Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan oleh pemerintah, terutama dalam rangka mendukung program makan bergizi gratis, telah menimbulkan dampak luas di berbagai sektor. Salah satu sektor yang paling terdampak adalah pendidikan, khususnya mahasiswa penerima beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP). Pemotongan anggaran yang drastis, dari Rp14 triliun menjadi hanya sekitar Rp1 triliun, tentu menjadi pukulan bagi mahasiswa yang berasal dari keluarga kurang mampu.
Mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi namun terkendala faktor ekonomi kini menghadapi tantangan lebih besar dalam menyelesaikan pendidikan tinggi mereka. Pendidikan yang seharusnya menjadi hak dasar malah semakin menjadi barang mewah yang sulit dijangkau. Beasiswa yang seharusnya menjadi jaring pengaman kini semakin langka, membuat banyak mahasiswa terpaksa berhenti kuliah atau mencari alternatif lain yang lebih terjangkau.
Dampak Terhadap Kenaikan UKT dan Tunjangan Dosen
Tidak hanya mahasiswa, kebijakan efisiensi ini juga berdampak pada tenaga pendidik. Pemotongan anggaran berimbas pada tunjangan kinerja (Tukin) dosen, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai perguruan tinggi negeri. Mahasiswa yang sudah kesulitan mendapatkan beasiswa kini juga harus menghadapi kenaikan biaya pendidikan. Hal ini semakin membebani keluarga mereka, terutama di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu.
Sementara itu, di dunia akademik, keterlambatan pencairan tunjangan kepangkatan dan sertifikasi dosen (Serdos) yang hingga empat tahun belum dicairkan menjadi indikasi serius bahwa sektor pendidikan tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah. Seharusnya, sektor ini menjadi prioritas karena merupakan kunci kemajuan bangsa.
Efek Efisiensi terhadap Perekonomian dan Pengangguran
Dampak pemotongan anggaran tidak hanya dirasakan di dunia pendidikan, tetapi juga meluas ke sektor lain, termasuk tenaga kerja. Pengurangan anggaran menyebabkan banyak perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), yang pada akhirnya meningkatkan angka pengangguran. Kondisi ini semakin diperburuk dengan situasi ekonomi saat ini, di mana daya beli masyarakat menurun dan Indonesia mengalami deflasi.
Ketika jumlah pengangguran meningkat, daya beli semakin melemah, menyebabkan perputaran ekonomi menjadi lambat. Barang dan jasa menjadi sulit terjual, bisnis kecil dan menengah terancam gulung tikar, dan ketimpangan ekonomi semakin lebar. Jika kebijakan efisiensi ini tidak dikaji ulang, maka dampak jangka panjangnya dapat menjadi lebih buruk, menciptakan ketidakstabilan sosial dan ekonomi yang serius.
BPJS dan Ketimpangan Jaminan Kesehatan
Selain pendidikan, sektor kesehatan juga menjadi korban pemotongan anggaran. Salah satu dampak yang paling terlihat adalah keterbatasan layanan BPJS Kesehatan. Banyak penyakit yang sebelumnya dicover kini tidak lagi masuk dalam layanan BPJS, kecuali pasien berada dalam kondisi kritis. Ini menjadi ironi, mengingat institusi seperti kampus dan perusahaan tetap diwajibkan membayar iuran BPJS dalam jumlah besar, tetapi manfaat yang diterima masyarakat semakin terbatas.
Selain itu, kebijakan penyederhanaan kelas BPJS menjadi satu kelas, yakni kelas 1, juga menimbulkan masalah baru. Tagihan yang meningkat membebani peserta, terutama pekerja dengan penghasilan menengah ke bawah. Jika kebijakan ini terus berjalan tanpa adanya solusi yang lebih inklusif, maka beban masyarakat akan semakin besar.
Evaluasi Kebijakan Efisiensi: Sektor Mana yang Harus Dikurangi?
Efisiensi memang diperlukan, tetapi harus tepat sasaran. Pendidikan dan kesehatan adalah dua sektor fundamental yang seharusnya dipertahankan atau bahkan diperkuat, bukan justru mengalami pemotongan terbesar. Jika pemerintah benar-benar ingin melakukan efisiensi anggaran, maka seharusnya ada langkah konkret dalam mengurangi pengeluaran di sektor lain yang kurang produktif.
Langkah yang dapat diambil untuk menggantikan pemotongan anggaran pendidikan dan kesehatan antara lain:
1. Pengurangan Kementerian yang Tidak Efektif
Pemerintah dapat melebur beberapa kementerian yang memiliki kinerja tumpang tindih dan kurang maksimal. Dengan demikian, pengeluaran untuk birokrasi dapat ditekan tanpa harus mengorbankan sektor penting seperti pendidikan dan kesehatan.
2. Evaluasi Staf Khusus Pemerintan
Posisi staf khusus, terutama yang berasal dari kalangan artis dan figur publik yang tidak memiliki keahlian di bidangnya, perlu dievaluasi. Jika keberadaan mereka tidak memberikan dampak signifikan terhadap kebijakan yang dihasilkan, maka anggarannya dapat dialokasikan untuk sektor yang lebih membutuhkan.
3. Revisi Program Makan Bergizi Gratis
Program ini memang memiliki niat baik, tetapi perlu dikaji ulang apakah benar-benar menjadi prioritas dibandingkan pendidikan dan kesehatan. Jika memang masih ingin dilanjutkan, maka harus dipastikan bahwa anggarannya tidak mengorbankan kebutuhan dasar lainnya yang lebih mendesak.
Refleksi dan Rekomendasi untuk Pemerintah
Kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah saat ini masih menyisakan banyak pertanyaan, terutama terkait dengan sektor-sektor yang terkena dampaknya. Pemotongan dana untuk pendidikan, kesehatan, dan tunjangan tenaga pendidik menunjukkan bahwa kebijakan ini belum sepenuhnya berpihak kepada masyarakat luas, terutama kalangan menengah ke bawah yang menjadi kelompok paling terdampak.
Jika efisiensi benar-benar ingin dilakukan tanpa merugikan rakyat, maka pemerintah harus mencari cara lain yang lebih efektif dalam mengatur anggaran negara. Jangan sampai keputusan yang diambil justru memperburuk kondisi ekonomi, meningkatkan pengangguran, dan membuat pendidikan serta layanan kesehatan semakin sulit dijangkau oleh masyarakat. Ke depan, diharapkan ada evaluasi yang lebih mendalam agar kebijakan yang dibuat benar-benar membawa manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia. (Boby)
*) I.G.N. Andhika Mahendra, SE., MM. Dosen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya