Penyitaan & Perampasan Aset Hasil Tipikor Sebagai Upaya Pemiskinan Koruptor

  • 18 Agustus 2017
  • latifah
  • 6135

Disertasi dengan judul " Penyitaan dan Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Sebagai Upaya Pemiskinan Koruptor " mengantarkan Dessy Rochman Prasetyo, Jaksa di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur meraih gelar Doktor (S3) Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Untag Surabaya, Program Studi Doktor Hukum Untag Surabaya.

Dalam disertasinya Dessy Rochman Prasetyo mengatakan bahwa Korupsi di Indonesia sudah sangat merugikan masyarakat karena yang melakukan korupsi adalah pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun pejabat daerah. Hampir setiap lini di institusi, lembaga bahkan departemen baik di lingkungan eksekutif, legislative, maupun yudikatif dan tidak hanya itu, korupsi telah memasuki dunia pendidikan yang seharusnya menjadi landasan formal untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Hakikat pemberantasan korupsi yakni mengembalikan kerugian keuangan negara secara optimal dan mencegah timbulnya perbuatan yang sama. Sebagai penjeraan, UU RI No. 31 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Tipikor, telah memberikan sanksi pidana cukup berat dengan menjatuhkan pidana berlapis. Penjeraan terhadap koruptor seharusnya terdapat penjatuhan sanksi tambahan sebagai bagian dari rule breaking dengan melaksanakan konsep pemiskinan koruptor dengan tegas yang seharusnya dirumuskan aturan hukum yang tepat sehingga tidak bertentangan dengan asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, serta tidak terjadi pelanggaran HAM dalam pelaksanaannya.

Selama ini pelaksanaan pemberantasan Tipikor kurang menjadi efek Jera dan belum dapat menjadikan alat pencegahan secara optimal. Oleh karena itu penjatuhan pemidanaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi lebih ‘diutamakan adanya pengembalian kerugian keuangan negara’, sedangkan penjatuhan pidana pokok dan konsep pemiskinan koruptor terhadap pelaku korupsi merupakan alternatif yang dilakukan oleh penegak hukum. Karena penyebab utama korupsi adalah moralitas yang rendah sedangkan moral erat kaitanya dengan psikis, sehingga sangatlah wajar apabila ada istilah bahwa "korupsi merupakan penyakit moral". Pelaksanaan penjatuhan pidana berupa "pemiskinan koruptor" menjadi alternatif dalam memberikan efek jera dan daya tanggal yang dapat menyentuh moral atau psikis terhadap pelaku korupsi.

Laki-laki asal kota Bangil itu dalam penelitiannya menarik dua kesimpulan. Pertama, pelaksanaan penyitaan aset (asset recovery) TPPU guna mengembalian kerugian keuangan negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, dari beberapa belum optimal. Dalam pelaksanaannya, masih sangat sederhana sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan penyitaan aset baik yang berada di dalam negeri maupun di luar wilayah yurisdiksi Indonesia secara efektif, efisien, dan optimal guna mengembalikan kerugian keuangan negara akibat dampak yang ditimbulkan yang berujung pada upaya pemiskinan koruptor.

Kedua, pengembalian kerugian keuangan negara melalui perampasan aset (asset fourfeitur) hasil Tipikor sebagai upaya pemiskinan koruptor, dalam pelaksanaannya banyak mengalami berbagai kendala maupun hambatan sehingga kurang optimal. Kondisi tersebut disebabkan peraturan perundang-undangan mengenai perampasan hasil tipikor hanya mengatur mekanisme yang terbatas di dalam negeri. Sedangkan ketentuan perampasan aset yang bertujuan untuk mengembalikan aset di luar negeri dengan cara menjalin kerjasama melalui jalur MLA, belum ada ketentuan khusus yang mengatur pelaksanaannya secara spesifik, sehingga sangat sulit bagi penegak hukum untuk melakukan perampasan dan pengembalian aset secara optimal. Aturan perundang-undangan khusus yang mengatur hubungan bilateral maupun multilateral terkait kerjasama perampasan aset luar negeri yang saling berintegrasi dengan berbagai negara di dunia juga belum terwujud.

Berdasarkan penelitiannya dia merekomendasikan agar pencegahan dan pemberantasan tipikor maupun TPPU, tidak hanya secara normatif namun harus ada pelaksanaan pencegahan dengan cara lain. Dalam hal ini, diharapkan adanya peran aktif pemerintah bersama multi stakeholder untuk selalu memberikan pelatihan yang terkini kepada penegak hukum baik di dalam negeri maupun luar negeri, sehingga APH memiliki profesionalisme yang tinggi dalam mencegah dan memberantas korupsi maupun TPPU sebagai kejahatan yang luar biasa dan sistemik.

Selanjutnya, diperlukan pembaruan hukum dan peraturan perundang-undangan yang terkait penyitaan, perampasan, dan pengembalian aset hasil tipikor maupun TPPU yang berada dalam negeri maupun di luar negeri untuk mengembalikan secara optimal kerugian keuangan negara. Pemerintah dan DPRD RI selaku representatif rakyat, diharapkan dapat membahas mengenai sanksi penjatuhan pidana yang dapat membuat Jera pelaku tipikor yang nyata-nyata telah melanggar hak asasi manusia di Indonesia.


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id

N. S. Latifah

Redaksi yang malang melintang di bidang jurnalisme