Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Dr. Merry Fridha Tri Palupi, M.Si, Dosen Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) Untag Surabaya menjadi pemateri dalam Seminar Terbuka ‘Indonesia Rumah Bersama: Memperluas Ruang Demokrasi’ yang diselenggarakan oleh GUSDURian (Gerdu Suroboyo) bersama YBAW, Ford Foundation, dan KEMENDAGRI RI, di Ruang Auditorium Lt. 6, Gedung R. Ing Soekonjono, Untag Surabaya (11/12).
Dosen pengampu mata kuliah Komunikasi Gender tersebut menyampaikan materi berjudul 'Demokrasi Dari Perspektif Perempuan'. Merry menjelaskan pengertian feminisme dan sejarah gerakan perempuan di Indonesia.
“Feminisme yaitu upaya pemberdayaan perempuan untuk menumbuhkan kesadaran positif dan isu-isu terkait perempuan. Gerakan perempuan di Indonesia sendiri sudah ada sejak lama, Ibu kita Kartini sudah menyuarakan mengenai hak-hak perempuan yang tidak hanya mengurus domestik saja,” ungkapnya (11/12).
Data aktual tentang persentase perempuan Indonesia yang menduduki jabatan di DPR RI hanya sekitar 30% juga disampaikan dalam materinya. Angka tersebut masih tergolong rendah dan tidak setara dengan jumlah laki-laki.
“Tidak semata hanya kenaikan jumlah perempuan dalam di legislatif, perjuangan bagaimana perempuan ini bisa 30% terwakili menjadi poin penting. Bukan hanya sisi kuantitas tapi juga ketika sudah ada 30% perempuan di legislatif, kita upayakan itu tidak hanya angka tetapi juga menyuarakan bagaimana kebijakan-kebijakan nanti berpihak kepada perempuan,” tugasnya.
Isu kepemimpinan perempuan menjadi fokus utama dalam gerakan feminis, yang mencapai puncaknya dengan upaya membawa perempuan ke posisi eksekutif, seperti Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
“Meskipun saat ini sudah ada beberapa perempuan Indonesia yang menjabat di eksekutif, namun perbandingannya dengan laki-laki masih sangat sedikit,” tekan Merry.
Dalam 25 tahun reformasi, terjadi peningkatan jumlah politisi perempuan yang menempati posisi Menteri atau jabatan eksekutif lainnya. Meskipun demikian, isu kekerasan terhadap perempuan masih terjadi hingga saat ini. Ini menjadi tugas kita bersama untuk menegakkan hak-hak perempuan.
Setelah pemaparan materi selesai, moderator melempar pertanyaan mengenai peran generasi Z, terutama perempuan, yang merasa dihadapkan pada tantangan tersendiri ketika tampil di ranah publik atau menduduki jabatan pemerintahan.
“Milenial dan Gen Z saat ini memiliki pandangan yang berbeda tentang peristiwa, disesuaikan dengan kondisi zaman. Pembicaraan tentang feminisme tidak dapat digeneralisasi, perlu dibahas secara spesifik. Demokrasi tidak selalu inklusif. Untuk teman-teman Milenial dan Gen Z di bidang politik, peluang terbuka lebar. Ada banyak pelatihan yang tersedia, manfaatkan kesempatan ini. Mari bersama-sama dengan laki-laki untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik, di mana perempuan bukan hanya pelengkap, tetapi juga eksekutor keputusan dan kebijakan,” tutupnya. (Laras)