Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Melalui Kementerian Perhubungan, pemerintah berencana membedakan harga tiket KRL Commuter line sesuai dengan status ekonomi penumpang. Penumpang berstatus kaya membayar tarif regular, sedangkan penumpang dengan status ekonomi rentan hingga miskin masih menerima subsidi.
Menanggapi hal tersebut, Prof. Dr. Arif Darmawan, SU, Dosen Administrasi Publik Untag Surabaya mengatakan bahwa pengelompokan orang menurut status ekonomi merupakan hal yang lumrah dalam kebijakan publik, terutama berkaitan dengan memodifikasi bantuan.
“Pemerintah mengabaikan fakta bahwa kelas sosial dan status ekonomi merupakan isu sensitif di Indonesia. Memang hal ini sering terjadi dalam kebijakan dan layanan publik. Artinya, ada kelompok yang membayar lebih banyak sedangkan yang lain membayar lebih sedikit,” kata Prof. Arif pada Tim Warta 17 Agustus, Selasa (3/1).
Beberapa pihak ragu dengan pembicaraan perubahan harga tiket KRL Commuterline. Tidak hanya dari efektivitasnya, namun juga dari aspek sosial, seperti kemungkinan terjadinya konflik horizontal di masyarakat. Namun, Prof. Arif menilai kebijakan tersebut tidak berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat.
“Situasi sosial dan ekonomi di Indonesia, sensitif. Jadi, jika kita membuat perbedaan seperti itu dengan penggunaan kata kaya dan miskin, itu bisa menyakiti hati kalangan tertentu,” imbuhnya.
Penumpang kelas menengah ke atas secara tidak langsung menjadi sasaran kebijakan ini, oleh karena itu diharapkan dapat mengurangi frekuensi konflik dan pertentangan di masyarakat.
"Jika menimbulkan kontroversi, saya rasa tidak. Saya mengerti bukan kelas menengah ke atas yang menuntut pembayaran. Artinya mereka juga harus mengetahui dan memahami arah tujuan kebijakan ini,” kata Prof. Arif.
Selain itu, pemerintah harus benar-benar waspada munculnya berbagai reaksi dari masyarakat ekonomi rentan hingga miskin. Ada ketakutan akan menyakiti perasaan dengan membuat klasifikasi orang miskin secara menyeluruh.
“Yang paling memprihatinkan adalah masyarakat miskin merasa kondisinya seperti membebani. Mungkin harus mencari kata lain. Atau mungkin pembuatan stempel khusus untuk menentukan siapa yang mampu dan siapa yang tidak,” jelasnya.
Menurut Prof.Arif, tidak perlu menggunakan embel-embel kata berdasi, si miskin maupun si kaya. Tidak heran kebijakan ini menimbulkan reaksi beragam karena penggunaan terminologi yang kurang tepat.
"Ini perkara terminologi saja. Saya kira pemerintah memang berpikiran bahwa kalangan menengah ke atas bisa membantu kalangan bawahnya, tetapi kata-kata yang digunakan kurang tepat, kurang bijak,” jelasnya
Lebih lanjut, dosen aktif sebagai Research Reviewer Quantum HRN Internasional ini mengatakan, pemerintah harus berhati-hati dalam memilih kata yang lebih tepat. Pemerintah harus berhati-hati dalam mengumumkan maksud dan tujuannya sehingga tidak ada kegaduhan publik.
“Saya kira yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah bisa membingkai pembicaraan ini secara realistis sehingga tidak menimbulkan ketersinggungan atau kegaduhan,” pungkasnya. (Nabila)