Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Film Dear David film menuai kritik dari berbagai masyarakat. Pasalnya, film diproduksi Netflix tersebut dinilai menormalisasi fenomena standar ganda dalam kasus kekerasan seksual di Indonesia dan hadirnya unsur lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Fenomena standar ganda merupakan penilaian yang berbeda terhadap kelompok tertentu dalam kasus yang sama. Berkaitan kritik film Dear David menormalisasikan fenomena standar ganda, Irma menjelaskan bahwa sutradara bebas memilih tema, karakter, plot kejadian, dan ending produksi filmnya.
Irmashanti Danadharta, S.Hub.Int.,M.A, Dosen Ilmu Komunikasi Untag Surabaya berpesan kepada masyarakat di seluruh Indonesia bahwa yang terpenting adalah kedewasaan penonton.
“Proses produksi merupakan kebebasan pembuat film dan menikmati adalah kebebasan penonton. Keduanya tidak dapat saling mengikat. Film David juga tidak melanggar hukum dan kesusilaan di masyarakat, jadi masyarakat harus paham itu,” jelas Irma saat diwawancara, Senin (20/2).
Irma juga memaparkan film Dear David yang berhasil menciptakan dikotomi tentang fenomena standar ganda di masyarakat merupakan hal yang baik.
“Mungkin kalau tidak ada film Dear David ini, tidak ada pembicaraan isu sensitif tentang fenomena standar ganda (LGBT). Itulah alasan ditayangkan di Netflix, bukan di televisi nasional. Selain itu ada pembatasan usia juga. Utamanya di sini, kedewasaan penonton diperlukan,” terangnya.
Irma juga mengklaim bahwa film yang disutradarai oleh Lucky Kuswandi merupakan ide yang berbeda.
“Sebagai orang yang mempelajari perfilman, film ini menunjukkan keberagaman pemikiran dan kreativitas di Indonesia. Film ini menghadirkan sudut pandang alternatif yang jarang ditampilkan di film-film Indonesia,” pungkasnya (Nabila)