Undang-Undang Dasar 1945 Mengatur Politik Hukum?

  • 28 Agustus 2018
  • latifah
  • 6896

Empat belas tahun yang lalu, Ketua Komisi Konstitusi, Sri Soemantri Martosoewignjo, telah menyampaikan Hasil Kajian terhadap Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diselesaikan oleh Komisi Konstitusi. Hasil kajian – sebagai tugas sesuai dengan amanat yang diberikan oleh MPR — tersebut diserahkan secara resmi kepada Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tangggal 6 Mei 2004, dalam Rapat Pleno Badan Pekerja MPR.

Pengkajian terhadap perubahan Undang-Undang Dasar 1945 di atas, berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi; dan Keputusan MPR Nomor 4/MPR/2003 tentang Susunan, Kedudukan, Kewenangan, dan Keanggotaan Komisi Konstitusi.

Tugas Komisi Konstitusi, yakni melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945). Menurut Keputusan MPR di atas, dalam melakukan tugas, Komisi Konstitusi harus berpedoman pada Pembukaan UUD 1945. Komisi Konstitusi bekerja dengan tetap berpegang kepada dasar dan arah Pembukaan UUD 1945, tanpa bermaksud mengkeramatkannya, dan menjadi kesepakatan untuk tidak diubah.

Menurut Sri Soemantri, sebagai bagian dari proses penuntasan reformasi konstitusi, Komisi Konstitusi menyadari sepenuhnya, bahwa perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan oleh MPR tidak terlepas dari pelaksanaan amanat The Founding Fathers and Mothers yang menyusun Undang-Undang Dasar. Pada waktu itu, para pendiri negara kita antara lain menyatakan, bahwa apabila suasana telah tenteran akan dibuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan sempurna.

Hal di atas dapat dibuktikan, bahwa sejarah pembentukan UUD 1945 memang didesain oleh para pendiri negara (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia/PPKI) sebagai UUD yang ‘’bersifat sementara’’, karena dibuat dan ditetapkan dalam suasana ketergesa-gesaan. Soekarno selaku Ketua PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menegaskan sifat kesementaraan UUD 1945 sebagai berikut:

… bahwa Undang-Undang Dasar yang kita buat sekarang ini, adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna. Tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar sementara, Undang-Undang Dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap.(Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998:186).

Sejalan dengan itu, mempelajari materi muatan dalam ‘’Persandingan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Perubahan dan Usul Komisi Konstitusi’’ (Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2004: Buku II), tercantum penambahan pasal dalam usulan Komisi Konstitusi, yakni ketentuan Pasal 24D, 24E, 24F, dan 24G. Hal ini menunjukkan, bahwa Undang-Undang Dasar harus dibuat lebih lengkap dan sempurna. Khususnya ketentuan Pasal 24F merupakan pasal tentang Politik Hukum yang menjelaskan, bahwa negara menata dan mengembangkan sistem hukum nasional dengan memelihara dan menghormati keberagaman nilai-nilai hukum dan sumber-sumber hukum yang hidup dalam masyarakat.

Pasal 24 F Usulan Komisi Konstitusi sebagai Politik Hukum

Politik hukum (rechtspolitiek) menurut Padmo Wahjono dalam bukunya Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, adalah: 1) kebijakan dasar; 2) arah hukum, bentuk hukum, isi hukum; dan 3) yang akan dibentuk. (Padmo Wahjono, 1986:160).

Dari definisi ‘’kebijakan dasar’’ di atas, dapat dijabarkan, bahwa politik hukum selain ditemukan dalam UUD 1945, juga terdapat pula dalam Ketetapan MPR, khususnya Ketetapan MPR tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Dalam ketentuan Pasal 3 UUD 1945 hasil Perubahan menentukan, bahwa kewenangan MPR meliputi mengubah dan menetapkan UUD (ayat 1); melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden (ayat 2); dan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD (ayat 3).

Dari ketentuan Pasal 3 di atas, MPR tidak lagi berwenang mengeluarkan produk hukum berupa ketetapan MPR maupun Keputusan MPR. Karena MPR sudah tidak mengeluarkan Ketetapan MPR, maka MPR tidak berwenang menetapkan GBHN.

Sementara itu, Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004, ketentuan berlakunya, pada saat itu, sudah menginjak batas akhir tahun. Artinya, bahwa sejak tidak diberlakukannya GBHN tersebut, nantinya politik hukum hanya terdapat di dalam UUD 1945. Secara substansial, benarkah ketentuan Pasal 24A, 24B, dan 24C mengatur politik hukum?

