Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Fakultas Hukum (FH) Untag Surabaya gelar Seminar Hasil (Semhas) Penelitian Skripsi. Kegiatan bertempat di Meeting Room Graha Wiyata Lt.1 Untag Surabaya pada Rabu (16/11).
Kegiatan Semhas dihadiri langsung Dekan Fakultas Hukum Untag Surabaya, Dr. Slamet Suhartono, S.H., M.H.
“Dari seminar hasil ini dapat memberi kesempatan untuk peneliti guna mendapatkan masukan dari peserta seminar. Semoga dari kegiatan dapat memperkaya pengetahuan peserta seminar yang hadir mengenai topik-topik yang disajikan,” ucapnya dalam sambutan.
Menjadi kegiatan akademis yang dilakukan oleh mahasiswa seusai rampung menyelesaikan pengumpulan data penelitian, pada Semhas FH mendatangkan 2 mahasiswa sekaligus pembicara, Diovan Ady P.D. dan Miftakhul Shodikin.
Diovan Ady P.D. mengangkat judul skripsi "Pembatasan Makna Kebebasan Beragama" menuturkan bahwa penjaminan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia masih menghadapi tiga tantangan yakni ideologis, sosial, dan hukum.
“Konsep kebebasan beragama seringkali dilihat sebagai gagasan yang mengkampanyekan kebebasan tanpa batas, yang bertentangan dengan nilai lokal. Secara sosial, sebagian masyarakat belum siap menerima dan menghadapi perbedaan agama dan keyakinan,” jelas mahasiswa semester 7 tersebut.
Hal ini dijelaskan dalam Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 dan Pasal 18 ICCPR mengenai hak apa saja yang dilindungi dalam kebebasan beragama.
“Unsur yang dilindungi utama adalah kebebasan untuk memiliki, memilih, mengubah atau meninggalkan agama atau kepercayaaan (forum internum) dan kebebasan untuk memanifestasikan agama atau kepercayaan (forum eksternum). Diatas semua itu ada hak untuk mendapatkan perlindungan dari pemaksaan dan perlindungan dari diskriminasi atas dasar agama atau kepercayaan,” imbuh Diovan.
Setelah membahas hasil penelitian mengenai pembatasan makna kebebasan beragama, dilanjutkan oleh Miftakhul Shodikin dengan kajian tentang Ketika Sungai Berbicara di Pengadilan (Kajian Subjek Hukum Internasional).
“Dalam Subjek Hukum Internasional ada konsistensi suatu putusan hukum internasional di Selandia Baru dan India yang memiliki corak, karakter, dan pokok serupa. Misalnya Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Te Awa Tupua, Selandia Baru memberikan perlindungan dan pengakuan kedudukan “Subjek Hukum” bagi Sungai Whanganui” ujar Mifta.
Dijadikannya Sungai Bengawan Solo sebagai subjek hukum yang dikaji, Miftakhul mendeskripsikan beberapa faktor terkait Sungai Bengawan Solo.
“Ada tiga faktor yang harus dilindungi dari Sungai Bengawan Solo, pertama dalam faktor sejarah Sungai Bengawan Solo merupakan pusat peradaban dari masa ke masa. Kedua, ada faktor sosiologis Sungai Bengawan Solo membentang di 20 kabupaten dan 3 kota di 3 provinsi, bahan air minum dan irigasi dan terakhir adanya faktor religius seperti ritual dan kepercayaan sumber air suci pada masyarakat di sekitar Sungai Bengawan Solo,” ungkapnya.
Keberadaan asas dasar hukum internasional yang diakui oleh komunitas internasional dapat menjadi aturan yang tidak boleh dilanggar dalam situasi apapun.
“Tingkat pencemaran yang tinggi membuat Sungai Bengawan Solo saat ini sungguh miris nasibnya, dengan perkembangan hukum internasional ini diharapkan pemerintah dapat mencegah kerusakan lebih Sungai Bengawan Solo,” tutup Mifta. (Nabila)