Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Gagasan Perubahan
Urgensi Dilakukannya Perubahan UUD 1945
Sebelum dibahas mengapa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) perlu dilakukan perubahan[2], terlebih dahulu diketengahkan bagaimana situasi saat terjadinya perubahan demi perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Dalam diskusi terbatas tentang Komisi Konstitusi yang Independen dan Rumusan Konstitusi Baru, disoroti secara kritis oleh Koalisi Organisasi Non-Pemerintah untuk Konstitusi Baru, bahwa perubahan konstitusi yang dilakukan MPR telah meninggalkan banyak masalah dan kontroversi hukum. Dengan kata lain, MPR sebenarnya telah gagal melakukan perubahan UUD 1945. MPR justru merupakan bagian dari masalah yang harus diselesaikan dalam konstitusi, dan tidak dapat diharapkan untuk memecahkan masalah itu sendiri. Hal ini berarti, bahwa proses perubahan konstitusi tidak dapat lagi dilakukan dan ditentukan oleh MPR, tetapi harus diserahkan kepada Komisi Konstitusi yang independen.
Permasalahan di atas muncul ketika Perubahan Keempat yang akan dibahas dalam Sidang Tahunan 2002 – seperti dituangkan dalam lampiran Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/2001 tentang Perubahan atas Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2000 tentang Penugasan Badan Pekerja MPR untuk Mempersiapkan Rancangan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 — tiba-tiba muncul kelompok untuk menggagalkan perubahan secara mendasar terhadap UUD 1945, baik dari dalam maupun dari luar MPR. Kelompok yang tidak menyetujui perubahan UUD 1945 ini, meminta agar Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR menghentikan kegiatan perubahannya karena dinilai sudah kebablasan.
Suasana pro dan kontra tentang perubahan UUD 1945, juga tentang proses pembuatan konstitusi baru melalui Komisi Konstitusi, diperlukan penelusuran kembali perkembangan pelaksanaan konstitusi yang pernah diberlakukan di Indonesia. Urgensinya, dalam penelusuran tersebut akan didapat pertanyaan-pertanyaan yang tersisa di seputar pelaksanaan konstitusi tersebut.
Pertanyaan, mengapa UUD 1945 perlu dilakukan perubahan? Penyebab utama mengapa UUD 1945 harus mengalami perubahan tentu saja karena UUD 1945 itu dianggap sudah ditinggalkan oleh zamannya, sudah tak sesuai lagi dengan kebutuhan rakyat yang membuatnya. Dengan mengubah UUD 1945, diharapkan UUD 1945 itu akan memenuhi hasrat, kehendak, dan cita-cita rakyat dari bangsa dan negara yang memiliki konstitusi itu. Perubahan UUD 1945, dimungkinkan:
Karena perjalanan waktu, hasil perjuangan politik suatu bangsa belum terwadahi. Sebagai contoh, hasil perjuangan politik untuk memerdekakan bangsa dari penjajah sudah tertampung, tetapi hasil perjuangan politik untuk mengisi kemerdekaan, belum.
Biasanya, perkembangan ketatanegaraan suatu bangsa akan menuju kesempurnaan, dibanding saat Undang-Undang Dasar itu lahir. Lembaga-lembaga negara yang tadinya belum dianggap penting keberadaannya, pada suatu saat terasa amat mendesak untuk dapat mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa dan negara.
Perjalanan waktu juga mengakibatkan regenerasi tokoh-tokoh bangsa. Pandangan-pandangan mereka wajar apabila berbeda dengan pandangan-pandangan tokoh-tokoh sebelumnya, katakanlah The Founding Fathers atau The Fathers of Constitution, karena permasalahan yang mereka hadapi berbeda pula. Tidak mengherankan apabila Undang-Undang Dasar akan mengalami perubahan pula sejalan dengan perubahan pandangan para tokoh tersebut. Dengan perkembangan zaman, cita-cita bangsa pun dapat berubah dan berkembang. Apabila perubahan cita-cita itu terjadi timbullah kehendak untuk mencantumkannya dalam Undang-Undang Dasar.
Pada dasarnya, perubahan Undang-Undang Dasar atau konstitusi dapat ditempuih melalui cara-cara: Perubahan terjadi sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam konstitusi yang akan diubah. Perubahan terjadi di luar ketentuan yang telah ditetapkan oleh konstitusi. Perubahan dimungkinkan oleh kebiasaan ketatanegaraan.
Di luar prosedur konstitusi.
Perubahan terjadi secara revolusioner, tanpa melalui prosedur yang telah ditentukan oleh konstitusi. Seandainya perubahan dilakukan secara konstitusional, langkah-langkah yang dapat ditempuh, yaitu:
Perubahan naskah
Karena perubahan yang terjadi hanya bersifat parsial, tidak seluruh naskah konstitusi diganti. Oleh karena itu, perubahan hanya menyangkut hal-hal tertentu.
