Penyitaan Karya Sastra Ditinjau Dari Hak Asasi Manusia

  • 27 September 2017
  • 6048

Banyak karya sastra yang ditarik kembali dari pasaran akibat bertentangan dengan norma-norma yang berlaku seperti norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan lain sebagainya. Disinilah fungsi pemerintah untuk mengawasi peredaran karya sastra dan membuat indikator yang jelas terhadap batasan-batasan atas norma yang ada, pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Agung  Republik Indonesia pasal 30 ayat 3 huruf ( C ) dimana kejaksaan mempunyai kewenangan untuk mengawasi peredaran barang cetakan. Berdasarkan permasalah tersebut Idris Firmansyah mahasiswa Prodi Ilmu Hukum UNTAG Surabaya untuk meneliti tentang “Penyitaan Karya Sastra Ditinjau Dari Hak Asasi Manusia”.

Idris mengatakan banyak terjadi ketidaksepahaman antara kejaksaan dengan penulis, dimana pihak penulis menganggap karyanya ini sebagai bentuk aspirasi masyarakat yang merupakan kebebasan hak untuk berekspresi dan hak menyampaikan pendapat yang termasuk dalam kategori Hak Asasi Manusia yang harus dijunjung tinggi. Sedangkan terkadang dari pihak kejaksaan mengangap bahwa karya tersebut akan berakibat sebagai bentuk propaganda didalam masyarakat sehingga pembredelan terhadap karya sastra itu dilakukan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kewenangan dan dasar Negara dalam pembredelan karya sastra dan untuk mengetahui upaya-upaya hokum yang bisa dilakukan penulis dalam hal pembredelan karya sastra.

Mahasiswa asal Probolinggo tersebut, dalam penelitiannya menyimpulkan berdasarkan PNPS No.4/1963 negara melalui kejaksaan berwenang untuk membredel suatu karya sastra. Hal tersebut diperkuat dengan pasal 30 ayat 3 huruf C Undang-Undang No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, namun demikian melalui putusan MK No.6-13-20/PUU-2010,PNPS No4/1963 dibatalkan karena bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia. Karenanya, pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Negara tidak berwenang lagi untuk membredel karya sastra kecuali melalui proses peradilan(due process of low).

Adapun upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pengarang ketika karya sastranya dibredel adalah (1) pra-peradilan, karena berdasarkan pasal 77 KUHAP dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-VII/2014, penyitaan terhadap karya sastra menjadi objek pra-pradilan(2) upaya hukum biasa dan luar biasa, upaya hukum biasa terdiri dari Banding pada Pengadilan Tinggi sesuai dengan ketentuan Pasal 67 jo Pasal 233 KUHAP. Selanjutnya ada kasasi pada Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP. Suatu putusan dapat dinaikkan pada tingkat banding dan kasasi kecuali putusan bebas. Upaya hukum luar biasa dalam hal ini adalah Peninjaun Kembali(PK) pada Mahkamah Agung, Pasal 263 ayat(1)KUHAP yang menyatakan, “Terhadap putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kepada Mahkamah Agung.

Mahasiswa kelahiran Probolinggo 1994 tersebut merekomendasikan negara dalam hal ini kejaksaan hendaknya bertindak sesuai dengan kewenangannya yang diamanatkan oleh Undang-Undang. Bertindak sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan, supaya tidak menggangu kewenangan-kewenangan lembaga yang lainnya. Dengan begitu dalam proses penanganan suatu perkara sesuai dengan alurnya dan tidak membuat para tersangka merasa dirampas haknya sebelum putusan pengadilan dijatuhkan. Perlu adanya suatu Undang-Undang baru yang memberikan perlindungan khusus buat para penulis, khususnya penulis karya sastra. Sebaiknya peradilan Hak Asasi Manusia dibedakan dengan peradilan umum, baik Hak Asasi Manusia yang bersifat berat maupun ringan dan juga Komnas HAM juga bisa berperan aktif dalam peradilan Hak Asasi Manusia meskipun kategorinya pelanggaran ringan.


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id