Gagasan Demokrasi Indonesia

  • 23 Juli 2018
  • latifah
  • 6113

Menurut Mohammad Hatta seperti dikutip Aidul Fitriciada Azhari, demokrasi seharusnya tidak hanya meliputi demokrasi politik, tetapi juga meliputi demokrasi ekomomi, yakni “segala penghasilan yang mengenai penghidupan orang banyak harus berlaku di bawah tanggungan orang banyak juga”.

Model demokrasi seperti ini tidak berdasar pada individualisme, tetapi pada “rasa bersama, kolektivitet”. Dalam pandangan Hatta, inilah kedaulatan rakyat yang sesungguhnya, “Rakyat harus diberi hak untuk menentukan nasibnya dalam pengertian yang seluas-luasnya, yakni berhak menyusun pemerintahan sendiri dan mengatur ekonomi sendiri”.

Model demokrasi seperti inilah yang dipandang sesuai untuk negara dan rakyat Indonesia. Model tersebut sudah terdapat dasar-dasarnya dalam demokrasi asli di pedesaan, yang disebut Hatta sebagai “desa-demokrasi”. Di dalam demokrasi desa segala hal menjadi urusan bersama.

Dalam pandangan Hatta, terdapat tiga sifat utama demokrasi asli di desa-desa yang dapat dijadikan dasar bagi Indonesia merdeka, yaitu:

Pertama, cita-cita rapat.

Rapat ialah tempat rakyat atau utusan rakyat bermusyawarah dan mufakat tentang segala urusan yang bersangkutan dengan persekutuan hidup dan keperluan bersama. Di sini tampaklah dasar demokrasi, yakni adanya pemerintahan rakyat.

Kedua, cita-cita massa protes.

Hak rakyat untuk membantah dengan cara umum segala peraturan negeri yang dipandang tidak adil. Hak ini besar artinya dalam menghadapi pemerintahan despotik atau otokrasi. Demokrasi tidak dapat berlaku kalau tidak ada hak rakyat untuk melakukan protes. Hak untuk protes ini mencakup pula hak rakyat untuk berkumpul dan menyatakan pendapat.

Ketiga, cita-cita tolong-menolong.

Kehidupan rakyat Indonesia selalu dipenuhi rasa bersama atau kolektivitas. Dalam segala urusan rakyat Indonesia selalu menyelesaikannya secara bersama-sama dan saling tolong menolong. Inilah dasar persekutuan asli di Indonesia, yakni kolektivitas. Tetapi bukan kolektivitas yang bersifat sentralistik, melainkan kolektivitas yang bersifat desentralistik, yakni tiap-tiap bagian berhak menentukan nasibnya sendiri. Bukti ini terlihat dalam sifat hak ulayat atas tanah. Hak kolektif atas tanah dalam hak ulayat tidak dimiliki oleh seluruh negeri, melainkan oleh masing-masing desa. Berdasarkan demokrasi asli tersebut, rumusan konsepsi demokrasi Indonesia adalah kedaulatan rakyat berdasarkan kolektivitas yang bersifat desentralistik.

Dalam bidang politik, kedaulatan rakyat tersebut dijalankan melalui badan-badan perwakilan atau melalui referendum. Tiap-tiap individu ataupun golongan menyampaikan kehendaknya melalui badan perwakilan atau melalui referendum. Sementara dalam lapangan ekonomi, kedaulatan rakyat dilakukan oleh koperasi-koperasi yang merupakan badan ekonomi kolektif yang bekerja bersama-sama untuk membela kebutuhan rakyat semuanya dan keperluan umum.

Pemikiran yang serupa dengan Hatta tampak pula dalam pemikiran Soekarno. Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 yang sangat terkenal, di depan BPUPK dalam acara pembicaraan tentang Dasar Negara Indonesia (lanjutan), Soekarno mengatakan:

Saudara-saudara, saya usulkan: kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. … jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, menyintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politiek, saudara-saudara, tetapi di atas lapangan ekonomi, kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya”.

… demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiek-economische democratie, yaitu politieke-demokratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, … Inilah yang dulu saya namakan socio-demokratie.

Dari kutipan di atas, Soekarno menamakan konsepsi demokrasi sebagai socio-demokratie, yakni demokrasi politik dengan keadilan sosial atau demokrasi dengan kesejahteraan.

Lebih lanjut Soekarno menjelaskan: “… kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! … maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong”.

Dengan mengaitkan sebagai socio-demokratie dengan tradisi bangsa Indonesia, Soekarno menyebutnya sebagai “perkataan Indonesia yang tulen”, yaitu gotong royong, negara Indonesia adalah negara gotong royong, yang mengandung arti negara “semua buat semua”, “satu buat semua”, “semua buat satu”.

