Disertasi I Nyoman Sujana, SH.,M.Hum, Soroti Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010

  • 29 Desember 2014
  • 6050

Ujian terbuka Program Doktor I Nyoman Sujana, SH.,M.Hum, soroti Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010, Ujian tersebut dilaksanakan di Gedung Graha Wiyata Lantai 1 (19/12/2014),  Pimpinan sidang unjian terbuka dipimpin langsung  oleh Rektor UNTAG Surabaya:  Prof. Dr. Drg. Hj. Ida Aju Brahmasari, Dipl., DHE, MPA.

Ujian terbuka tersebut merupakan salah satu syarat bagi I Nyoman Sujana untuk menyelesaikan pendidikan S-3, setelah menjalani kuliah beberapa tahun terakhir Program Doktor Fakultas Hukum UNTAG Surabaya.

Setelah memperhatikan beberapa implikasi hasil penelitiannya, baik secara praktis maupun teoritis maka I Nyoman Sujana dalam disertasinya menyimpulkan pertama, bahwa hakekat kedudukan hukum anak luar kawin di dalam UU perkawinan adalah belum tuntas, khususnya bagaimana hubungan hukumnya dengan ayah biologisnya. Keberadaan kawin siri, khususnya yang dilakukan oleh seorang pria yang sudah beristeri dengan wanita lain, menjadi bahan kajian banyak pihak semenjak berlakunya UU Perkawinan. Perdebatan menjadi sengit, kalau dari perkawinan siri tersebut khususnya yang dilakukan oleh laki-laki yang masih terikat tali perkawinan sah dengan isterinya sampai melahirkan anak, dimana isterinya tidak pernah menyetujui suaminya untuk berpoligami. Sesuai dengan pemikiran yuridis, hukum perkawinan yang belaku di Indonesia adalah UU Perkawinan, sebagai hukum positif, berarti untuk mengatur sah tidaknya suatu perkawinan ditetapkan oleh Pasal 2 UU Perkawinan yakni harus diselenggarakan berdasar hukum agama dan kepercayaannya, lalu perkawinan tersebut harus dicatat sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Seperti diketahui, perkawinan siri hanya dilaksanakan berdasarkan hukum agama, khususnya agama islam, mengingat kawin siri banyak dilakukan oleh orang-orang islam yang sudah beristeri. Apabila dari perkawinan tersebut lahir anak, berdasarkan Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan, maka anak yang bersangkutan tergolong sebagai anak luar kawin, dan hanya mempunyai hubungan hukum dengan ayah biologisnya, ternyata oleh Pasal 43 ayat 2 UU Perkawinan masih dijanjikan untuk diatur lebih lanjut, dan kenyataannya sempai setengah abad lebih aturan yang dimaksud belum juga ada. Berarti anak luar kawin siri tersebut, berdasarkan UU Perkawinan kedudukan hukumnya tidak jelas kalau dikaitkan dengan ayah biologisnya. Pengaturan tentang kedudukan hukum anak luar kawin di dalam UU Perkawinan belum tuntas,padahal dalam kehidupan masyarakat, kawin siri ini yang dari perkawinan tersebut lahir anak, menjadi tidak jelas. Hal ini dalam masyarakat tentunya merupakan ganjalan yang sangat menyesakkan, mengingat kepentingan anak luar kawin hasil perkawinan siri sepatutnya sama seperti halnya anak sah yaitu tentunya harus memperoleh kehidupan dan pertumbuhan yang layak.

Kedua, Ratio Legis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 menyangkut anak luar kawin, adalah sebagai suatu terobosan hukum demi terwujudnya penyempurnaan kedudukan hukum anak luar kawin yang pengaturannya dalam UU Perkawinan belum tuntas, pada sisi lain anak luar kawin itu diharapkan dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana anak-anak lainnya secara layak, terutama uluran perhatian dari ayah biologisnya. Dasar pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi adalah demi memberikan perlindungan hukum kepada anak luar kawin, terutama menyangkut hubungan hukumnya dengan ayah biologisnya. Memang  harus diakui bahwa dengan munculnya putusan MK Nomor :46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, persoalan kedudukan anak luar kawin dengan ayah biologisnya belum dapat diharapkan tuntas, mengingat materi anak luar kawin ini sangat sensitif. Putusan MK Nomor :46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 tersebut merupakan langkah awal untuk dikemudian hari diharapkan ada implikasi dari putusan MK tersebut yaitu akan terbentuk adanya Hukum Yurisprudensi demi mewujudkan kepastian hukum mengenai kedudukan hukum anak luar kawin sehingga anak luar kawin tersebut memperoleh perlindungan hukum yang lebih utuh dari orangtuanya. Terlebih lagi umum sangat memahami, bahwa Hukum Yurisprudensi adalah hukum yang lebih up to date ketimbang hukum perundang-undangan, karena para hakim pembentuk Hukum Yurisprudensi selalu diharapkan lebih peka dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.

Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka sebagai temuan di dalam penelitian disertasi I Nyoman Sujana ini adalah adanya hubungan perdata dalam arti yang sempit antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya karena tidak menyangkut hak atas mewaris.

Adapun saran disertasi I Nyoman Sujana, pertama yaitu pengaturan anak luar kawin, sebagai bagian hukum Perkawinan yang sangat sensitif, didalam suatu peraturan perundang-undangan bukanlah pekerjaan mudah. Hal ini dapat dilihat dari sejak diundangkannya UU Perkawinan, ternyata setelah berlaku hampir setengah abad, pengaturan mengenai hubungan keperdataan antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya  tak kunjung terwujud sebagaimana dijanjikan dalam Pasal 43 ayat 2 UU Perkawinan. UU Perkawinan hanya mengatur mengenai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya saja sedangkan hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya belum diatur, dan untuk mengaturnya sendiri ternyata pemerintah masih sangat gamang. Untuk mengubah UU Perkawinan ataupun untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah menyangkut anak luar kawin dalam hubungan keperdataan dengan ayahnya memang sulit,oleh sebab itu kekurangan yang ada dalam UU Perkawinan sebaiknya dicarikan jalan lain, misalnya dengan membangun Hukum Yurisprudensi, atau Hukum Doktrin, agar gejolak yang muncul dalam masyarakat tidak terlalu besar.

Kedua, para hakim yang yang memeriksa dan mengadili perkara mengenai kedudukan hukum anak luar kawin khususnya terhadap ayah biologisnya, sudah sepatutnya wajib menjadikan Putusan MK Nomor :46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 tersebut sebagai acuan. Ini perlu digaris bawahi, mengingat untuk merubah UU Perkawinan risikonya berat, tetapi jika para hakim mempedomani Putusan MK Nomor :46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 dalam arti hubungan perdata yang sempit antara anak luar kawin dan ayah biologisnya, maka akan terbentuk Hukum Yurisprudensi yang nilai yuridisnya sama dengan hukum perundang-undangan, sehingga kekurangan dalam UU Perkawinan dapat ditutup atau disempurnakan. Terlebih lagi umum sangat memahami, bahwa Hukum Yurisprudensi adalah hukum yang lebih up to date ketimbang hukum perundang-undangan, karena para hakim pembentuk Hukum Yurisprudensi selalu diharapkan lebih peka dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat. Selain itu perlu adanya penunjang lain yang dapat membantu pertumbuhan Hukum Yurisprudensi, yaitu mengembangkan juga Hukum Doktrin, di mana para sarjana hukum hendaknya memberikan kotribusinya lewat karya-karya ilmiah yang objektif dan inovatif.


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id