Menyikapi Kasus Audrey, Pakar Psikologi Klinis Untag Surabaya Dr. IGAA Noviekayati Ikut Angkat Bicara

  • 16 April 2019
  • REDAKSI
  • 6197

Beberapa hari lalu viral kasus kekerasan siswi SMP, bernama Audrey di Pontianak, yang diduga dikeroyok oleh 12 siswi SMA. Berawal dari tagar #JusticeforAudrey, kasus ini menjadi viral di media sosial dengan banyaknya orang menandatangani sebuah petisi untuk empati terhadapnya, walaupun sebenarnya berita tersebut masih simpang siur.

Melihat hal tersebut, Dr. IGAA Noviekayati, Msi., Psikolog., Dosen Fakultas Psikologi Untag Surabaya ikut angkat bicara. Menurutnya bahwa secara psikologis remaja sebenarnya tidak menyadari apakah dirinya dalam bahaya atau tidak saat memberikan suatu respon di dunia maya atau dunia nyata, itu tergantung dari kematangan dan kecerdasan emosi masing – masing. Kematangan emosi merupakan kemampuan untuk mengendalikan emosi, sedangkan kecerdasan emosi bagaimana emosi – emosi seperti itu mampu digunakan sesuai dengan tempatnya atau tidak. Serta sebatas mana kemampuannya dalam mengendalikan emosi adalah kecerdasan emosi.

‘’Dilihat dari kedua sisi secara keseluruhan, anak – anak ini masih tergolong ABG atau masih labil. Mereka tingkat ingin tahunya tinggi, tetapi belum memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang baik. Seperti halnya dengan kematangan emosional, mereka belum stabil, sedangkan keinginan mereka sudah seakan – akan seperti orang dewasa. Maka hal seperti ini lah yang menjadi konflik pada dirinya sendiri. Akibatnya muncul perilaku – perilaku yang tidak sesuai dari apa yang mereka inginkan dengan apa yang mereka lakukan, sehingga belum memikirkan akibat jangka panjang kedepannya. Contohnya tindakan seperti ini, mereka melakukan hal tersebut dengan tidak memikirkan apa akibat kedepannya. Bagaimana pertanggungjawaban atau konsekuensi yang harus di terima nantinya,’’ jelasnya pada warta17agustus (12/04/19).

Lebih lanjut, Dosen bidang psikologi klinis tersebut menerangkan, sementara ini Audry masih dikatakan pada level shock, karena baru mengalami satu kejadian. Sedangkan trauma dapat terjadi dua minggu setelah kejadian. Apabila korban sering mimpi buruk, masih terngiang peristiwanya dan ada rasa takut kepada tempat – tempat tertentu, dapat dikatakan sebagai trauma.

‘’Sebagai korban, Audrey apakah nanti ada trauma atau sekedar shock tergantung penyelesaiannya. Kalau memang mengalami trauma maka harus disembuhkan dengan terapi – terapi secara psikologis. Contohnya dengan memanipulasi lingkungan, yaitu memindahkan korban ke lingkungan yang baru, tujuannya untuk menenangkan korban. Atau si korban dikuatkan, maksudnya dipahamkan dulu bagaimana kejadian itu bisa terjadi dan bagaimana dia bisa menjadi korban. Ketika sudah paham, secara tidak langsung emosinalnya akan lebih stabil. Terapi psikologis itu memiliki banyak cara, tergantung kita sesuaikan dengan karakter dari korbannya,’’ jelasnya.

Sedangkan bagi pelaku, dosen yang akrab disapa Bu Novie itu juga mengatakan karena pelaku juga anak – anak, secara tidak langsung dengan viralnya kasus ini akan berdampak pula kepada psikisnya. Karena mereka banyak di hujat dari berbagai kalangan, merasa tertekan terus menerus, kemudian malu kesana kemari karena tindakannya, tidak ada yang mau berteman, sampai bisa disisihkan bahkan dikucilkan.

‘’Sebenarnya pelaku juga sama seperti korban, karena mereka juga anak – anak, dimana masa depan mereka masih panjang. Disini terapi psikologis yang dilakukan akan lebih serius dan lebih mendalam karena harus sekaligus memutus mata rantai tindakannya agar kedepannya nanti pelaku tidak mengulangi lagi. Bahkan bisa menjadi pembela terhadap perlakuan – perlakuan yang seperti itu, jadi empatinya harus bener – bener digodok dan ditingkatkan untuk lebih baik,’’ terang Novie.

Ketika ditanya cara penanganannya, pengurus HIMPSI Jatim itu menjelaskan, bahwa peranan keluarga dan lingkungan sekitar sangat penting. Karena pembentukan kepribadian dan pembentukan karakter anak berawal dari keluarga, kemudian dibantu oleh lingkungan sekolah serta masyarakat sekitar.

‘’Perlu diingat, bahwa keluarga juga tidak bisa sepenuhnya membentuk karakter yang bagus. Katakanlah dirumah dia sudah di contohkan dengan hal yang baik, pola asuhnya sudah demokratis, tetapi diluar ketika si anak gagal terus dicemooh, dan diberi hukuman yang sangat berat, ini sudah menimbulkan konflik antara pengajaran di rumah dengan pengalamannya di lingkungan luar. Maka hal seperti ini akan berdampak kepada psikisnya, sehingga akan menjadi anak yang kasar. Jadi lingkungan juga memiliki pengaruh yang besar,’’ ungkapnya.

Dosen Fakultas Psikologi itu berharap, agar keduanya bisa belajar dengan adanya kejadian seperti ini, saling introspeksi diri dan sadar apa yang telah mereka perbuat adalah tindakan yang tidak patut dilakukan.

‘’Untuk Audrey semoga cepat sembuh, dan semoga dia juga belajar. Korban maupun pelaku pasti ada penyebabnya, tidak ada orang sebagai korban kalau tidak ada penyebabnya. Semoga dia tidak trauma mendalam. Untuk pelaku, semoga mereka juga bisa belajar dan menyadari dari peristiwa ini. Semoga mereka mendapat treatement yang baik, sehingga mereka tumbuh berkembang menjadi orang – orang yang baik pula,’’ tutupnya.

Reporter : MKM

Editor     : LA_unda

 


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id

REDAKSI