Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Menghadapi era distrupsi serta tantangan zaman, Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya kembali membuka ruang bagi diskusi nilai - nilai toleransi di kalangan pemuda. Diskusi tersebut diwujudkan dalam acara Kelas Pemikiran Gusdur yang di Inisiasi DPM Fakultas Hukum Untag Surabaya.
Acara yang digelar di Theater Room Lantai 6 Gedung Pusat Rektorat dan Yayasan Perguruan 17 Agustus 1945 ini berkolaborasi bersama Gerakan GUSDURian Surabaya, Himpunan Mahasiswa Program Studi agama-agama, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia Kota Surabaya, Roemah Bhinneka Moeda dan Pemuda Khatolik Kota Surabaya.
Dalam sambutannya, Kaprodi Fakultas Hukum Untag Surabaya Wiwik Afifah S.Pi., SH., M.H., membuka acara dengan menyoroti pentingnya nilai nilai toleransi bagi mahasiswa sebagai bekal patriot muda yang akan mengembang amanah penggerak perdamaian.
“Kelas Pemikiran Gusudur ini merupakan ruang akan membawa mahasiswa untuk bisa merespon kondisi negara kita yang terus maju dalam kehidupan berdemokrasi dan kehidupan demokrasi di negara kita dihasilkan oleh founding fathers mulai dari Soekarno kemudian di dengung dengungkan dengan keras K.H. Abdurrahman Wahid sehingga Gusdur, panggilan akrabnya memiliki 9 nilai sebagai kerangka bagaimana kita bersikap sebagai patriot muda,” ungkapnya.
Kelas Pemikiran Gudur dihadiri oleh 3 narasumber antara lain Ketua YPTA Surabaya sekaligus Ketua Dewan Pembina Roemah Bhinneka, J.Subekti S.H., M.M., Aktivis Gerakan Sosial, Puspita Ratna dan Media Center PWNU Jawa Timur, Riadi Ngasiran.
Menurut Puspita Ratna, kekuatan Indonesia berasal dari perbedaan yang beragam hingga dapat menjalankan demokrasi. Orang dengan latar belakang yang berbeda, memiliki pemikiran yang berbeda dan sumber daya yang berbeda.
“Indonesia jangan diseragamkan, jangan sia-siakan potensi tersebut,” ucap Ita.
Dalam memaknai demokrasi, menurut J. Subekti harus sesuai dengan nafas Pancasila yang memayungi semua identitas suku, agama, ras, dan sebagainya.
“Dalam konteks ini, keindonesiaan itu milik bersama. Sehingga kebangkitan ini memang harus dimiliki oleh semua warga bangsa Indonesia tanpa terkecuali,” ujar Ketua YPTA itu (10/6).
Selain itu, mahasiswa memegang peranan penting dalam mewujudkan nilai – nilai toleransi. Estafet kepemimpinan bangsa, lanjutnya, ada di tangan mahasiswa.
“Mahasiswa itu avant-garde. Garda terdepan bagi bagaimana masa depan bangsa Indonesia itu mau dibangun. Saya menyebut mahasiswa itu miniatur masa depan Indonesia. Mau lihat masa depan Indonesia, lihatlah mahasiswanya,” jelasnya.
Untuk mempersiapkan diri tersebut, tidak cukup hanya dengan memiliki wawasan nilai - nilai toleransi di kalangan pemuda, namun mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
“Yang paling penting bukan memiliki wawasan nilai toleransi, tapi bagaimana kita punya komitmen menanamkan nilai nilai toleransi dalam kehidupan sehari-hari,” tutup Ketua Dewan Pembina Roemah Bhinneka tersebut. (Nabila)