Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Pernikahan beda agama telah menjadi fenomena umum di masyarakat. Pernikahan beda agama menimbulkan tantangan psikologis yang harus dihadapi oleh pasangan. Hal ini menimbulkan perhatian Dr. Andik Matulessy, M.Si., Psikolog dalam pandangan psikologi.
Dalam pernikahan beda agama, tantangan psikologis yang dihadapi oleh pasangan adalah adanya perbedaan dalam keyakinan dan nilai-nilai agama.
“Pasangan beda agama itu harus belajar untuk saling menghormati dan menerima perbedaan dengan terbuka agar hubungan tetap harmonis dan seimbang. Perbedaan dalam praktik keagamaan, ritus, dan perayaan bisa menimbulkan ketegangan dan konflik jika tidak kita tangani dengan bijaksana” ungkapnya (24/7)
Oleh karena itu, komunikasi yang efektif dan keterbukaan dalam memahami pandangan masing-masing menjadi kunci membangun fondasi yang kuat dalam pernikahan beda agama.
“Dengan memahami dan menghormati perbedaan agama, pasangan itu dapat menemukan cara-cara baru untuk merayakan keragaman dan memperkuat hubungan dan kesatuan dalam perjalanan hidup bersama,” imbuhnya
Selain itu, pernikahan beda agama juga menghadirkan tantangan sosial yang perlu dihadapi oleh pasangan, yaitu tekanan dan kritik dari lingkungan sekitar yang mungkin menentang hubungan mereka. Dalam masyarakat di mana tradisi dan norma-norma sosial kuat, pernikahan antaragama seringkali dianggap kontroversial dan dihadapi dengan skeptisisme.
“Pasangan harus memiliki kesiapan untuk menghadapi pandangan negatif atau komentar tidak mendukung dari keluarga, teman, atau bahkan rekan kerja,” kata Andik
Tuntutan untuk tetap setia pada keyakinan agama mereka sendiri atau ekspektasi agar pasangan berpindah agama dapat menciptakan tekanan psikologis yang signifikan.
“Solidaritas dan dukungan antar pasangan menjadi sangat penting untuk mengatasi tantangan ini, sehingga mereka dapat mempertahankan kekuatan hubungan dan membangun kepercayaan diri dalam pilihan cinta mereka,” ujar Dosen Magister Psikologi Profesi tersebut
Pernikahan beda agama seringkali menimbulkan pertanyaan yang kompleks mengenai identitas keagamaan anak-anak yang lahir dari hubungan tersebut. Pasangan harus berurusan dengan tantangan bagaimana mengajarkan agama kepada anak-anak mereka, atau bahkan apakah tidak mengajarkannya sama sekali. Ketika pasangan memiliki keyakinan agama yang kuat dan berbeda, hal ini dapat menciptakan ketegangan dan perbedaan pendapat dalam pendekatan untuk menghadapi isu ini.
“Sebagai orang tua yang memiliki perbedaan agama, keputusan tentang bagaimana menghadapi masalah ini memerlukan komunikasi yang terbuka, pengertian, dan kompromi yang mendalam. Ini merupakan tantangan psikologis yang serius dalam pernikahan beda agama, dan kemampuan pasangan itu untuk mencapai kesepakatan dalam hal ini dapat berdampak besar pada dinamika keluarga dan perkembangan anak-anak,” imbuhnya
Meskipun tantangan psikologis yang dihadapi dalam pernikahan beda agama bisa menjadi sulit, hal itu tidak berarti bahwa hubungan tidak dapat berhasil. Dengan komitmen dan kerja sama yang kuat, pasangan dapat membangun hubungan yang kuat dan harmonis.
“Dalam pernikahan beda agama, penting untuk menemukan titik temu antara keyakinan agama masing-masing dan menciptakan lingkungan yang mendorong saling pengertian dan toleransi. Dengan cara itu, pernikahan beda agama dapat menjadi kesempatan untuk tumbuh dan memperkaya diri secara pribadi maupun spiritual dalam konteks yang lebih luas,” tutupnya (Elisa)