Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo resmi mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada Jumat (30/12/2022).
Ketua Unit Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum (UKBH) Untag Surabaya, Dr. Erny Herlin Setyorini S.H. ,M.H. menanggapi bahswasannya Perppu merupakan produk darurat dalam hukum.
“Hal ini diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal tersebut menyatakan bahwa keputusan dikeluarkan oleh Presiden dalam hal-hal yang mendesak. Dalam kasus mendesak, tekanan dibagi menjadi elemen subjektif dan objektif,” pungkasnya saat diwawancara dengan Tim Warta 17 Agustus, (6/1).
Terdapat unsur subjektif dalam lahirnya Perppu, yakni kepentingan presiden terhadap perlunya mengesahkan Perppu.
“Namun, juga ada unsur objektif yang diatur melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia Nomor 138/PUU-VII/2009. Unsur objektif tersebut terdiri dari tiga elemen. Pertama, ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. Lalu, tidak ada Undang-Undang atau ada, tetapi tidak lengkap atau terjadi kekosongan hukum. Terakhir, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa,” jelas Erny.
Erny berpendapat tidak ada masalah dalam menciptakan Perppu Cipta Kerja. Sebab, presiden memiliki wewenang untuk mengeluarkan Perppu.
“Tujuan tersebut tidak lepas dari upaya legislatif untuk membawa masalah tersebut untuk dilakukan pengujian. Dari segi kekuasaan tidak ada masalah, karena presiden yang punya kekuasaan. Baik secara legal maupun formil dan substantif, alat ukurnya berada pada tahap implementasi di DPR. Hal ini karena DLR memiliki kewenangan untuk menentukan apakah tujuan tersebut secara formal dan materil sejalan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sedangkan untuk MK sendiri, MK sudah bisa menilai atas dasar objektif tersebut,” paparnya
Erny juga menyoroti masalah Perppu Cipta Kerja dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Putusan ini merupakan putusan yang menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 inkonstitusional bersyarat. Menurutnya, terdapat pertentangan yang terjadi antara putusan tersebut dengan Perppu Cipta Kerja.
“Perlu ditegaskan bahwa Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 memiliki dua poin yang bertentangan dengan UU Cipta Kerja, yaitu formil dan substantif. Persoalan formil, telah dijawab oleh legislator menanggapi masalah formil dengan mengubah Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sementara itu, substantif ada aspek partisipasi yang berarti. Konsep itu merupakan konsep partisipasi murni yang melibatkan pihak-pihak yang terkena terdampak dan pemangku kepentingan,” tegas Ketua UKBH tersebut
Dalam perkara materiil ini, penerbitan Perppu Cipta Kerja bertentangan dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Erny menyadari bahwa tidak mungkin bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembuatan Perppu.
“Dalam hal ini, Perppu Cipta Kerja berseberangan dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Hal itu karena kalau produk hukum berupa Perppu, tidak mungkin partisipasi murni masyarakat terwujud. Apabila terjadi situasi yang genting, tidak mungkin aspirasi menjadi penting, saya melihat ada pertentangan di sini. Perppu tidak ideal untuk memberi ruang partisipasi bagi masyarakat,” tutup Erny. (Nabila)