Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Allah telah menciptakan manusia dengan bentuk dan penampilan yang terbaik. Dalam Al-Quran Surat at-Tin diistilahkan dengan frasa fi ahsani taqwim. Mayoritas ahli tafsir memaknai taqwim di sini sebagai bentuk (syakl) dan penampilan (shurah) lantaran struktur tubuh yang tegap, cara konsumsi yang menggunakan tangan, dan keindahan lain yang tak dimiliki kebanyakan binatang.
Yang menarik, penegasan tentang hal ini menggunakan dua huruf penguat lam dan qad (wa laqad khalaqnal insana fi ahsani taqwim) yang berarti pesan ini sangat Allah tekankan. Apalagi sebelum ayat keempat ini, tiga ayat sebelumnya masing-masing merupakan redaksi sumpah, yang kian memperkokoh pernyataan tersebut. Allah sungguh-sungguh menegaskan bahwa manusia Dia ciptakan dalam bentuk terbaik. Hal ini berlaku untuk manusia secara umum tanpa membeda-bedakan antara satu sama lain.
Namun demikian, ternyata Allah pun menciptakan mereka dalam ciri yang beraneka ragam, mulai dari jenis kelamin, suku, rumpun bangsa, hingga kemampuan fisik. Pada titik inilah, manusia kemudian terkelompok-kelompokkan berdasar kesamaan yang dimiliki. Berangkat dari kondisi ini tak jarang sentiman antarkomunitas pun muncul. Ras satu menganggap diri lebih unggul dari ras yang lain, etnis satu merasa lebih baik dari yang lain. Kecenderungan tersebut lazim kita sebut dengan rasisme, yakni ketika superioritas atau keunggulan dinilai sekadar dari ciri-ciri biologis atau kedaerahan : antara kulit hitam dan berwarna, antara orang dari daerah A dan orang dari daerah B, antara pendatang dan pribumi, dan seterusnya.
Kita tentu sering mendengar kisah pembangkangan Iblis kepada Allah yang menolak bersujud hormat kepada Nabi Adam alaihissalam. Faktor utama yang membuat Iblis durhaka adalah lantaran ia yang diciptakan dari api merasa lebih baik ketimbang Adam yang tercipta dari tanah. Inilah awal mula kemunculan benih rasisme di kalangan makhluk, ketika kualitas diri dihitung hanya dari pembedaan antara ras api dan ras tanah. Atas sikap takaburnya ini, Iblis dilempar keluar dari surga dan menjadi makhluk paling dilaknat.
Kesalahan pokok Iblis adalah hanya memandang Adam sebagai Adam, bukan Adam sebagai manusia ciptaan Allah yang sekaligus dimuliakan-Nya. Menganggap remeh Nabi Adam sama artinya menghina penciptanya. Apalagi secara tegas Allah berfirman : Wa laqad karramna bani adam (sungguh telah Kami muliakan manusia). Rupanya Iblis lanatullah alaih tidak hirau. Ia memilih jalur ingkar dan hingga kini terus menabur teladan buruknya itu ke seluruh umat manusia.
Lantas apa yang mesti kita perhatikan agar terhindar dari rasisme yang menjerumuskan itu ? Setidaknya ada tiga poin yang harus diterapkan. Pertama, menyadari bahwa standar kemuliaan manusia bukanlah fisik melainkan ketakwaan. Pemahaman ini merujuk pada firman Allah :
Artinya: ‘’Wahai manusia ! Sungguh Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.’’ (QS al-Hujurat : 13).
Dengan demikian, di luar ketakwaan setiap manusia adalah setara. Tidak boleh didiskriminasi atau pun dilecehkan hak-haknya, baik karena kemiskinanannya, ketidaktahuannya, serta identitas agama, suku, atau rasnya. Bagaimana kita mengukur ketakwaan orang lain? Tidak ada parameter paling akurat kecuali Allah sendiri yang Mahatahu. Takwa seseorang lebih banyak berasal dari kedalaman hati, dan inilah yang paling diperhitungkan Allah dalam diri manusia. Selaras dengan ayat di atas adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:
Artinya: ‘’Sesungguhnya Allah tidak memperhatikan badan dan rupa kalian, melainkan Dia memperhatikan hati kalian.’’
Poin kedua yang juga penting dicatat adalah : lebih banyaklah fokus pada kekurangan diri sendiri dari pada kekurangan orang lain. Muhasabah atau introspeksi akan menjadikan orang lebih sibuk dengan ikhtiar memperbaiki diri ketimbang mengoreksi orang lain. Keuntungannya, yang terjadi kemudian adalah berlomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat ; berlomba lombalah dalam kebaikan !), bukan berlomba saling menjatuhkan. Menghina atau meremehkan orang lain sama sekali tak membuat diri kita semakin mulia, justru mungkin sebaliknya. Sebab, kemuliaan manusia sejatinya lebih sering tersirat daripada tampak secara kasat mata.
Syekh Muhammad Ali al-Bakri dalam Dalîlul Falihin li Thuruq Riyadlis Shalihin mengatakan : ‘’Kadang, orang ‘’remeh’’ di mata manusia memiliki kapasitas lebih besar di sisi Allah dari pada kebanyakan orang yang diagung-agungkan di dunia.’’
Ketiga, penting bagi kita untuk mengasah kepekaan terhadap nilai-nilai kesetaraan dengan memperbanyak bergaul atau berdialog dengan orang lain yang berbeda. Betapa banyak ketersinggungan, kebencian, dan tindak menyakiti orang lain dilatari komunikasi yang buntu. Dengan membuka komunikasi, kita akan terhindar dari kecurigaan, salah paham, atau perbuatan menyinggung yang (meskipun) tak disengaja. Inilah nilai utama dari potongan surat al-Hujarat yang disebut tadi :
Litaarafu atau supaya saling mengenal menjadi tujuan kunci dari diciptakannya manusia yang bermacam-macam jenis kelamin, suku, dan bangsa. Semangat ini pula yang dicontohkan Nabi saat hijrah beliau sampai pertama kali di Madinah. Beliau mencairkan perbedaan kabilah dan dikotomi pribumi-pendatang dengan mempersaudarakan mereka dalam satu ikatan.
Semoga kita semua dianugerahi kekuatan oleh Allah untuk senantiasa meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang sangat manusiawi dan memanusiakan manusia.
Sumber : https://islam.nu.or.id/