Bukan Cuma Hutang, Ibadah Puasa Juga Wajib Dibayar

  • 22 Maret 2024
  • 322

Puasa ditetapkan sebagai salah satu dari lima rukun Islam. Dalam konteks ini, puasa merujuk pada praktek meninggalkan makan, minum, serta segala sesuatu yang membatalkan puasa selama bulan Ramadhan. 


Meskipun menjadi kewajiban, menjalankan puasa tetap memiliki keringanan yang diberikan dengan syarat, serta kondisi-kondisi tertentu yang diperbolehkan untuk meninggalkan puasa, sebagaimana ditetapkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 184: "(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”


Surah Al-Baqarah ayat 184 selain menjelaskan mengenai dispensasi puasa juga menetapkan kewajiban menggantinya pada hari lain setelah bulan Ramadhan, atau yang dikenal dengan istilah qadha puasa dalam ilmu fiqih. Berikut adalah ketentuan mengenai qadha puasa dilansir dari laman resmi Kemenag.go.id:


1. Qadha puasa boleh dilaksanakan secara berurutan atau terpisah


Kewajiban mengganti puasa sebanyak hari yang ditinggalkan, telah diatur dalam Surah Al-Baqarah ayat 184. Namun, muncul pertanyaan apakah penggantian tersebut harus dilakukan secara berurutan atau boleh dengan selang-seling hari.


Pendapat pertama, menyatakan bahwa jika hari puasa yang ditinggalkan berurutan, maka penggantiannya juga harus dilakukan secara berurutan. Ini karena qadha adalah pengganti puasa yang telah ditinggalkan, sehingga wajib dilakukan secara sepadan. Pendapat kedua, menyatakan pelaksanaan qadha puasa tidak harus dilakukan secara berurutan, karena tidak ada dalil yang menegaskan mengganti puasa harus berurutan. 


Surah Al-Baqarah ayat 184 hanya menegaskan bahwa qadha puasa wajib dilaksanakan sebanyak jumlah hari yang telah ditinggalkan. Selain itu, pendapat ini didukung oleh pernyataan sebuah hadits yang sharih jelas dan tegas. Sabda Rasulullah SAW: ‘Qadha' (puasa) Ramadhan itu, jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya terpisah. Dan jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya berurutan. (HR. Daruquthni, dari Ibnu Umar).


Dari kedua pendapat tersebut, pendapat terakhir lebih diutamakan, karena didukung dengan hadits yang sharih (jelas). Sementara pendapat pertama hanya berdasarkan logika yang bertentangan dengan nash hadits yang sharih. Oleh karena itu, qadha puasa tidak wajib dilakukan secara berurutan. Namun dapat dilakukan dengan fleksibilitas, baik secara berurutan maupun terpisah.


2. Qadha Puasa Tidak Mengetahui Jumlah Hari 


Pelaksanaan qadha puasa adalah kewajiban, baik untuk diri sendiri maupun anggota keluarga yang telah meninggal dunia. Saat lupa atau sulit mengetahui jumlah hari yang harus diganti, lebih baik ambil jumlah maksimum. Kelebihan hari qadha tersebut menjadi ibadah sunnah yang bernilai.


3. Qadha Puasa Jangan Menumpuk Sampai Ramadhan Berikutnya


Waktu untuk mengganti puasa sebenarnya cukup, yaitu sampai bulan Ramadhan berikutnya. Namun, ada orang yang belum dapat melaksanakan qadha puasa hingga tiba bulan Ramadhan berikutnya karena alasan tertentu. Penundaan qadha puasa tanpa halangan yang sah hukumnya haram dan berdosa. Namun, jika penundaan itu disebabkan oleh udzur seperti sering sakit, maka tidaklah berdosa.


4. Kewajiban qadha puasa bagi yang meninggal dunia


Segala hutang wajib dibayar, termasuk yang berkaitan dengan manusia dan Allah SWT. Meninggal sebelum memenuhi kewajiban qadha puasa Ramadhan sama dengan memiliki hutang kepada Allah SWT, dan keluarga wajib memenuhinya.


Dalam praktik pelaksanaan qadha puasa Ramadhan, ada dua pendapat. Pendapat pertama mengizinkan penggantian puasa bagi orang yang telah meninggal dengan fidyah, yaitu memberi makanan kepada seorang miskin sesuai jumlah puasa yang ditinggalkannya. Pendapat kedua menyatakan bahwa keluarga yang bertanggung jawab untuk melaksanakan qadha puasa orang yang meninggal, tidak dengan fidyah. Dalam praktiknya, qadha puasa tersebut dapat dilakukan oleh orang lain dengan seizin atau atas perintah keluarga.


Pendapat kedua lebih kuat lantaran berdasarkan hadits yang shahih. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW: "Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban qadha puasa, maka walinya (keluarganya) berpuasa menggantikannya." (HR. Bukhari dan Muslim, dari Aisyah).


Puasa Ramadhan menjadi sebuah berkah yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan lain, maka alangkah baiknya menjalankan dengan penuh kesungguhan, agar menjadi amal baik yang dapat menyelamatkan kita di masa mendatang. (Azri) 



https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id