Pengaruh Rezim Orde Baru Terhadap Akronim Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

  • 27 Agustus 2015
  • 5998

Pengaruh rezim Orde Baru terhadap akronim dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) perlu dikaji sebab hal itu, kata D. Jupriono Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNTAG Surabaya, publikasi KBBI sebagai kamus standar negera cukup luas, penetapan KBBI sebagai kamus standar negara lebih bersifat totaliter.

Dalam kajian politik sering disebut-sebut bahwa ciri menonjol masyarakat Indonesia di era Orde Baru adalah kuatnya gejala depolitisasi. Gejala tersebut tidak dapat dipisahkan dari kebijakan politis rezim penguasa Orde Baru yang memberlakukan standar ganda, di sisi satu mengoptimalkan dominasi negara lewat birokrasi dan militer, sedang di sisi lain memberangus hak politis masyarakat sipil. “ Sementara itu, dalam studi aspek sosialnya lewat sosioliguistik ditegaskan bahwa perubahan bahasa merupakan cermin perubahan sosial. Karena politik kekuasaan merupakan salah satu unsur social budaya, keberadaan berikut perubahan politik kekuasaan pun dapat dilihat pada bahasa yang dipakainyam,” jelas Jupriono saat dikonfirmasi warta17agustus, Kamis (27/8/2015).

Berangkat dari pandangan bahwa bahasa akan mencerminkan realitas masyarakatnya, akronim dalam KBBI menggambarkan besarnya kekuatan dan kekuasaan negara dihadapan masyarakat madani. Dalam mempertahankan status quo kekuasaan, rezim orde baru salah satunya mengontrol penggunaan bahasa, dalam hal ini akronim pada KBBI. Banyaknya elemen Orde Baru (militer, birokrasi) mendominasi KBBI menunjukkan bahwa kehidupan Orde Baru dikontrol ketat oleh birokrasi dan ABRI. “ Sebaliknya, sedikitnya akronim domain kemasyarakatan, ormas, orpol, dan masyarakat kampus mencerminkan betapa potensi politis dan kekuatan partisipatif masyarakat madani telah dilucuti dan dilumpuhkan habis-habisan oleh negara lewat rekayasa simbolis akronim,” imbuhnya.

Rekayasa rezim Orde Baru, lanjut dia, di sisi satu mengukuhkan elemen utama Orde Baru dengan menggelar rekayasa birokrasi dan militerisasi bahasa, dan di sisi lain membabat orde lama dengan menancapkan rekayasa de-ordelamanisasi, melumpuhkantotalkan keberdayaan masyarakat madani dengan cara de-LSM-isasi, pemberangusan kampus, deorpolisasi, dan deormanisasi. “ Begitulah, rezim Orde Baru telah merekayasa KBBI sebagai salah satu instrument konsolidasi kekuasaannya,” ucap Jupriono.

Temuan ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih teoritis dan praktis. Kontribusi teoritisnya akan memperkaya khasanah studi sosiolinguistik, terutama berkenaan dengan kajian relasi ragam bahasa dan kelompok social (birokrat, militer, ormas, orpol, masyarakat madani), khususnya pertarungan antarkelompok sosial yang termanfestasikan lewat akronim BI, serta berkaitan dengan studi Linguistik Historis, terutama berkenaan dengan hidup matinya kosakata (akronim) dan pergeseran semantis istilah.

“ Kontribusi praktisnya, temuan ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan bagi pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, Debdikbud dalam merombak paradigma dan kebijakan dalam merevisi KBBI untuk waktu-waktu mendatang, mengingat luasnya publikasi KBBI di masyarakat,” tutupnya.


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id