Hak Normatif Buruh yang Hingga Saat Ini Masih Sering Diabaikan

  • 14 Mei 2019
  • REDAKSI
  • 6195

Disertasi dengan judul ‘’Tanggung Jawab Negara Terhadap Pemenuhan Hak – Hak Normatif Pekerja / Buruh Pada Perusahaan Yang Dinyatakan Pailit’’ berhasil mengantarkan M. Syahrul Borman menyelesaikan program pendidikan Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untag Surabaya. Ketua Penguji ujian terbuka Dr. Mulyanto Nugroho mengumumkan bahwa M. Syahrul Borman lulus dengan predikat sangat memuaskan, pada hari Jumat, 10/05/2019 di meeting room Graha Wiyata lantai 1 Untag Surabaya.

Dalam disertasi, Syahrul menjelaskan, terdapat konflik antar norma antara UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 95 ayat 4 dan UU Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayara Hutang (PKPU) Pasal 138 yang membuat posisi pekerja / buruh dalam pemenuhan hak – hak normatifnya menjadi lemah, bahkan bisa dikatakan sama sekali tidak terlindungi.

‘’Pasal 95 ayat 4 menyatakan dalam hal perusahaan dipailitkan atau dilikuidasi berdasarkan peraturan per undang – undang yang berlaku, maka upah dan hak – hak lainnya dari pekerja / buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya, namun dengan berlakunya UU Kepailitan yang lebih mengutamakan kreditor separatis pemegang hak jaminan, hipotik, fiducia, gadai dan hak tanggungan, maka para kreditor separatis ini yang diutamakan dalam pembayaran hutang debitor pailit’’, jelas alumnus Unair tahun 1985 itu.

Pria kelahiran kota Palu tersebut juga menambahkan, bahwa UU Kepailitan tidak secara khusus mengatur kedudukan pekerja / buruh sebagai kreditor preferen yang diistimewakan. Oleh karena itu, jika terjadi kepailitan suatu perusahaa, yang diutamakan pembayarannya adalah kreditor separatis, karena pekerja / buruh sebagai kreditor preferen kedudukannya berada di bawah kreditor separatis dan kurator dalam proses penyelesaian harta debitor pailit.

‘’Berpedoman pada UU Kepailitan, dalam menjalankan tugas, Kurator lebih mengutamakan hak – hak para kreditor separatis dalam pembayaran hutang debitor pailit, sehingga hak – hak normatif pekerja / buruh sering terabaikan bahkan tidak terbayarkan dalam penyelesaian harta debitor pailit. Maka dari itu Pasal 95 ayat 4 menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak ada penafsiran yang jelas dan tegas’’, tambahnya.

Dari hasil penelitian tersebut, Syahrul menyimpulkan serta memberikan saran kepada yang memiliki wewenang atas tersusunnya sebuah undang – undang. Dalam hal ini adalah lembaga legeslatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Syahrul menyarankan supaya DPR menghindari rumusan pasal dalam Undang – Undang yang yang sifatnya multi tafsir.

‘’Peneliti menyarankan supaya lembaga legeslatif (DPR) terkait perumuskan pasal – pasal dalam Undang – Undang hendaknya menghindari rumusan pasal yang sifatnya multi tafsir dan tanpa penetapan ukuran yang jelas. Hal ini untuk menghindari adanya penafsiran yang tidak jelas terhadap kalimat yang tertuang dalam pasal – pasal tersebut,’’ tutup dosen Fakultas Hukum Universritas Dr. Soetomo tersebut.

Reporter : YRS

Editor     : LA_unda

 


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id

REDAKSI