Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Secara filosofis, Soekarno menegaskan bahwa kita harus melakukan penarikan ke atas dan penarikan ke bawah terhadap Pancasila (Roeslan Abdulgani, 2001). Penarikan ke atas bermakna, Pancasila harus diluhurkan sebagai sistem falsafah dan norma sekaligus dirumuskan sebagai sistem pengetahuan dan teori. Sementara penarikan ke bawah berarti bahwa Pancasila dijabarkan dan dilaksanakan sebagai sistem operasional dalam berbagai bidang.
Di atas semua itu, Pancasila harus dimantapkan sebagai ideologi yang menjadi penyebut tunggal (common denominator) dalam mewujudkan negara-bangsa Indonesia yang terdiri atas kebinekaan suku, agama, dan golongan-golongan yang ada di dalamnya. Pancasila harus menjadi rumah bersama bagi seluruh elemen yang telah bersepakat untuk membentuk negara satu (pactum unionis) bernama Indonesia, baik mereka yang banyak maupun yang sedikit, baik mereka yang mayoritas maupun minoritas (Halili, 2017).
Dalam pengertian itu, Pancasila harus menjadi suatu sistem cita-cita (ideological system) dan sistem keyakinan (belief system) yang berlandaskan pada spiritualitas teistik sebagai kausa prima dan berorientasi pada keadilan sosial sebagai tujuan ultima. Dengan demikian, Pancasila akan menjadi ideologi yang memandukan perilaku komunal warga dalam arena negara dan negara itu sendiri dalam menyejahterakan warganya. Hal inilah yang belakangan mengalami kendala berat dan tantangan besar, terutama berupa penguatan gejala radikalisme keagamaan dan kosmopolitanisme ekonomi-politik global.
Alat Politik Penguasa
Indoktrinasi Pancasila yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun, ternyata tidak banyak menyentuh pemahaman politik atas dasar negara Indonesia itu. Pancasila lebih banyak dimaknai sebagai konsepsi dan alat politik penguasa.
Ritual peringatan Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya, yang dilakukan setiap tahun, terus mengalami perubahan makna dalam setiap rezim yang berkuasa. Rezim Orde Baru memaknainya sebagai kemenangan Pancasila atas gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dilakukan oleh rakyat dan ABRI saat itu. Seolah-olah diyakini sebagai bukti saktinya Pancasila dari upaya penggeserannya sebagai dasar negara. Hal ini disebabkan, di hari setelah peristiwa G30S/PKI, 1 Oktober atau titik awal Orde Baru, dicanangkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan ini gaungnya lebih kuat ketimbang peringatan atas hari lahirnya Pancasila, 1 Juni.
Orde Baru sepanjang kekuasaannya bisa menanamkan Pancasila sebagai doktrin absolut. Upaya doktrinasi dilakukan secara komprehensif lewat pendidikan. Ideologisasi Pancasila tak hanya ditekankan dalam sistem dan praktik politik, tetapi juga dalam ranah pendidikan, mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.
Ideologisasi yang dilakukan secara represif di ranah pendidikan, mengarah pada pengkutusan Pancasila sebagai simbol keramat. Termasuk indoktrinasi melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), hingga pendidikan kewiraan di tingkat perguruan tinggi.
Pancasila: Kontrak Sosial?
Pascaruntuhnya Orde Baru, gelombang keterbukaan membuka kemungkinan masyarakat untuk memaknai ulang Pancasila sebagai dasar negara. Wacana soal apakah Pancasila merupakan ideologi atau bukan, berkembang selama rezim Reformasi. Sejumlah kelompok menerjemahkan Pancasila bukan sebagai ideologi, melainan kontrak sosial yang dirumuskan para founding fathers and mothers saat mendirikan negara ini.
Pamaknaan baru selama Orde Reformasi, di satu sisi, juga memperlemah memori publik soal dasar negara ini. Onghokham salah satu tokoh yang menyatakan, bahwa Pancasila bukanlah falsafah atau ideologi. Pancasila adalah dokumen politik proses pembentukan negara baru, yakni kontrak sosial yang merupakan persetujuan atau kompromi di antara sesama warga negara tentang asas negara baru. Ia menyamakan Pancasila dengan dokumen penting beberapa negara lain, seperti Magna Charta di Inggris, Bill of Right di Amerika Serikat, atau Droit de l’homme di Perancis (Suwardiman, 2008)
Seperti diungkapkan oleh Franz Magnis-Suseno, bahwa rezim Orde Baru dianggap menyalahgunakan Pancasila sekadar sebagai alat untuk memberangus berbagai upaya dan tuntutan demokratisasi (Kompas, 2005). Orde Baru menyimbolkan peristiwa G30S/PKI sebagai kekuatan anti-Pancasila. Cap PKI terhadap kelompok yang kritis terhadap pemegang tampuk kekuasaan, di saat itu pun tak jarang digunakan sebagai alat pemberangus gerakan mereka. Bahkan, pada sejumlah konflik antara negara dan rakyat, seperti kasus konflik pertanahan atau demonstrasi menentang kebijakan pemerintah, simbol anti-Pancasila sering digunakan sebagai penyelesaian.
