Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Politik hukum merupakan politik (kebijakan) yang berguna untuk hukum dan ilmu hukum, sehingga antara politik hukum, hukum nasional, dan ilmu hukum berkait sangat erat. Kaitan sangat erat itu menyebabkan politik hukum merupakan bagian pula dari studi hukum atau menjadi bagian dari bidang studi hukum. Politik hukum mengetengahkan bagaimana hukum harus mengakomodasikan suatu tujuan masyarakat yang dirumuskan secara politik. Hukum dalam arti peraturan perundang-undangan memerlukan politik (kebijakan) dalam arti yang positif, karena memang harus diakui, bahwa hukum itu adalah produk politik. Lebih tegas lagi, dapat dikatakan, bahwa hukum sebagai suatu produk (peraturan perundang-undangan) merupakan proses konflik. Artinya proses yang penuh muatan aspirasi dan titipan kepentingan politik.
Kebijakan dalam arti positif sebagai penjamin adanya kepastian hukum (rechtsmatigheid), maupun keadilan hukum (doelmatigheid). Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai dengan kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan. Itulah sebabnya banyak pendapat yang mengatakan, bahwa hukum itu bagaikan bandul (pendulum). Apabila kepastian hukum tercapai, maka keadilan hukum akan tercampakkan; begutu pula sebaliknya, apabila keadilan hukum didapat, maka kepastian hukum akan ditinggalkan.
Politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakaan hukum itu.
Makro, Messo, dan Mikro
Dalam menentukan politik hukum harus bertolak pada suatu tujuan yang dirumuskan bersama, dan tujuan itu menjadi sasaran yang akan dicapai setiap pembentukan hukum. Kebersamaan merumuskan suatu kebijakan itu sebagai konsekuensi dari pemerintahan yang bersistem politik demokrasi. Merumuskan tujuan hukum adalah suatu politik. Dengan rumusan itu, kebijakan dibentuk oleh badan yang mempunyai kekuasaan. Dalam mencapai tujuan hukum diperlukan politik hukum. Dengan demikian, politik hukum berfungsi mengarahkan pembuat peraturan perundang-undangan dalam proses pembuatan hukum.
Politik hukum adalah bagian dari bidang studi hukum, mengandung makna, bahwa hukum bukan suatu yang steril dari pemikiran politik. Hukum dalam arti peraturan perundang-undangan adalah suatu wadah untuk memberikan legitimasi dan legalitas terhadap suatu kebijakan yang dihasilkan melalui proses politik.
Politik hukum dibedakan atas tiga sifat, yakni ‘’makro’’, messo, dan ‘’mikro’’. Politik hukum bersifat ‘’makro’’ dirumuskan dalam suatu norma dasar (dalam hal ini Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945/UUD 1945), yang dalam susunan peraturan perundang-undangan ditempatkan sebagai peraturan yang tertinggi. Tujuan makro itu dilaksanakan dalam berbagai politik hukum bersifat messo (menengah) melalui berbagai peraturan perundang-undangan. Politik hukum bersifat ‘’mikro’’ dilaksanakan melalui berbagai peraturan yang lebih rendah lagi tingkatnya. Dengan cara demikian, akan tercipta peraturan perundang-undangan (sebagai hukum nasional) yang taat asas, yaitu dibenarkan pada tataran politik hukum yang makro.
Politik hukum adalah problematik menetukan kebijakan atau menentukan pilihan beserta pertimbangan yang digunakan untuk sampai pada pilihan. Di dunia ini pada dasarnya terdapat dua sistem hukum, yaitu Civil Law System dan Common Law System.
Di lain pihak, dalam bukunya Comparative Law, Michael Bogdan mengemukakan lima sistem hukum, antara lain:
· Common Law System atau Anglo American Legal System, dikenal juga sebagai Anglo Saxon, yang diikuti oleh Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan Zelandia Baru.
· Civil Law System atau disebut Sistem Hukum Eropa Kontinental, yang diikuti oleh Belanda, Belgia, Perancis, Jerman, dan Spanyol.
· Islamic Law System atau disebut Sistem Hukum Islam, yang diikuti oleh Arab Saudi, Iran, Jordania, Negara-negara Magribi, dan Malaysia.
· Socialist Legal System atau disebut Sistem Hukum Sosialis, yang dipelopori oleh sistem hukum yang berlaku di Uni Soviet, Polandia, Cekoslovakia, Yugoslavia, dan Negara-negara Eropa Timur.
· Chinese Law System atau disebut Sistem Hukum China, yang dipelopori oleh Negara China.
Menentukan kebijakan dengan memilih satu di antara beberapa sistem yang ada dan disertai atas pertimbangan menentukan pilihan itu adalah politik hukum. Dalam pemilihan umum menentukan sistem ‘’proporsional’’ atau ‘’distrik’’; dalam sistem di lembaga parlemen menentukan sistem ‘’bicameral’’ atau sistem ‘’monokameral’’; dalam sistem pemerintahan di daerah menentukan sistem ‘’desentralisasi’’ atau sistem ‘’sentralisasi’’; dan lain-lain.
