidak sah untuk hidup. Mereka hanya jadi benalu demokrasi, mereka cuma sibuk dan heboh dalam memperjuangkan dirinya, pengurusnya dan keluarganya. Mereka sudah tidak mampu menempatkan kepentingan bangsa dan rakyat di atas kepentingan parpol. Tapi ‘membubarkan’ parpol tidaklah gampang, karena secara yudiris formal pembubaran partai polotik harus dimohonkan pemerintah dengan alasan utamanya pelanggaran konstitusi. " tambah penulis buku Meredesain Konstitusi tersebut
Kita menjadi sedih dan amat prihatin, kini hampir semua pejabat pemerintah seolah berlomba dan tidak mau kalah dalam kasus menggerogoti uang rakyat yang disebut korupsi itu. Disinilah kita harus berterimakasih kepada KPK yang telah menahan siapa saja yang terlibat dalam koruspi paripurna menyangkut penyimpangan penggunaan dana bantuan sosial (dana bansos) dengan segala praktik yang mengikutinya. Oleh KPK, penangkapan dan penghukuman terus dilakukan. Operasi tangkap tangan juga terus digencarkan. Namun, langkah represif itu ternyata masih belum menimbulkan efek jera. Orang tetap saja bisa tertawa dan menggap sedang apes ketika ditangkap KPK. Bahkan orang menuduh ada konspirasi ketika di tangkap KPK, tetapi itu tidak boleh membuat kita lantas kehilangan harapan untuk memberisihkan negeri ini dari virus korupsi dan para perampok uang negara.
" KPK harus diperkuat bukan diperlemah agar bisa menangkap siapa saja yang berniat korupsi. Namun langkah penindakan yang selama ini dilakukan harus diimbangi dengan perbaikan sistem untuk mencegah korupsi. "
Dosen Fakultas Hukum tersebut menggarisbawahi, bahwa keberadaan semacam pendidikan anti korupsi haruslah dikedepankan sejak awal. Agar bangsa ini bisa hidup mulia tanpa korupsi, kesadaran masyarakat harus ditransformasikan menjadi gerakan sosial yang bisa menangkal dan melawan korupsi. Melalui gerakan sosial menangkal korupsi itu, public akan terlibat dalam pengawasan praktik korupsi yang dilakukan penyelenggara negara yang mempunyai kekayaan tidak sebanding dengan penghasilannya. Dengan demikian, sistem whisle blower harus lebih dioptimalkan.
" Di sinilah kita semua secara bergandengan tangan masuk dalam area perang semesta melawan korupsi, dengan niat kuat memberantasnya sampai tuntas sekaligus mengawal negeri ini. " kata Ketua Umum Lembaga X-ist
Di akhir Dr. Soetanto Soephiady S.H., M.Hum., mengatakan Korupsi di manapun di dunia termasuk di Indonesia, berkembang, berevolusi sampai pada tahan dimana korupsi itu dilakukan secara sistematis dan bahkan sudah berjejaring. Kerena sudah masuk sampai masa berjejaring, maka untuk melawan korupsi itu hanya perlu keberanian untuk menjalankan dua langkah aksi : pencegahan yang betul-betul nyata, serta tindakan penegakan hukum yang betul-betul tegas.
Redaksi yang malang melintang di bidang jurnalisme