Indoktrinasi Pancasila sebagai sebuah kekuatan sakral nan sakti, yang kadang dilakukan selama periode Orde Baru, oleh sebagian kelompok dipercaya justru mendangkalkan pemaknaan terhadap Pancasila. Penafsiran tunggal asas dasar negara ini, lebih banyak digunakan sebagai alat untuk memperkuat otoritarianisme, sekaligus menutup pemahaman kritis terhadap Pancasila.
Rezim keterbukaan saat ini, memang kemungkinan berkembang cara pandang baru terhadap Pancasila. Namun di tengah berbagai pandangan atas peran dan posisi Pancasila yang berkembang saat ini, tampak satu garis merah yang disepakati bersama, bahwa Pancasila bagaimana pun, telah menjadi ciri khas dan jati diri bangsa Indonesia yang harus dipertahankan.
Penafsir Tunggal?
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018, mendapat sejumlah tanggapan mengenai fungsi dan perannya. Kekhawatiran pun muncul, bahwa BPIP akan mengulang kembali pola BP7, yang dinilai tidak berhasil menanamkan hakikat nilai Pancasila pada masyarakat, bahkan lebih menjadi alat politik Orde Baru.
Kehadiran BPIP sebenarnya memberi angin segar bagi tumbuhnya nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup sekaligus ‘’wadah’’ pemersatu bangsa. Namun, lepas tujuan positif yang diembannya, sebagian publik juga terlanjur menyakini, bahwa salah satu yang mendasari lembaga ini dibentuk adalah karena maraknya aksi kelompok yang dianggap intoleran dan radikal, terutama memakai isu agama dan SARA untuk menarik dan membangkitkan emosi massa. Kelompok ini juga kerap mengritik dan berlawanan dengan pemerintah (Noviyanto Aji, 2018)
Jika alasan ini yang lebih mengental, maka aspek rasionalitas dan kematangan dalam pembentukan BPIP akan tergerus oleh sikap reaksioner dan nafsu ‘’menindak’’ semata. Dengan begitu, Pancasila bisa terjerumus pada tafsir yang ujung-ujungnya mengarahkan Pancasila sebagai ‘’alat gebug’’ dan indoktrinasi belaka.
Tantangan badan ini adalah menjadikan ideologi Pancasila sebagai kepribadian dan identitas nasional serta karakter bangsa, agar tahan terhadap pengaruh negatif ideologi dan budaya luar serta rongrongan internal terhadap kelangsungan hidup NKRI. BPIP tidak dapat bekerja sendiri, tentunya memerlukan koordinasi dan dukungan dari lembaga lainnya, termasuk institusi TNI/Polri. Pendidikan dan pelatihan merupakan cara efektif agar dapat menunjang keberhasilan internalisasi ideologi Pancasila. Pola ‘’bottom up’’ pembinaan ideologi Pancasila merupakan alternatif pilihan untuk menjawab kebutuhan era generasi milenial melalui komunitas-komunitas dan memanfaatkan kemajuan media social (Yansean Sianturi, 2018).
Dibalik itu semua, Pancasila sebagai pedoman kolektif negara, terutama dalam tertib hukum perlu dicontohkan melalui perilaku para elit yang taat akan peraturan dan budaya demokrasi itu sendiri. Membumikan Pancasila di Indonesia dapat dimulai dengan melaksanakan dan mengamalkan kelima silanya dalam kehidupan sehari-hari. Teladan perilaku para pemimpin, dimanapun berada yang kemudian ditiru oleh yang dipimpin merupakan proses internalisasi yang efektif sehingga dapat menjadi budaya dan karakter bangsa.
Tantangan dan kesempatan BPIP adalah merubah perilaku keseharian atau mental bangsa, agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sehingga menjadi manusia berkualitas yang mampu bersaing dengan bangsa lain. Kehadiran BPIP amat dibutuhkan, namun ‘’jangan menjadi penafsir tunggal Pancasila!’’
Penulis : Soetanto Soepiadhy Dosen Untag Surabaya, dan Pendiri ‘’Rumah Dedikasi’’ Soetanto Soepiadhy
Redaksi yang malang melintang di bidang jurnalisme