Kartini dikenal sebagai pelopor emansipasi perempuan di Indonesia. Gagasan-gagasan yang diwariskannya terus relevan dan penting hingga saat ini, terutama dalam konteks pendidikan dan komunikasi. Sebagai seorang perempuan yang hidup di masa penjajahan, Kartini memiliki pandangan visioner tentang pentingnya pendidikan sebagai jalan menuju kebebasan dan pemberdayaan perempuan.
Pendidikan sebagai Landasan Emansipasi Perempuan
Kartini percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk mencapai emansipasi perempuan. Pendidikan dapat membantu perempuan meningkatkan kemampuan dan pengetahuan mereka. Selain itu, Kartini juga memperjuangkan kesetaraan akses pendidikan bagi perempuan. Menurutnya, perempuan harus memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses pendidikan yang berkualitas.
Lebih jauh, Kartini mendorong perempuan untuk mengembangkan kemampuan mereka melalui pendidikan. Pendidikan dapat membantu meningkatkan kemampuan analitis, kritis, dan kreatif yang sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan.
Tak hanya itu, melalui pendidikan dan pemahaman yang lebih baik, perempuan juga dapat mengembangkan keberanian untuk berbicara dan bertindak dalam komunikasi, dengan memahami hak-hak serta tanggung jawabnya.
Dengan memiliki pengetahuan dan pendidikan, perempuan dapat lebih berdaya sebab dengan pendidikan, perempuan dapat mengambil kontrol atas hidupnya dan tidak tergantung secara finansial dari orang lain sehingga dapat berkontribusi pada kehidupan sosial.
Tantangan Perempuan di Ruang Publik
Namun, dalam kenyataannya, perempuan masih sering menghadapi tantangan ketika menyuarakan opini di ruang publik. Tantangan ini berasal dari dua sisi, yaitu faktor eksternal dan internal. Dari sisi eksternal meliputi:
1. Stereotip dan Bias Gender
Perempuan kerap dihadapkan pada stereotip dan bias gender yang dapat memengaruhi cara pandang masyarakat terhadap mereka. Suara perempuan sering kali dipandang kurang penting atau bahkan diragukan hanya karena berasal dari seorang perempuan.
2. Penghakiman dan Kritik
Perempuan juga harus menghadapi penghakiman dan kritik yang tidak proporsional, terutama ketika menyampaikan opini tentang isu-isu sensitif. Kondisi ini dapat melemahkan kepercayaan diri mereka untuk berbicara.
3. Intimidasi dan Pelecehan
Tak jarang pula perempuan yang berani bersuara mengalami intimidasi dan pelecehan, khususnya di ruang-ruang digital seperti media sosial. Situasi ini menciptakan ketidaknyamanan dan rasa tidak aman, sehingga membuat perempuan berpikir ulang untuk tampil dan bersuara di ruang publik.
4. Kurangnya Dukungan
Perempuan juga kerap menghadapi hambatan berupa kurangnya dukungan dari keluarga, komunitas, atau institusi, yang membuat mereka kesulitan untuk aktif dalam menyuarakan pandangannya.
Dari sisi internal, tidak sedikit perempuan yang masih merasa kurang percaya diri untuk berbicara di depan umum. Ini merupakan hasil dari konstruksi sosial yang telah lama membentuk perempuan agar bersikap pasif. Oleh karena itu, upaya membangun kepercayaan diri perempuan menjadi bagian penting dalam proses pemberdayaan.
Peran Media dan Kesadaran Mahasiswa
Saat ini, beberapa media telah memberikan perhatian terhadap isu-isu perempuan. Namun, masih ada media yang menunjukkan bias gender dalam pemberitaannya. Hal ini dapat dipahami karena setiap media memiliki ideologinya sendiri. Maka dari itu, penting bagi kita untuk bersikap kritis terhadap konten-konten media yang bias gender serta terus mengawal agar informasi yang disampaikan lebih berimbang dan sensitif terhadap isu kesetaraan.
Kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender di kalangan mahasiswi juga menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Mahasiswi sebagai bagian dari kelompok masyarakat terdidik tidak hanya aktif berdiskusi, tetapi juga terjun langsung ke masyarakat melalui berbagai kegiatan kemasyarakatan. Mereka menjadi garda terdepan dalam menyuarakan perubahan sosial, termasuk dalam isu-isu yang berkaitan dengan perempuan.
Perempuan masa kini perlu terus belajar dan mengembangkan diri, sembari membangun semangat kolaborasi. Laki-laki bukanlah musuh, melainkan mitra perempuan dalam menjalani kehidupan. Semangat Kartini harus terus dihidupkan melalui tindakan nyata dan komitmen terhadap nilai-nilai keadilan serta kesetaraan gender dalam kehidupan sehari-hari.
*) Dr. Merry Fridha Tri Palupi, S.Sos., M.Si, Dosen Media & Gender Studies Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya
Reporter