Perang Tanpa Senjata: Dua Negara Perang, Dunia Ikut Berguncang

  • 17 April 2025
  • Fahmi
  • 33

Konflik dagang antara Amerika Serikat dan China telah menjadi salah satu isu global paling berdampak dalam satu dekade terakhir. Meskipun tidak melibatkan kekuatan militer, perang ini berlangsung melalui kebijakan ekonomi seperti kenaikan tarif impor, pembatasan ekspor teknologi, dan pelarangan kerja sama antarperusahaan. Amerika menuduh China menjalankan praktik dagang tidak adil, seperti memberikan subsidi besar-besaran pada industri lokal, manipulasi nilai tukar, dan pencurian kekayaan intelektual. Sebaliknya, China menilai kebijakan proteksionis AS sebagai ancaman terhadap sistem perdagangan global yang multilateral.




Dampak perang dagang ini tidak hanya dirasakan oleh kedua negara, tetapi juga menjalar ke seluruh dunia. Ketika dua kekuatan ekonomi terbesar saling berkonflik, pasar global pun terguncang. Pertumbuhan ekonomi dunia melambat, nilai tukar mata uang negara berkembang menjadi tidak stabil, dan sektor manufaktur internasional terganggu akibat rantai pasok global yang tidak lancar. Perusahaan teknologi besar dunia juga terkena imbas, terutama dengan adanya pembatasan ekspor produk seperti chip, kecerdasan buatan (AI), dan komponen digital lainnya.


Konflik ini turut memicu munculnya tren deglobalisasi, yaitu kecenderungan negara-negara untuk mengurangi ketergantungan pada ekonomi global. Banyak negara mulai meninjau ulang kerja sama internasional dan berfokus pada penguatan ekonomi domestik. Hal ini menjadi tantangan baru dalam menjaga stabilitas ekonomi internasional, karena banyak negara mulai membatasi impor dan mencari alternatif mitra dagang baru.




Indonesia, sebagai negara berkembang dengan perekonomian terbuka, juga terkena dampaknya. Di satu sisi, permintaan ekspor melemah, pasokan bahan baku terganggu, dan nilai tukar rupiah berfluktuasi. Produk unggulan Indonesia seperti kelapa sawit, karet, dan elektronik menjadi rentan akibat menurunnya daya beli negara mitra dagang utama.


Namun, di balik tantangan itu, terbuka peluang strategis. Perusahaan asing yang ingin menghindari tarif tinggi kemungkinan besar akan mencari lokasi industri alternatif di Asia Tenggara—dan Indonesia bisa menjadi salah satu tujuan utama. Ini adalah saat yang tepat bagi Indonesia untuk memperbaiki iklim investasi, memperkuat industri dalam negeri, serta mengeksplorasi pasar non-tradisional.


Di era ketidakpastian global seperti sekarang, kekuatan sebuah negara tidak hanya diukur dari seberapa kuat ia bertahan, tetapi juga seberapa cerdas dan adaptif dalam merespons perubahan. Bagi Indonesia, konflik dagang global ini harus dilihat sebagai kesempatan untuk melakukan transformasi ekonomi, meningkatkan daya saing, dan mengambil peran lebih besar dalam peta perdagangan internasional.


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id

Fahmi

Reporter

\