Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Pendidikan karakter bisa dilakukan dengan cerita rakyat melalui pesan yang ingin disampaikan. Menurut dosen Fakultas Sastra (FS) UNTAG Surabaya Dr. Tri Pramesti, MS cerita rakyat yang ada di Indonesia memiliki banyak nilai-nilai kearifan lokal yang bisa ditemukan.
Dr. Tri Pramesti pada bulan Juli 2016 lalu mengikuti 21st World Congress of the International Comparative Literature Association in University of Viena, Austria selama 7 hari (21-27/7). Di Austria dia mempresentasikan penelitiannya tentang The Power of Vampire : Twilight Series and Indonesian Popular Novels.
“Penelitian saya ini tentang Twilight, bagaimana karya Stephenie Meyer ini diceritakan kembali di Indonesia dengan setting yang berbeda, yaitu Tuilet and E’pliss,” kata Dr. Tri Pramesti saat dikonfirmasi warta17agustus.com di kantornya, Rabu (14/9/2016).
Dr. Tri Pramesti memang tertarik melakukan penelitian tentang sastra bandingan, karena dia ingin mengetahui seberapa jauh Twilight dipahami oleh orang Indonesia, padahal di Indonesia sendiri kaya akan cerita rakyat. Selain itu, ketertarikannya adalah ingin mengetahui bagaimana sastra klasik diceritakan kembali.
“Kalau di Twilight lebih menceritakan hubungan dua makhluk yang berbeda, tetapi Tuilet and E’pliss karakter vampire bisa mengubah seseorang dari yang tidak terkenal menjadi terkenal. Ternyata, ada kaitannya dengan selebritis di Indonesia yang kebanyakan mempunyai guru spiritual,” tambahnya.
Temuan lain dari hasil penelitian Dr. Tri Pramesti adalah, jika di Twilight yang menjadi vampire berjenis kelamin laki-laki, sedangkan yang menjadi vampire pada Tuilet and E’pliss adalah kebalikannya, yaitu berjenis kelamin perempuan.
“Vampire yang di Tuilet and E’pliss tidak hanya berperan sebagai vampire, tetapi juga bisa mengubah seseorang dari yang culun menjadi tampan, dan disenangi teman-temannya,” ujarnya.
Lebih lanjut Dr. Tri Pramesti menjelaskan alasannya mengapa film-film di Indonesia mencontoh film luar negeri, karena ingin menopang ketenaran. Dia juga menyayangkan hal itu mengingat Indonesia mempunyai cerita rakyat yang banyak sekali.
“Anak-anak di Indonesia lebih suka film luar negeri, contoh Harry Potter. Hal ini mungkin karena mereka tidak diajarkan tentang cerita rakyat. Kalau di Eropa dan Amerika anak-anak SMA diperkenalkan cerita-cerita klasik sebagai bahan bacaan sekolah. Sebaliknya, di Indonesia tidak, sehingga terputus,” ucapnya.
Menurut Dr. Tri Pramesti daripada orang Indonesia mengacu pada karya sastra asing, lebih baik sastra dalam negeri (cerita rakyat) seperti Ande-Ande Lumut, Si Kancil, Roro Mendut, dll. Pendidikan literasi memang sudah semestinya digalakan salah satunya melalui cerita rakyat.
“Peran pemerintah dan institusi pendidikan harus mulai mengenalkan cerita rakyat, karena di dalamnya mengandung pendidikan karakter dan nilai-nilai kearifan lokal,” tutup Dr. Tri Pramesti.