Menggali Mutiara Bijak Bestari untuk Memperkokoh Persatuan Bangsa

  • 07 Desember 2022
  • 897

Yayasan Perguruan 17 Agustus 1945 (YPTA) Surabaya menggandeng Roemah Bhineka mengadakan Diskusi Ilmiah bertema “Menggali Mutiara Bijak Bestari untuk Memperkokoh Persatuan Bangsa”. Kegiatan digelar secara hybrid dengan luring di Auditorium Gedung Kantor Pusat Yayasan dan Rektorat Lantai 6 Untag Surabaya.

 

Kegiatan diskusi ilmiah di moderatori oleh Dr. Chafid Wahyudi, M. Fil.I. dengan menghadirkan pembicara Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, M.A., Dewan Pembina Islam Nusantara Foundation, Kombes Pol. Asep I. Rosadi, Direktur Pembinaan Masyarakat, Polda Jatim, Dr. TGB. Muhamad Zainul Majdi, Lc. MA., Ketua Nadhatul Wathan, dan Pendeta Andri Purnawan, MTS., Ketua I Persekutuan Gereja Indonesia Wilayah Jawa Timur.

 

J. Subekti, Ketua YPTA menghadiri sekaligus membuka secara resmi acara pembukaan diskusi tentang keberagaman yang menjadi kebutuhan generasi muda dalam menempa persatuan bangsa.

 

“Indonesia memiliki latar belakang budaya agama dan etnis yang begitu beragam, namun kuatnya politik identitas memberikan ruang besar bagi terciptanya pertentangan menuju proses demokratisasi sebuah negara. Apabila tidak dikelola dengan tepat dan bijak bestari akan menyebabkan hancurnya stabilitas negara,” ungkapnya dalam sambutan.

 

Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, M.A., narasumber pertama memaparkan etika manusia sebagai makhluk pilihan tuhan yang didalam dirinya diberi kecenderungan jiwa kearah kebaikan maupun kejahatan.

 

“Untuk menjadi manusia yang berkualitas, maka seseorang harus mengendalikan tiga hal yaitu suara hati yang berfungsi membedakan benar dan salah, moralitas sebagai aturan yang memiliki nilai moral dan nurani yang berfungsi pegangan di dalam kehidupan dan menyadarkan akan nilai dan harga dirinya,” ujar mantan Ketua Umum PBNU.

 

Dr. TGB. Muhamad Zainul Majdi, Lc. MA., berbicara tentang menunjukan kompabilitas Islam dengan demokrasi. Dia juga meyakinkan, jelas tidak ada masalah demokrasi sebagai sebuah nilai. Persoalannya tinggal teknis penerapan demokrasi dalam kenyataannya.

 

“Tugas kita sekarang ini adalah bagaimana meningkatkan mutu dari demokrasi tersebut. Masalah kita bukan, apakah Indonesia itu negara demokrasi atau bukan karena kita adalah negara demokrasi. Nilai apa yang disumbangkan kemanusiaan terhadap proses demokratisasi itu dan meningkatkan mutu demokrasi adalah tanggung jawab kita,” paparnya.

 

Kombes Pol. Asep I. Rosadi, menafsirkan agama sebagai kode sosial dan panduan spiritual dan Pancasila berfungsi sebagai prinsip panduan (ideologi) negara. Agama adalah rumah agung yang mengatur mental, spiritual dan semua aspek kehidupan manusia, sedangkan Pancasila adalah rumah besar ragam agama anak bangsa, menyajikan tata kelola negara supaya terarah pada sasaran.

 

“Ada lima rumah yang harus melakukan intropeksi diri sebagai agen penghidup pancasila sebagai identitas bangsa yaitu rumah keluarga, rumah agama, rumah lingkungan, rumah sekolah dan rumah pemerintahan” tuturnya.

 

Pendeta Andri Purnawan, MTS., dalam pemaparannya menekankan agama dan negara saat ini hidup berdampingan dalam kesadaran individu dan telah melahirkan entitas yang terkadang saling bertarung untuk mendapatkan kekuasaan.

 

“Saat ini perlu adanya hubungan agama dan negara yang dapat dibangun melalui saling mengontrol dan mengimbangi. Hubungan ini merupakan jalan tengah dan bisa diterima semua kalangan. Baik secara historis maupun secara hukum dalam hal relasinya menggunakan paradigma Pancasila” pungkasnya menutup diskusi ilmiah. (Nabila)


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id