Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Presiden Joko Widodo menjadi presiden pertama yang mengakui 12 pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Indonesia. Hal itu disampaikan dalam sambutannya usai menerima laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM), di depan Istana Negara, Rabu (11/1).
Dr. Tomy Michael, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Untag Surabaya angkat bicara terkait hal itu, menurutnya penerimaan pemerintah bahwa HAM telah dilanggar di masa lalu.
"Penerimaan adalah hal yang baik. Artinya penyelidikan Komnas HAM tidak sia-sia. Karena sejauh ini belum ada tindak lanjut atas pelanggaran HAM berat tersebut,” tuturnya, (23/1)
Kendati demikian, Tomy menilai masih terdapat kekurangan pengakuan dalam pidato.
“Permintaan maaf diperlukan untuk memperjelas posisi para korban pelanggaran HAM Dengan demikian, hak mereka sebagai korban dapat terpenuhi. Restitusi, rehabilitasi, dan kompensasi adalah hak para korban. Itu adalah tugas negara sebagai sebuah institusi,” jelas Tomy
Selain itu, Tomy juga menyayangkan tidak lanjut terkait pengakuan sebagai pengadilan HAM.
“Ketika sudah mengakui, seharusnya pengadilan HAM digelar. Pengadilan HAM tidak berniat menghukum para pelaku, mengingat banyak pelaku kejahatan yang tidak bisa lagi dihukum karena berbagai faktor, termasuk usia. Namun, ia berusaha menetapkan kebenaran dengan menjamin hak-hak korban. Dikhawatirkan proses pelaksanaan hak korban pelanggaran HAM akan berat sebelah jika tidak didasarkan keputusan pengadilan. Jumlah kompensasi harus diputuskan pengadilan. Itu pentingnya prosedur pro justitia,” jelas Tomy.
Dosen Ilmu Hukum Untag Surabaya menyarankan, harus diadakan tindak lanjut berupa penuntutan oleh Jaksa Agung. Dengan demikian, pengadilan HAM dapat dibentuk dan hak-hak korban dapat dipenuhi.
“Demi hak-hak para korban, demi keadilan, dan demi tegaknya prinsip negara hukum republik Indonesia,” pungkasnya. (Nabila)