Sejarah, Hukum, dan Praktik Sholat Tarawih

  • 31 Mei 2019
  • REDAKSI
  • 7180

Shalat Tarawih adalah sholat yang biasa dilakukan saat bulan suci Ramadhan. Sholat ini merupakan salah satu praktek untuk menghidupkan malam Ramadhan (qiyamu Ramadhan). Kata-kata ‘’Tarawih’’ merupakan bentuk jama dalam bahasa arab yang bentuk mufrad (kalimat tunggal)-nya adalah ‘’tarwihatun’’. Tarwihatun artinya istirahat/santai, maka Shalat Tarawih adalah shalat yang santai atau yang ada istirahatnya. Ibadah ini memiliki keutamaan-keutamaan yang memang ditemukan landasannya dari hadits Rasulullah. Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda :

‘’Barangsiapa ibadah (tarawih) di bulan Ramadhan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau’’ (HR al-Bukhari, Muslim, dan lainnya).

Hukum Shalat Tarawih

Shalat tarawih adalah shalat khusus pada malam bulan Ramadhan yang dilaksanakan setelah shalat Isya dan sebelum shalat witir. Hukum melaksanakan shalat tarawih adalah sunnah bagi kaum laki-laki dan perempuan, di antaranya berdasarkan hadits yang disebutkan di atas.

Anjuran shalat tarawih juga tertuang dalam hadits lain dengan redaksi yang berbeda: Dari Abi Hurairah radliyallahu anh Rasulullah gemar menghidupkan bulan Ramadhan dengan anjuran yang tidak keras. Beliau berkata: ‘’Barangsiapa yang melakukan ibadah (shalat tarawih) di bulan Ramadhan hanya karena iman dan mengharapkan ridha dari Allah, maka baginya di ampuni dosa-dosanya yang telah lewat,’’ (HR Muslim).

Sejarah Shalat Tarawih

Shalat tarawih adalah shalat yang dilakukan hanya pada bulan Ramadhan, dan shalat tarawih ini dikerjakan Nabi pada tanggal 23 Ramadhan tahun kedua Hijriah. Rasulullah pada masa itu mengerjakannya tidak selalu di masjid, melainkan kadang di rumah. Sebagaimana dijelaskan dalam hadist :

Artinya: ‘’Dari Aisyah Ummil Muminin radliyallahu anha, sesungguhnya Rasulullah pada suatu malam shalat di masjid, lalu banyak orang shalat mengikuti beliau. Pada hari ketiga atau keempat, jamaah sudah berkumpul (menunggu Nabi) tapi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam justru tidak keluar menemui mereka. Pagi harinya beliau bersabda, ‘’Sunguh aku lihat apa yang kalian perbuat tadi malam. Tapi aku tidak datang ke masjid karena aku takut sekali bila shalat ini diwajibkan pada kalian.’’ Sayyidah Aisyah berkata, ‘’Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan’’.’’ (HR Bukhari dan Muslim).

Hadist ini menerangkan bahwa Nabi Muhammad memang pernah melaksanakan shalat tarawih pada malam awal-awal bulan Ramadhan. Hingga akhirnya, saat melihat antusiasme yang begitu tinggi dari sahabat-sahabat beliau, Nabi justru mengurungkan niatnya datang ke masjid pada hari ketiga atau keempat. Pertama, bisa jadi karena beliau khawatir, sewaktu-waktu Allah menurunkan wahyu yang mewajibkan shalat tarawih kepada umatnya. Tentu hal tersebut bakal memberatkan umat generasi berikutnya yang belum tentu memiliki semangat yang sama dengan para sahabat Nabi itu.

Kedua, mungkin beliau takut timbulnya salah persepsi di kalangan umat bahwa shalat tarawih wajib karena merupakan perbuatan baik yang tak pernah ditinggalkan Rasulullah.

Langkah tersebut menunjukkan betapa bijaksana dan sangat sayangnya Nabi kepada umatnya. Pada hadist di atas dapat ditarik kesimpulan: (1) Nabi melaksanakan shalat tarawih berjamaah di masjid hanya dua malam. Dan beliau tidak hadir melaksanakan shalat tarawih bersama-sama di masjid karena takut atau khawatir shalat tarawih akan diwajibkan kepada umatnya. (2) Shalat tarawih hukumnya adalah sunnah, karena sangat digemari oleh Rasulullah dan beliau mengajak orang-orang untuk mengerjakannya. (3) Dalam hadist di atas tidak ada penyebutan bilangan rakaat dan ketentuan rakaat shalat tarawih secara rinci.

