Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Abdul Rofik, S.P., M.P, Mahasiswa Doktor Ilmu Administrasi Negara Untag Surabaya angkat bicara tanggapi kasus pejabat pemerintah, Rafael Alun mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Republik Indonesia yang menjadi sorotan publik atas kepemilikan aset berharga.
Kepemilikan properti dengan harga yang tak wajar adalah hal yang lumrah di kalangan pejabat negara di Indonesia. Hanya saja, orang-orang yang terlibat dalam hal ini berhasil menyembunyikannya dengan melakukan berbagai macam rekayasa.
“Jika perkara ini diselidiki, ternyata harta itu bukan atas namanya melainkan atas nama orang lain atau keluarganya. Itu bentuk penyembunyian aset dengan rekayasa Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara,” ujar Rofik (8/3)
Rofik melanjutkan, munculnya kasus Rafael juga berdampak pada menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah khususnya kementerian keuangan dan jajarannya.
“Oleh karena itu, terlihat bahwa hal ini juga memengaruhi penerimaan pajak negara. Logikanya, ketika ketidakpercayaan publik meningkat keikhlasan dan kemauan membayar pajak tentu berpengaruh,” katanya
Secara teori, ia menambahkan, efek ketidakpercayaan publik terhadap penerimaan pajak pemerintah tidak akan bertahan lama. Kendati demikian, Rofik mengingatkan pemerintah harus berbuat lebih untuk meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.
“Jajaran pemerintah harus melakukan yang terbaik untuk menghilangkan efek negatif dari masalah kelembagaan ini. Jika negara tidak melakukan upaya bersama, itu dapat menjadi berkepanjangan,” tegasnya
Lebih lanjut, ketua Ikatan Alumni Universitas Mulawarman Samarinda mengatakan munculnya kasus Rafael merupakan dorongan yang tepat untuk mengkaji ulang dan mereformasi kebijakan, khususnya laporan harta kekayaan penyelenggara negara.
“Laporan harta kekayaan penyelenggara negara harus segera diluruskan agar tidak ada kasus penggunaan nama orang lain atau identitas aset yang tidak teridentifikasi. Dalam hal ini, para pemangku kepentingan juga harus bekerja sama, misalnya dengan kepolisian, Komisi Pencegahan Korupsi (KPK), dan kejaksaan dalam penertiban aset dan harta benda terduga," jelasnya.
Pada akhir wawancara dengan Tim Warta 17 Agustus, Dr. Rofik memperingatkan agar tidak politisasi masalah tersebut, mengingat pemilu 2024 sudah dekat. Ini karena ada bahaya campur tangan politik dalam kasus-kasus seperti itu.
“Agar tidak terkesan berpolitik apalagi menjelang Pemilu 2024, maka berbagai data dan bukti dalam hal ini harus didukung oleh sumber-sumber yang kredibel agar tidak bermotif politik oleh sebagian orang. tidak boleh digunakan secara berkelompok.sebagai amunisi untuk menyerang pemerintah,” pungkasnya.