Blambangan, Mataraman dan Arek

  • 08 Mei 2018
  • 5904

Indonesia sebagai negara hukum seperti dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 merupakan pasal yang harus dijalankan secara konsekuen oleh negara apabila dikaitkan momen Pilkada saat ini. Ditambah lagi dengan konsideran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan termaktub bahwa bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD Tahun 1945.

Keempat hal tersebut sepertinya bukan fokus negara lagi dalam mencari nasionalisme karena saat ini era Pilkada sedang dimulai apalagi calon dari Provinsi Jawa Timur memaparkan berbagai pemikirannya dengan semangat. Namun apakah Pilkada selalu identik dengan rasa nasionalisme yang seharusnya menjadikan masyarakat antusias mengikuti Pilkada? Sepertinya tidak juga karena seperti ajang debat yang saya perhatikan, tidak terlalu memberikan nilai baru akan hal apa yang diberikan ke Jawa Timur khususnya Surabaya. Apabila dalam dunia perguruan tinggi nilai baru disebut novelty dan novelty ini bisa membawa perubahan besar bagi dirinya sendiri dan objek penelitiannya. Ketika para calon melakukan debat maka seharusnya mereka menggiring masyarakat menjadi lebih kritis, bukan ke arah untuk membenci rivalnya.

Masyarakat harus diajak pada pola berpikir mengarah pada masa depan. Peristiwa hukum yang telah terjadi dan belum selesai harus bisa diselesaikan di era pimpinan mendatang. Begitu juga peristiwa hukum yang akan terjadi harus bisa diperkirakan dampaknya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini menjadi penting karena seringkali ketika Pilkada usai maka mereka saling menggugat. Padahal masyarakat kita juga berhak bermimpi misalnya untuk memiliki kawasan yang betul-betul modern dan ramah bagi siapapun. Jika mimpi-mimpi tersebut digantikan ambisi para calon masyarakat hanyalah penyumbang suara tanpa mengetahui kemanakah larinya suara itu. Mungkinkah para calon menjadikan ajang kampanye sebagai promosi peningkatan nasionalisme? Mungkin saja, cara efektifnya antara lain dengan memulihkan hak politik pengungsi Syiah Sampang atau menampung aspirasi masyarakat dari daerah Blambangan, Mataraman dan Arek menjadi satu kesatuan.

Bagi saya kedua hal inilah masalah terutama 2 disamping masalah “abadi” seperti perkawinan dini, penelantaran anak didik, infrastruktur yang lambat pembangunannya, barang pokok yang semakin tinggi, pengangguran hingga kondisi lingkungan hidup. Ketika para calon mampu mengatasi kedua masalah utama tersebut, sebetulnya nasionalisme kembali lagi ke hakikatnya. Masyarakat akan belajar bagaimana nasionalisme itu harus tetap dijaga sesuai perkembangan jaman. Nasionalisme saat ini tentu saja berbeda dengan nasionalisme pada era kompeni. Saat ini, nasionalisme dapat dibuat secara cepat dan hilangpun mudah. Pilkada bukan sekadar ajang mendulang suara namun ajang menunjukkan seberapa cintakah partai terhadap bangsa ini. Kita tidak ingin nasionalisme hanya terbatas pada hegemoni partai pendukung dan masyarakat akan menjadi nasionalis partai. Mikhail Bakunin dalam bukunya berjudul Statism & Anarchy mengatakan bahwa “Ilmu pengetahuan yang paling rasional dan mendalam tidak sanggup meramalkan bentuk kehidupan sosial yang akan ada di masa depan. Ilmu pengetahuan hanya mampu menentukan kondisi negatif yang secara logis mengikuti kritik keras dari masyarakat yang ada”. Mikhail Bakunin ingin memberitahukan kepada kita bahwa negara itu tidak tergantung dari bentuk pemerintahan yang dianut namun tergantung dari pemimpinnya. Kritik keras Mikhail Bakunin sebetulnya ingin menjadikan pemimpin dari kalangan partai lebih sadar atas dirinya sendiri. Partai tidak boleh mengekang siapa calon yang didaulatnya karena sejatinya ia pilihan rakyat. Sebagai penyeimbang buku tersebut, bisa juga membaca buku Para Pembunuh Tuhan karya A Setyo Wibowo. Pemikiran Mikhail Bakunin memiliki kesamaan dengan Immanuel Kant yang dalam buku “Menuju Perdamaian Abadi” tertulis negara tidak boleh memiliki angkatan perang agar keadaan damai tetap selalu ada dan negara tidak boleh mencampuri urusan negara lain agar damai selalu ada. Mungkin, sudah saatnya kita memberanikan diri untuk mengakui ketidakmampuan dan kesalahan dengan cara mengundurkan diri dari jabatan karena itulah ciri khas negarawan. Menciderai nasionalisme sebetulnya masuk kategori penista Sang Pencipta karena nasionalisme sebetulnya rasa yang diberikan kepada manusia untuk mencintai dan menjaga bangsanya sendiri. Thomas Aquinas berkata “whether it is lawful for a man to possess a thing as his own?”. Jadi sebetulnya tujuan pilkada yang paling utama adalah menaikkan semangat nasionalisme dan menjadikan wilayah kepemimpinannya damai tentram.

Penulis: Tomy Michael, SH.,MH dosen dan Ketua Laboratorium Hukum-FH UNTAG Surabaya


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id