Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum UNTAG Surabaya adakan diskusi terkait perspektif hukum dan psikologi dalam penanganan kekerasan seksual di kampus yang masih menjadi topik perembukan yang hangat diperbincangkan, Senin (31/10/2022).
Tiga narasumber hadir sebegai pemateri, yaitu Yaritza Mutiara, S.H, wakil Lembaga Bantuan Hukum (LBH) FH Surabaya, Dr. I Gusti Ayu Agung Noviekayati, M.Si., Psikolog Dosen Fakultas Psikologi dan Dwita Dhanty, S.AP., anggota Satuan Tugas Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS).
Dalam materi Ica, sapaan akrab Dosen FH Surabaya itu menekankan bahwa kekerasan seksual di kampus merupakan problem yang sangat nyata. Bahkan ia sendiri juga pernah menangani berbagai korban selama menjabat sebagai di LBH, dimana pelaku kerap menguntit dan memburu data pribadi korban.
Korban atau penyintas dari kekerasan seksual di kampus memiliki relasi kuasa yang lebih rendah dengan pelaku, contoh lumrahnya adalah mahasiswa dilecehkan oleh dosen. Inilah yang menjadi alasan mengapa korban acapkali enggan atau takut angkat bicara.
“Respon yang seringkali didapat terkait masalah ini adalah korban harus lebih berhati-hati dan waspada terhadap kekerasan seksual. Logika ini terbalik. Kenapa korban yang harus hati-hati, kenapa tidak pelaku yang dilarang melakukan kekerasan seksual?,” ujar wakil kepala divisi pengembangan dan Kerjasama LBH itu.
Hal ini menjadi pondasi oleh sistem hukum Indonesia yang masih seimbang perspektif korban dan pelaku kekerasan seksual.
Sebelumnya KUHP yang dari masa kolonial hanya mengakui jenis-jenis kekerasan seksual secara terbatas dan mendegradasi kekerasan seksual sebagai pelanggaran terhadap norma kesusilaan,” jelasnya.
Sementara itu Dosen Psikologi Alumnus Universitas Gadjah Mada itu mengatakan bahwa terdapat upaya pencegahan dan penanganan dibendungnya problematika kekerasan seksual di kampus.
“Yang perlu ditekankan disini adalah bahwa terdapat upaya pencegahan dan penanganan seperti yang telah dilakukan Untag Surabaya membentuk satuan tugas, adanya counceling and career centre, ada dosen serta teman yang mendengarkan, suasana kampus yang tebuka dan menyenangkan, dan menjadi teman yang menyenangkan,” ujar Perempuan yang menjabat sebegai Lektor tersebut.
Disisi lain Dwita menjelaskan bahwa dengan adanya Satuan Tugas PPKS dapat mengupayakan dibendungnya problematika kekerasan seksual di kampus yaitu berkolaborasi dengan berbagai organisasi universitas yang mengaturnya secara ketat.
“Untuk mencegah korban yang terus meningkat. Karena rintangan seperti victim blaming dan relasi kuasa, korban seringkali takut atau bingung harus melapor kemana. Disinilah hadir aliansi Satuan Tugas untuk menyerap aspirasi publik sebanyak-banyaknya terkait problematika ini,” ujar anggota Satuan Tugas PPKS Untag.
Menurutnya, disinilah mahasiswa dan organisasi harus berperan aktif nan progresif sebagai agent of change. Agen-agen untuk mendorong perubahan berbagai macam kekolotan paradigma dan sistem hukum untuk melawan kekerasan seksual di kampus.
“Satuan Tugas ini bukan sekadar berbicara di sosial media. Namu kami telah melakukan sosialisasi berbagai organisasi di Universitas untuk mencegah kekerasan seksual,” pungkasnya. (Nabila)