Rumah Kosong di Jepang Dijual Rp 15.000, Peluang atau Tantangan?

  • 12 Desember 2024
  • 75

Fenomena jutaan rumah kosong di Jepang dijual dengan harga sangat murah, bahkan disebut-sebut mulai dari Rp15.000, mencerminkan pergeseran sosial dan ekonomi di negara tersebut. Sebagai seseorang yang pernah menyaksikan langsung situasi ini di kawasan Hamamatsu, saya melihat adanya kompleksitas yang jauh lebih besar dibanding sekadar harga murah.


Konteks Sosial, Budaya dan Demografi


Hamamatsu, dahulu dikenal sebagai kota kaya dengan perkebunan dan pertanian besar, kini menghadapi eksodus penduduk mudanya. Anak-anak generasi muda lebih memilih kehidupan di kota-kota besar seperti Tokyo atau Osaka, meninggalkan desa yang dulunya ramai. Pola ini serupa dengan tren di Indonesia, di mana banyak anak muda meninggalkan desa untuk mengejar karir di kota seperti Jakarta atau Surabaya.


Perubahan budaya juga memengaruhi fenomena ini. Orang tua yang dulunya tinggal bersama anak-anak mereka kini lebih memilih tinggal di "rojin home" (panti jompo Jepang). Di sini, mereka hidup mandiri dan aktif bersama kelompok seusia. Budaya Jepang tidak menganggap ini sebagai penelantaran, melainkan pilihan hidup yang terhormat. Namun, keputusan ini juga berarti banyak rumah keluarga besar dibiarkan kosong tanpa generasi penerus yang berminat untuk kembali.


Tantangan Kepemilikan Properti oleh Asing


Ada anggapan bahwa rumah kosong ini dapat dengan mudah dibeli oleh orang asing, apalagi dengan harga yang terlihat sangat murah. Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Pemerintah Jepang memiliki persyaratan ketat, seperti keharusan bagi calon pembeli asing untuk tinggal dan beraktivitas di Jepang minimal enam bulan sebelum dapat membeli properti. Hal ini menjadi kendala bagi banyak orang yang hanya berharap membeli rumah murah sebagai investasi jangka pendek.


Adapun angka Rp15.000 yang sering disebut dalam berita bukanlah harga rumah, melainkan hanya biaya untuk membuat akta jual beli. Rumah-rumah tersebut pada dasarnya diberikan secara gratis oleh pemiliknya karena sudah tidak digunakan lagi. Namun, pengurusan legalitas seperti akta kepemilikan itu tadi tetap memerlukan biaya administrasi. Jadi, meskipun rumah itu gratis, pembeli tetap harus memenuhi persyaratan hukum agar dapat memilikinya secara sah.


Dampak Demografis terhadap Ekonomi


Krisis demografi menjadi akar permasalahan rumah kosong ini. Jepang tengah menghadapi penurunan populasi, yang berujung pada berkurangnya kebutuhan akan hunian di wilayah rural. Pemerintah pun mencoba berbagai cara untuk meningkatkan angka kelahiran, termasuk memberikan subsidi kepada pasangan menikah dan keluarga dengan anak kecil. Namun, tantangan ini tidak mudah diatasi.


Ironisnya, meskipun dengan populasi yang berkurang, Jepang tetap mampu mempertahankan stabilitas ekonominya. Namun, penurunan jumlah penduduk memengaruhi dinamika kota-kota besar yang dulu selalu sibuk. Dengan lebih sedikit manusia yang menggerakkan roda ekonomi, kawasan pedesaan yang dulu produktif perlahan kehilangan vitalitasnya.

Harapan dan Pelajaran


Fenomena ini memberikan pelajaran berharga, terutama bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia. Penting bagi kita untuk menjaga keseimbangan antara pembangunan kota besar dan pengembangan daerah. Jangan sampai wilayah rural menjadi kosong dan kehilangan generasi mudanya seperti yang terjadi di Jepang.


Bagi Jepang sendiri, mengatasi masalah rumah kosong ini membutuhkan pendekatan yang menyeluruh, termasuk dengan membuka lebih banyak peluang bagi pembeli asing yang ingin menetap. Kombinasi kebijakan ini mungkin dapat membantu menghidupkan kembali kawasan-kawasan yang kini terabaikan.


Jadi kesimpulannya, rumah murah di Jepang mungkin terlihat menarik, tetapi tanpa memahami konteks sosial, budaya, dan aturan ketat yang ada, keinginan untuk memiliki properti di sana hanya akan menjadi angan belaka. Dibutuhkan strategi yang komprehensif, baik dari pemerintah Jepang maupun masyarakat global, untuk menyelesaikan isu ini dan memberikan kehidupan baru pada rumah-rumah yang kini kosong. (Boby)


*Dra. Endang Poerbowati, M.Pd. Kepala Program Studi (Kaprodi) Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya (FIB)  Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id