Di era reformasi muncul wacana tentang bentuk negara federasi dan negara kesatuan dengan sistem desentralisasi. Nampaknya terjadi perubahan politik hukum yang semula kebijakan terselubung melaksanakan sentralisasi, maka tuntutan mengalir agar dilaksanakan sistem desentralisasi dalam arti yang sebenarnya. Kekuasaan hegemoni Orde Baru telah mendominasi kepentingan daerah dalam berbagai hal.
Pemilihan kepala daerah, proses penetapan Peraturan Daerah, wewenang menetapkan pajak dan retribusi daerah merupakan bukti kebijakan yang diambil, merupakan upaya dominasi pusat terhadap daerah. Semua ini adalah perbincangan politik hukum dalam arti messo, yang prinsipnya harus diarahkan untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai dalam politik hukum makro.
Pemikiran tentang pokok-pokok reformasi menjadi penting untuk digunakan sebagai politik hukum bagi perubahan hukum yang lebih menyeluruh. Dalam hal ini, hukum sebagai suatu sasaran untuk mewujudkan suatu kebijakan publik. Kebijakan publik itu diambil untuk melaksanakan tujuan yang ingin dicapai. Tujuan yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia telah dirumuskan dalam bagian Pembukaan UUD 1945. Tujuan itu harus dicapai dengan menggunakan cara-cara yang ditentukan dalam kebijakan publik.
Tujuan suatu bangsa dapat dicapai dengan berbagai alternatif, yaitu dengan jalan yang sesuai dengan doktrin liberalis-kapitalis atau doktrin sosialis. Doktrin leberlisme-kapitalisme dan sosialisme pada hakikatnya adalah ajaran tentang cara mencapai masyarakat adil dan makmur. Pilihan terhadap alternatif kedua doktrin atau doktrin yang lainnya adalah suatu kebijakan. Jika suatu bangsa menentukan dengan cara liberal, maka politik hukum yang mendasari pembangunan hukum nasional adalah doktrin liberal.
Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia sebagai yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, bangsa Indonesia mengambil pilihan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Putusan mengambil Pancasila sebagai suatu cara untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur itu adalah politik hukum. Pancasila bukan politik hukum, tetapi menetapkan Pancasila sebagai pilihan membangun hukum nasional yang diarahkan pada pencapaian tujuan yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 itu adalah politik hukum. Dengan kata lain, bahwa politik hukum terdapat di dalam UUD 1945 yang bersifat makro.
Hukum Merupakan Produk Politik
Dengan asumsi hukum sebagai produk politik, maka hubungan antara keduanya adalah: hukum dipandang sebagai dependent variable, sedangkan politik diletakkan sebagai independent variable. Peletakan hukum sebagai variabel yang tergantung atas politik atau pollitik yang determinan atas hukum itu mudah dipahami dengan melihat realitas, bahwa pada kenyataannya hukum dalam artian sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal yang imperatif) merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan. Sidang parlemen bersama pemerintah untuk membuat undang-undang sebagai produk hukum, pada hakikatnya merupakan adegan kontestasi, agar kepentingan dan aspirasi semua kekuatan politik dapat terakomodasi di dalam keputusan politik dan menjadi undang-undang. Undang-undang yang lahir dari kontestasi tersebut, dengan mudah dapat dipandang sebagai produk dari adegan kontestasi politik itu. Inilah maksud pernyataan, bahwa hukum merupakan produk politik.
Untuk menjawab pertanyaan tentang politik yang bagaimana yang senantiasa melahirkan produk hukum macam apa, maka digunakan dua konsep yang dikotomis, baik untuk variabel politik maupun untuk variabel hukumnya. Variabel politik dipecah atas konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter; sedangkan produk hukum dibedakan atas produk hukum yang berkarakter responsif dan dan produk hukum yang berkarakter represif.
Istilah-istilah tersebut diambil dari berbagai literatur tentang politik dan hukum yang kemudian diberi konsep sendiri, dengan memodifikasi berbagai konsepsi yang telah ada. Untuk itu, istilah-istilah tersebut sengaja dibingkai dengan konsep dan indikator tertentu, sebab dari istilah-istilah tersebut dapat lahir pengertian yang tidak tunggal, karena sifatnya yang ambigu (multitafsir). Ambiguitas arti istilah-istilah ini, bahkan sangat sering terjadi dalam ilmu social, sehingga konseptualisasi dan penentuan indikator atas konsep-konsep itu menjadi sangat diperlukan. Istilah demokrasi dan hukum responsif misalnya, dapat melahiran pengertian yang bermacam-macam.