Uraian di atas memberikan gambaran, bahwa demokrasi yang dikehendaki oleh Soekarno dan Hatta, yakni:

Pertama, demokrasi yang berakar pada kolektivitas masyarakat Indonesia, tetapi kolektivitas yang dimaksud bukanlah yang bersifat totaliter dan sentralistik – sebagaimana dianut oleh komunisme dan fasisme – melainkan kolektivitas yang bersifat plural dan kompetitif. Pemikiran mereka lebih merupakan penyesuaian gagasan demokrasi modern dengan tradisi demokrasi yang berkembang di Indonesia sehingga dapat menghasilkan konsepsi demokrasi yang dipandang sesuai dengan karakter kebudayaan Indonesia. Posisi ini diperjelas dengan sikap kritis mereka terhadap model demokrasi Barat yang bersifat individualistik – yang sesungguhnya adalah demokrasi yang dipraktikkan pada abad ke-19 — yang dinilai tak sesuai dengan tradisi bangsa Indonesia, tetapi tetap menerima institusi pokok demokrasi modern, yaitu badan perwakilan rakyat beserta kebebasan politik di dalamnya. Sikap ini akan memperjelas posisi gagasan kedua tokoh tersebut dalam perumusan konsepsi demokrasi dalam UUD 1945 yang menganut sistem demokrasi modern.

Kedua, pandangan yang melihat demokrasi Indonesia sebagai bentuk demokrasi yang khas dan berbeda sama sekali dengan demokrasi Barat. Pandangan seperti ini umumnya mengacu pada prinsip harmoni sosial – diistilahkan sebagai keselarasan dan keseimbangan – dalam kehidupan komunal masyarakat adat di pedesaan. Pandangan ini menyebutkan ciri demokrasi asli bukan terletak pada kebebasan dan kompetisi dalam suasana kolektif yang plural – sebagaimana diungkap Soekarno dan Hatta — tetapi pada proses pengambilan keputusan dengan cara mufakat atau sepakat. Dalam kaitan dengan hukum ketatanegaraan, pemikiran demokrasi asli seperti ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran mengenai hukum adat yang memperoleh banyak perhatian dan simpati dari penganjur gagasan demokrasi asli.

Secara teoretik, pemikiran demokrasi asli seperti itu sesungguhnya lebih merupakan rekonstruksi atas tradisi patrimonialisme yang telah berkembang pada masyarakat Indonesia. Rekonstruksi tersebut menjadi bentuk patrimonialisme baru atau neopatrimonialisme yang telah berkembang sejak era kolonial seiring dengan tumbuhnya birokrasi modern yang menggunakan otoritas tradisional sebagai pegawai adminsitrasi lokal. Kecenderungan patrimonialisme itu sendiri umumnya merupakan tanggapan terhadap tiga elemen yang saling berhubungan di tengah masyarakat, yakni kelanjutan dari suatu konseptualisasi kekuasaan yang berkembang pada kerajaan-kerajaan Jawa prakolonial, kelanjutan dari jaringan patron-klien sebagai basis hubungan-hubungan sosial tradisional, dan kelanjutan dari suatu “budaya hormat” (culture of deference) yang dominan pada masyarakat pedesaan. Tendensi patrimonialisme ini mendasari tumbuhnya konsepsi neopatrimonialisme dalam pemikiran negara Indonesia modern.

Berdasarkan kedua macam pemikiran mengenai demokrasi Indonesia yang berbasis pada demokrasi asli tersebut dapat disimpulkan, bahwa pemikiran pertama lebih menekankan pada aspek universal dalam tradisi demokrasi asli yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi modern, sedangkan pemikiran yang kedua lebih menekankan pada aspek parikular yang terdapat dalam demokrasi asli, sehingga dipandang berbeda secara esensial dengan demokrasi Barat. Berdasarkan model demokrasi yang dipergunakan, pemikiran demokrasi Indonesia pada dasarnya merupakan model participatory democracy atau demokrasi parisipatoris

Pada akhirnya, menurut hemat saya, syarat pemerintah yang demokratis, yaitu: Adanya “partisipasi rakyat” di dalam proses pembentukan Undang-Undang Dasar; Pemerintah harus menjamin civil society yang mempunyai akses untuk turut membentuk opini publik melalui alat komunikasi; dan Pemerintah yang memperoleh pelimpahan kekuasaan dari rakyat harus dipertanggungjawabkan.

Penulis : Soetanto Soepiadhy adalah Pakar Hukum Konstitusi Untag Surabaya dan Pendiri “Rumah Dedikasi” Soetanto Soepiadhy


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id

N. S. Latifah

Redaksi yang malang melintang di bidang jurnalisme