Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Muhammad Imron Rosyadi mahasiswa Fakultas Hukum (FH) UNTAG Surabaya melakukan penelitian mengenai " wewenang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan (BPKP) dalam menilai kerugian keuangan Negara ". Penelitian tersebut untuk mengetahui dan menganalisis tentang kedudukan BPK dan BPKP dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia dan mengetahui lembaga negara mana yang berwenang melakukan penilaian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi.
Kewenangan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia dalam rangka melakukan penilaian kerugian keuangan negara, ternyata memiliki konflik norma dengan kewenangan yang dimiliki oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
" Jika kita amati ada beberapa peraturan pemerintah yang menimbulkan konflik norma dengan peraturan yang lainnya, seperti (Pasal 3 huruf e Perpres No. 192/2014) bahwa terdapat satu wewenang BPKP yang memiliki kesamaan dengan wewenang BPK, yakni untuk menilai kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. Pasal ketentuan tentang UU BPK yang lahir pada tahun 2006, tetapi masih muncul juga aturan yang lebih baru, yang mengatur mengenai kewenangan BPKP (PP No. 60/2008). Bahkan pemerintah membuatkan aturan tersendiri, yang mengatur secara eksplisit mengenai tugas dan fungsi BPKP (Perpres No. 192/2014), sehingga dengan adanya peraturan tersebut menimbulkan konflik kewenangan kelembagaan negara dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. " Ucapnya
Kondisi yang demikian, lanjut dia, mengharuskan terjadinya beberapa perubahan dalam penyelenggaraan bernegara, perubahan penyelenggaraan bernegara tersebut adalah perubahan struktur kelembagaan negara. Namun, konflik kewenangan tentang memeriksa (audit) kerugian keuangan negara tidak hanya terjadi antara lembaga BPK dan BPKP saja. Terdapat pula dalam PP No. 60/2008 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU No. 30/2014) juga menimbulkan polemik tersendiri, yakni terkait dengan eksistensi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), karena BPKP juga termasuk dalam lingkup APIP, namun tidak hanya BPKP saja yang dianggap sebagai APIP, melainkan terdapat juga Inspektorat Jenderal, Inspektorat Provinsi dan Inspektorat Kabupaten/Kota.
Dari hasil penelitiannya dia menyimpulkan dua kesimpulan, yaitu bahwa BPK merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang memiliki wewenang berdasarkan kewenangan atribusi. Sedangkan BPKP merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan perintah Keputusan Presiden, yang memiliki wewenang berdasarkan kewenangan delegasi.
" BPK kedudukannya lebih tinggi dari pada BPKP dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Hal tersebut dapat dibuktikan berdasarkan landasan pembentukan lembaga BPK dan BPKP. Landasan pembentukan BPK termaktub dalam Pasal 23E, 23F dan 23G Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), yang kemudian ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Sedangkan landasan pembentukan BPKP termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Dengan demikian, berdasarkan masing-masaing landasan pembentukan dua lembaga tersebut, BPK termasuk dalam lembaga negara yang pembentukannya berdasarkan perintah UUD NRI Tahun 1945 (constitutionally entrusted power), sedangkan BPKP termasuk dalam lembaga negara yang pembentukannya berdasarkan perintah Peraturan Presiden (executively entrusted power). "
Sedangkan lembagayang berwenang dalam menilai kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi , tambahnya, adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Inspektorat atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern. Karena hal tersebut dapat dibuktikan berdasarkan ketiga lembaga negara tersebut sama-sama berwenang melakukan pemeriksaan (audit) investigatif berdasarkan masing-masing landasan yuridisnya. Dalam Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara memuat ketentuan mengenai pemeriksaan (audit) investigatif, pemeriksaan investigatif yaitu suatu pemeriksaan yang digunakan untuk mengungkap adanya indikasi kerugian keuangan negara/daerah dan/atau unsur pidana (korupsi). Kesamaan wewenang tersebut menimbulkan sengketa mengenai lembaga manakah yang lebih berwenang dalam menilai kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. Berdasarkan teori negara hukum khususnya konsep pembatasan kekuasaan, yakni suatu konsep yang memisahkan wewenang dalam masing-masing cabang kekuasaan, maka BPK yang lebih berwenang untuk menilai kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi dibanding BPKP dan Inspektorat.
Dari penelitian ini dia menyarankan diperlukannya sebuah Undang-Undang baru mengenai pembubaran Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, sehingga lebih menguatkan kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan. Dan untuk menyelesaikan konflik kewenangan terkait penilaian kerugian keuangan negara adalah diperlukan pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung terkait dasar wewenang BPKP dan Inspektorat terhadap dasar wewenang BPK.
Redaksi yang malang melintang di bidang jurnalisme