Demokrasi dan otoriter adalah istilah-istilah yang mengandung pengertian yang ambigu. Dalam berbagai leteratur, banyak ditemui perbedaan antara demokrasi normatif dan demokrasi empirik yang belum tentu berjalan seiring. Apa yang secara normatif-konstitusional demokratis belum tentu demokratis pula dalam kenyataan empirisnya. Appearance suatu sistem politik dapat saja kelihatan demokratis, tetapi essence-nya sebenarnya otoriter. Bahkan negara-negara yang sangat otoriter sekalipun dapat mengklaim dirinya sebagai negara demokrasi, karena pemerintahannya yang otoriter justru dibangun untuk melindungi kepentingan rakyat. Di sini demokrasi tidak diartikan sebagai pemerintahan yang ‘’dari, oleh, dan untuk rakyat’’, melainkan dikurangi menjadi sekadar pemerintahan ‘’untuk rakyat’’, sehingga rakyat sekadar dipersilahkan menikmati hasil atau kemanfaatannya.
Dari segi lain, perlu diingat pula, bahwa istilah-istilah tersebut seharusnya lebih dulu dipandang secara netral, terlepas dari soal baik dan buruk, sebab dalam soal ini pun kesimpulannya akan tergantung pada sudut pandang dan pilihan konsep serta indikator-indikatornya. Demokrasi bisa berarti baik, dan otoriter dapat berarti jelek dipandang dari segi tertentu, namun bisa juga demokrasi berarti jelek dan otoriter berarti baik jika dipandang dari segi tertentu yang lain.
Politik Hukum dan Hukum Nasional
Politik hukum harus dipahami dalam kaitan dengan hukum nasional, di mana Pancasila digunakan sebagai dasar dalam rangka pembentukan hukumnya. Secara materiil, hukum nasional tidak dibenarkan bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila yang dinyatakan sebagai sumber hukum dasar nasional itu wajar jika digunakan sebagai politik hukum nasional. Hukum nasional itu sendiri sampai saat ini masih dalam proses yang berkelanjutan. Hukum positif yang ada sekarang ini belum dapat dinyatakan sebagai hukum nasional yang sudah utuh. Hukum nasional itu adalah hukum yang sekarang ada, dan hukum yang akan datang yang masih berada dalam proses pemikiran. Proses itu sampai sekarang masih terus berlangsung dan tiada hentinya.
Dua faktor yang berpengaruh dari proses itu adalah sistem/tata hukum kolonial dan tata hukm yang hidup dalam masyarakat adat. Sistem/tata hukum kolonial itu juga dipengaruhi secara dominan oleh sistem hukum Belanda, yang asalnya dari pengaruh hukum Romawi dan Jerman, serta budaya agama Kristen. Di Eropa daratan umumnya menggunakan sistem hukum Romawi-Jerman. Dari prooses yang berkelanjutan ini, membuktikan suatu teori hukum yang menyatakan, bahwa hukum itu tidak netral. Hukum itu bermuatan kebijakan dari berbagai alternatif, yang disesuaikan dengan budaya masyarakat di mana hukum itu berlaku (politieke rechtstheorie). Dengan demikian, problematik politik hukum adalah bagaimana hukum dapat digunakan dalam arti yang positif untuk melaksanakan kehendak politik (political will). Politik hukum adalah sebuah pilihan yang berupa kebijakan yang harus digunakan untuk membangun Tata Hukum Nasional. Pembangunan hukum nasional harus dilakukan secara sadar yang mengarah pada suatu realisasi kebijakan.
Sasaran kajian politik hukum adalah kebijakan yang digunakan oleh pembuat hukum nasional sebagai pedoman membuat hukum nasional. Kebijakan dapat berupa pilihan hukum yang berlaku, sistem hukum yang dianut, dasar filosofis yang digunakan pembentukan hukum, termasuk kebijakan agar mendasarkan hukum nasional dari asas-asas umum yang berlaku.. Kebijakan mengambil sumber hukum nasional dari hukum yang sudah ada yang berarti hukum kolonial saat itu dan akan memadukannya dengan hukum adat.
Akhirnya, uraian di atas dapat dirangkum secara singkat sebagai berikut:
Pertama, politik hukum dibedakan atas tiga sifat, yakni makro, messo, dan mikro. Politik hukum yang makro dirumuskan dalam suatu peraturan dasar, yang dalam susunan peraturan perundang-undangan ditempatkan sebagai peraturan yang tertinggi. Dengan kata lain, bahwa politik hukum yang terdapat di dalam UUD 1945 bersifat makro.
Kedua, demokrasi bisa berarti baik, dan otoriter dapat berarti jelek dipandang dari segi tertentu; namun bisa juga demokrasi berarti jelek, dan otoriter berarti baik jika dipandang dari segi tertentu yang lain.
Ketiga, hukum positif yang ada sekarang ini belum dapat dinyatakan sebagai hukum nasional yang sudah utuh. Hukum nasional itu adalah hukum yang sekarang ada dan hukum yang akan datang yang masih berada dalam proses pemikiran. Proses itu samai sekarang masih harus berangsung dan tanpa henti.
Penulis : Soetanto Soepiadhy Pakar Hukum Konstitusi UNTAG Surabaya dan Pendiri ‘’Rumah Dedikasi’’ Soetanto Soepiadhy.
Referensi:
Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2001.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991.
Suwoto Mulyosudarmo, Pengertian dan Problematik Politik Hukum, Makalah, 1998.
Redaksi yang malang melintang di bidang jurnalisme