Shalat Tarawih Menurut Pandangan Ulama

Artinya: ‘’Menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama Hanafiyah, Syafiiyah, Hanabilah, dan sebagian Malikiyah), shalat tarawih adalah 20 rakaat berdasar hadist yang telah diriwayatkan Malik bin Yazid bin Ruman dan Imam al-Baihaqi dari Saib bin Yazid tentang shalatnya umat Islam di masa Sayyidina Umar bin Khattab radliyallahu anh, yakni 20 rakaat. Umar mengumpulkan orang-orang untuk melakukan tarawih 20 rakaat secara berjamaah dan masih berlangsung hingga sekarang. Imam al-Kasani berkata, ‘’Umar telah mengumpulkan para sahabat Rasulullah, lantas Ubay bin Kaab mengimami mereka shalat 20 rakaat, dan tidak ada satu orang pun yang mengingkarinya, maka hal itu sudah menjadi ijma (kesepakatan) mereka.’’

Imam Ad-Dasukyi dan lainnya berkata, ‘’Itulah yang dilakukan para sahabat dan tabiin.’’ Imam Ibnu Abidin berkata, ‘’Itulah yang dilakukan orang-orang mulai dari bumi timur sampai bumi barat.’’ Ali As-Sanhuri berkata, ‘’Itulah yang dilakukan orang-orang sejak dulu sampai masaku dan masa yang akan datang selamanya.’’ Para ulama mazhab Hanbali mengatakan, ‘’Hal sudah menjadi keyakinan yang masyhur di masa para sahabat, maka ini merupakan ijma dan banyak dalil-dalil nash yang menjelaskannya.’’ (Mausuah Fiqhiyyah, juz 27, h. 142)

Dari keterangan yang terdapat dalam kitab Tashhih Hadits Shalah at-Tarawih Isyrina Rakatan, Imam Ibnu Taimiyyah juga sepakat dan berpendapat bahwa rakaat shalat tarawih 20 rakaat, dan beliau menfatwakan sebagaimana berikut, ‘’Telah terbukti bahwa sahabat Ubay bin Kaab mengerjakan shalat Ramadhan bersama-sama orang lainnya pada waktu itu sebanyak 20 rakaat, lalu mengerjakan witir 3 rakaat, kemudian mayoritas ulama mengatakan bahwa itu adalah sunnah. Karena pekerjaan itu dilaksanakan di tengah-tengah kaum Muhajiriin dan Anshor, dan tidak ada satu pun di antara mereka yang menentang atau melanggar perbuatan itu’’. Dalam kitab Majmu Fatawyi Al-Najdiyyah diterangakan tentang jawaban Syekh Abdullah bin Muhammad bin Abdil Wahab tentang bilangan rakaat shalat tarawih. Ia mengatakan bahwa setelah sahabat Umar mengumpulkan manusia untuk melaksanakan shalat berjamaah kepada sahabat Ubay bin Kaab, maka shalat yang mereka lakukan adalah 20 rakaat’’.

Praktik Shalat Tarawih dan Witir

Secara umum tak ada perbedaan antara shalat tarawih dan shalat sunnah lainnya, kecuali ia harus dilakukan setelah shalat Isya dan pada bulan Ramadhan. Shalat tarawih dianjurkan dilaksanakan secara berjamaah, meskipun bagi yang uzur memenuhi keutamaan ini bisa menunaikannya secara sendirian (munfarid).

Tak ada berbedaan soal rukun-rukun antara shalat tarawih, shalat witir, dan shalat fardhu. Keharusan membaca surat-surat tertentu setelah al-Fatihah pun tidak ada. Orang yang shalat tarawih atau witir dipersilakan memilih surat dan ayat mana saja, meskipun tentu saja surat atau ayat yang lebih panjang lebih utama. Sebagian ulama merekomendasikan surat-surat tertentu untuk dibaca.

Mungkin yang khas dijumpai pada malam Ramadhan adalah doa yang dipanjatkan masyarakat Muslim Tanah Air selepas shalat tarawih. Doa tersebut biasa dikenal dengan nama ‘’doa kamilin’’. Kata ‘’kamilin’’ berarti orang-orang yang sempurna. Nama ini diambil dari redaksi pertama doa tersebut yang memohon kesempurnaan iman kepada Allah. Doa ini dipraktikkan para ulama di mana-mana melalui rantai ijazah (sanad amalan) yang jelas.

Shalat tarawih dan witir menjadi istimewa bukan hanya karena dilaksanakan pada bulan suci Ramadhan, tapi juga lantaran keduanya dilakukan pada malam hari. Dalam Islam, di sela Ramadhan dikenal peristiwa lailatul qadar atau malam yang disebut lebih baik dari seribu bulan. Artinya, pelaksanaan shalat tarawih dan witir, juga ibadah-ibadah lain di malam Ramadhan, merupakan kesempatan untuk meraup berlipat pahala, keutamaan dan keberkahan. Semoga kita semua dapat istiqamah menjalankannya. Wallahu a’lam bish shawab.

Sumber :
https://www.nu.or.id/post/read/38921/sejarah-hukum-dan-praktik-tarawih
https://darunnajah.com/shalat-sunnah-tarawih-sejarah-dan-tata-cara-pelaksanaannya/

Reporter : MKM

Editor     : LA_unda


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id

REDAKSI