Sebelum menjawabnya, maka perlu diuraikan terlebih dahulu definisi tentang ‘’arah hukum’’. Kemungkinan yang terjadi pada arah hukum adalah unifikasi hukum, pluralisme hukum, dan kodifikasi hukum. (Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2004:26). Karena unifikasi hukum tidak mungkin dilakukan, maka pluralisme hukum menjadi sasaran, yakni terdiri atas Hukum Adat, Hukum Islam, Hukum Perdata Barat, dan Hukum Nasional. Sementara itu, kodifikasi hukum, yaitu pembukuan bahan-bahan hukum secara tuntas dalam kitab-kitab hukum, masih belum dimungkinkan.

Selanjutnya, ‘’bentuk hukum’’ sejak tahun 1966 dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertin Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, terdiri atas: Undang-Undang Dasar 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Keputusan Presiden; Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya, seperti: Peraturan Menteri; Instruksi Menteri; dan lain-lainnya.

2.       Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, dalam ketentuan Pasal 2, terdiri atas: Undang-Undang Dasar 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Keputusan Presiden; Peraturan Daerah.

3.       Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1), terdiri atas: Undang-Undang Dasar 1945; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah.

4.       Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terdiri atas: Undang-Undang Dasar 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah.

Sementara itu, yang dimaksud ‘’isi hukum’’ merupakan substansi atau materi muatan yang terkandung di dalamnya. Misalnya, Undang-Undang tentang Pencucian Uang; Convention on International Court, yang menentukan jikalau 60 negara telah meratifikasi, maka negara lain yang tidak tunduk, harus mengikutinya.

Yang terakhir, dari definisi tentang ‘’yang akan dibentuk’’ mempunyai arti, bahwa politik hukum hanya yang berkaitan dengan ius constituendum, sehingga politik hukum hanya terdapat dalam Undang-Undang Dasar. (Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2004:27). Konsekuensinya, dapat muncul kemungkinan kita tidak mempunyai politik hukum. Hal itu terjadi, karena UUD 1945 tidak mengatur secara tegas politik hukum. Dengan demikian, patutlah dihargai apabila Komisi Konstitusi mengusulkan ketentuan Pasal 24F, sebagaimana diuraikan di atas. Munculnya ketentuan Pasal 24F tersebut, karena adanya kekosongan politik hukum yang terdapat dalam UUD 1945.

Selain itu, kalau kita membandingkan dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950), mengatur rumusan politik hukum di dalamnya. Ketentuan Pasal 102 menjelaskan, bahwa hukum perdata dan hukum dagang, hukum pidana sipil maupun hukum pidana militer, hukum acara perdata dan hukum acara pidana, susunan dan kekuasaan pengadilan diatur dengan undang-undang dalam kitab hukum, kecuali jika pengundang-undang menganggap perlu untuk mengatur beberapa hal dalam undang-undang tersendiri. Hal ini berarti, ketentuan Pasal 102 tersebut menghendaki kodifikasi hukum.

Dari uraian definisi di atas, maka politik hukum menurut Padmo Wahjono, terdiri atas:

  1. Materi muatan atau substansinya meliputi bentuk hukum, arah hukum, dan isi hukum;
  2. Bentuk hukumnya adalah Undang-Undang Dasar dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Lembaga yang menetapkan adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat; serta
  4. Jangkauannya adalah ius constituendum. (Padmo Wahjono, 1986:160).

C.F.G. Sunaryati Hartono dalam bukunya Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional menjelaskan, bahwa suatu sistem itu selalu terdiri atas sejumlah unsur atau komponen yang saling berkaitan dan pengaruh-mempengaruhi, lagi pula terikat oleh satu atau beberapa asas tertentu. Maka Sistem Hukum Nasional terdiri atas sejumlah unsur atau komponen, yang sebagian pada saat ini sudah ada dan sudah berfungsi, tetapi sebagian besar lagi masih harus diciptakan. (C.F.G. Sunaryati Hartono, 1991: 37).

Dari uraian di atas, Sunaryati Hartono, selain menitik beratkan pada hukum positif atau ius constitutum, juga melihat pada dimensi hukum yang berlaku di masa yang akan datang atau ius constituendum.

UUD 1945 Tidak Mengatur Politik Hukum

Setelah dilakukan pembahasan seperti diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan (Pertama 1999, Kedua 2000, Ketiga 2001, dan Keempat 2002) tidak mengatur tentang politik hukum.

Seyogyanya diperlukan ketentuan Pasal 24F dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 saat perubahan konstitusi mendatang. Sebab usulan Komisi Konstitusi, yakni untuk memasukkan ketentuan Pasal 24F ke dalam konstitusi, karena adanya kekosongan politik hukum yang ada di dalam UUD 1945.

Penulis : Soetanto Soepiadhy Pakar Hukum Konstitusi Untag Surabaya dan Pendiri “Rumah Dedikasi” Soetanto Soepiadhy

 


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id

N. S. Latifah

Redaksi yang malang melintang di bidang jurnalisme