Pertunjukan seni tari tradisional sebagai media untuk memperkuat patriotisme berhasil dibawakan oleh tim dosen dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, bersama Sanggar Tari Puspa Dewi. Kolaborasi unik ini menjadi bagian dari program Pengabdian kepada Masyarakat Hibah Perguruan Tinggi Tahun 2025.
Program hibah ini berlangsung selama enam bulan, dimulai dari April hingga Agustus, dan kini telah memasuki tahap kedua, yakni melalui penampilan seni tari tradisional.
Kegiatan ini dipimpin oleh Dr. Tomy Michael, S.H., M.H., bersama dua dosen Ilmu Hukum lainnya, Wiwik Afifah, S.Pi., S.H., M.H., dan Dr. Syofyan Hadi, S.H., M.H. dengan melibatkan mahasiswa, antara lain Muhamad Khoirul Ma’arif, Fransiscus Nanga Roka, Anam Imam Aulia, Zidniy Ma Naviah, dan Alienda Maulidiantie. Sebelumnya, program ini telah menghadirkan permainan ular tangga nusantara pada bulan Mei lalu sebagai media penanaman semangat patriotisme anak sejak dini.
Mengangkat tema “Pentas Patriotisme Tari Sekar pertiwi” kegiatan ini menampilkan tiga tarian sekaligus, Tari Remo, Tari Kasomber, dan Tari Sekar Pertiwi.
Tari Sekar Pertiwi merupakan hasil kolaborasi antara program pengabdian kepada masyarakat dan Sanggar Tari Puspa Dewi, yang kini telah didaftarkan dan tercatat sebagai hak cipta di Kementerian Hukum Republik Indonesia.
Tari Sekar Pertiwi memiliki lima ragam gerak utama yang memadukan gerakan tegap dan anggun, dengan formasi yang kokoh. Mulai dari penggambaran gadis yang tumbuh dalam lingkungan yang kaya tradisi, hingga menghadapi tantangan globalisasi yang mengancam identitas, setiap ragam geraknya secara progresif menampilkan perjuangan adaptasi.
Tarian ini secara dinamis merepresentasikan upaya menjaga akar budaya sambil merangkul modernitas, yang puncaknya diwujudkan dalam ekspresi kebanggaan, patriotisme, dan harapan kuat akan masa depan bangsa yang bersatu dan tak tergoyahkan.
Dr. Tomy menjelaskan alasan Tari Sekar Pertiwi ditampilkan tanpa iringan musik.
“Tari ini diperagakan tanpa menggunakan musik, kita hanya menggunakan suara dari metronome karena metronome akan mengeluarkan suara dengan interval yang stabil dan tidak berubah. Selain itu juga karena setiap gerakan memiliki makna tersendiri, penggunaan suara metronome akan menjaga orisinalitas dan makna dari setiap gerakan tari yang diperagakan,” tegasnya (15/6)
Awalnya, penampilan tari direncanakan berlangsung di Plasa Proklamasi Lt.1 Gedung Grha Wiyata Untag Surabaya. Namun karena jadwalnya bertepatan dengan acara Japaniversal dari Program Studi (Prodi) Sastra Jepang Untag Surabaya, Dr. Tomy Michael melihat peluang dan berhasil menjalin kerja sama dengan panitia acara. Alhasil, Tari Remo, Tari Kasomber, dan Tari Sekar Pertiwi dapat disisipkan dalam rangkaian acara yang ditonton oleh puluhan pengunjung Japaniversal.
Dr. Tomy juga mengungkapkan latar belakang dipilihnya pertunjukan seni tari tradisional sebagai topik utama dalam program pengabdian kepada masyarakat.
“Karena mengacu pasal 18 dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang mengharuskan kita untuk memajukan unsur-unsur tradisional ditengah era kecerdasan buatan. Lalu kebetulan saya dan tim memang fokus di kebudayaan lokal tapi dilihat dari sudut pandang hukum begitu,” tutur Dr. Tomy
Selain itu, ia juga menerangkan hubungan dan keselarasan antara ilmu hukum dengan pertunjukan seni tari tradisional.
“Dalam ilmu hukum saya katakan sering kali bahwa yang sebenarnya budaya itu harus memberi masukan kepada ilmu hukum dan bukan seperti sekarang yang memaksa budaya agar mengikuti aturan hukum, karena budaya yang tidak tertulis itu ciri khas Indonesia,” tambahnya
Kegiatan ini menjadi awal yang cerah bagi tumbuhnya komunitas budaya baru, sekaligus menegaskan peran Fakultas Hukum Untag Surabaya dalam memperkuat patriotisme serta membuka ruang bagi pengembangan kreativitas dan inovasi berbasis nilai hukum dan budaya. (Aldi)