Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Di era globalisasi yang serba digital seperti sekarang ini penyebaran berita hoax melalui media online menjadi masif. Menurut Kepala Humas UNTAG Surabaya Prihandari Satvikadewi, M. Med. Kom, salah satu penyebab adanya sebuah lompatan budaya literasi yang memanfaatkan media.
“Telah terjadi lompatan budaya menggunakan media, seharusnya melewati tahap literasi, membaca, media elektronik, media baru (online). Tahap ini ada yang terlompati, contohnya di tahap membaca,” kata Satvikadewi saat ditemui warta17agustus.com di kantornya.
Dalam kasus hoax ini, dosen Ilmu Komunikasi tersebut mencontohkan bahwa budaya membaca di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Amerika, Jepang, bahkan dengan negara tetangga seperti Singapore dan Malaysia masih kalah.
“Karena budaya membaca yang rendah ini menjadi salah satu pintu masuk hoax. Rendahnya budaya membaca menyebabkan tidak banyak perbendaharaan pengetahuan yang dimiliki, sehingga akan mudah terprovokasi, mudah percaya pada berita yang belum tentu benar,” jelas Satvikadewi.
Lebih lanjut dia mengatakan, jika sudah terprovokasi dengan berita hoax, maka dalam kehidupan sehari-hari pun masyarakat bisa saling memusuhi. Padahal, informasi yang didapat awalnya berasal dari media sosial yang belum tentu benar. Menurut Satvikadewi, dampak secara langsung yang disebabkan berita hoax adalah relasi interpersonal menjadi tidak harmonis.
“Berita hoax ini juga berbahaya bagi demokrasi. Jika hoax hadir dalam demokrasi dan dipercaya begitu saja tanpa ada klarifikasi maka keputusan yang diambil tidak akan bisa mengakomodir semua kepentingan. Selain itu, orang tidak akan saling percaya satu sama lain, padahal dalam demokrasi sebuah kepercayaan sangat penting,” tambahnya.
Menyikapi semakin maraknya berita hoax tersebut, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Hadirnya UU ini untuk mencegah dan mengurangi berita hoax yang beredar di masyarakat. Akan tetapi UU ini akan efektif, jika masyarakat mengetahui dengan baik fungsinya.
“UU ITE ada untuk melindungi masyarakat, tetapi sifatnya delik atau aduan. Jika tidak ada yang mengadu maka tidak bisa diperkarakan. Untuk itu, peran dunia pendidikan sangat diperlukan dengan cara melakukan literasi media sebanyak mungkin. Contohnya, cara menggunakan media itu seperti apa, jika dirugikan oleh media apa yang harus dilakukan, dan batas-batas penggunaan media,” ucapnya.
Diakhir sesi wawancara Satvikadewi berpesan kepada masyarakat agar dalam penggunaan media sosial harus mempunyai manajemen pribadi. Hal ini untuk mengatur waktu, karena hampir 24 jam hanya dihabiskan untuk bermedia sosial.
“Konten berita juga harus dipilah dengan baik, mana yang dibutuhkan dan yang tidak. Yang tidak kalah penting adalah klarifikasi, agar kita tidak didekti oleh media sosial,” tegasnya.