Penambahan naskah
Perubahan terjadi dengan cara addendum, yakni penambahan naskah yang dilekatkan atau dilampirkan pada naskah asli. Cara ini tidak mengubah naskah asli, sehingga dianggap tetap berlaku.
Pembaruan naskah.
Perubahan yang terjadi bersifat mendasar. Naskah-naskah lama diganti dengan naskah-naskah baru, sehingga pada gilirannya akan melahirkan suatu konstitusi baru karena yang terjadi adalah renewal.
Perubahan Konstitusi melalui Konvensi Ketatanegaraan
Mencermati ketentuan konvensi ketatanegaran yang mengalihkan kekuasaan dari penyelenggaraan negara maupun yang dikuasai sebagaimana yang telah ditetapkan dalam undang-undang dasar, perlu diketengahkan perubahan konstitusi yang pernah berlaku, khususnya UUD 1945, di dalam ketatanegaraan Indonesia.
Dalam perjalanan perjuangan bangsa, UUD 1945 mengalami perubahan, baik kedudukannya sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar maupun dalam pelaksanaan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini, perkembangan Hukum Tata Negara Indonesia dapat ditinjau dari sudut perkembangan konstitusi yang dipakai, yaitu: a. UUD 1945 Periode Pertama berlaku 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949; b. Konstitusi Republik Indonesia Serikat berlaku 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950; c. Undang-Undang Dasar Sementara 1950 berlaku 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959; d. UUD 1945 Periode Kedua berlaku 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999; e. UUD 1945 Periode Ketiga setelah mengalami Perubahan Pertama 1999; Perubahan Kedua 2000; Perubahan Ketiga 2001, dan Perubahan Keempat 2002.
Dalam praktek ketatanegaraan, UUD 1945 berlaku dalam tiga periode:
Periode Pertama 1945 – 1950
Pada periode ini, UUD 1945 belum dapat dijalankan seperti yang diatur di dalamnya. Hal itu disebabkan bangsa Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya. Setelah disahkan oleh PPKI, lembaga negara yang dapat dibentuk hanyalah Presiden dan Wakil Presiden. Secara yuridis hal itu dapat dilihat pada Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 yang menentukan, bahwa untuk pertama kalinya Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh PPKI. Sementera itu, Lembaga Tinggi Negara yang lain belum dapat diwujudkan. Bahkan, sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional. Hal itu diatur dalam ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945.
Dalam sidang Komite Nasional Indonesia Pusat, selanjutnya disebut KNIP pada tanggal 16 Oktober 1945 di Malang, Wakil Presiden, Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat No. X (baca: eks). Maklumat No. X ini berisikan penegasan terhadap kata “bantuan” dalam Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Sejak Maklumat No. X ini dikeluarkan, kepada KNIP diberi wewenang untuk turut membuat undang-undang dan menetapkan Garis-garis Besar daripada Haluan Negara. Dengan demikian, seolah-oleh memegang sebagian kekuasaan MPR, di samping memiliki kekuasaan DPA dan DPR[6]. Selanjutnya dikeluarkan pula Maklumat tanggal 14 November 1945. Kesan bahwa sistem pemerintahan Indonesia ketika itu tidak demokratis dapat dihilangkan dengan adanya maklumat ini, yang merupakan konvensi ke arah sistem parlementer. Melalui Maklumat Pemerintah 14 November 1945 ini, memang dibentuk Kabinet Parlementer pertama di bawah pimpinan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada KNIP sebagai subtitut MPR/DPR.
Sejak saat itu, “sistem pemerintahan presidensial” beralih ke sistem pemerintahan parlementer, meskipun hal ini tidak dikenal dalam UUD 1945. Selama sistem ini berjalan sampai 27 Desember 1949, UUD 1945 tidak mengalami perubahan secara tekstual. Perubahan sistem pemerintahan ini merupakan tindakan melanggar ketentuan UUD 1945. Hal ini ditegaskan pula dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah, tanggal 3 November 1945 tentang keinginan untuk membentuk partai-partai politik, sehingga berlakulah sistem pemerintahan parlementer sekaligus sistem multi partai. Partai-partai tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan.
Dalam perkembangan ketatanegaraan selanjutnya, sejak tanggal 27 Desember 1949, Republik Indonesia menjadi Negara Bagian Republik Indonesia Serikat. Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan atau souvereineteitsoverdracht kepada Indonesia, dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Meskipun demikian, dalam praktek ketatanegaraan, UUD 1945 masih diberlakukan hanya di Negara Bagian RI, meliputi sebagian pulau Jawa dan sebagian pulau Sumatera, dengan ibu kota Yogyakarta.
Periode Kedua 1959 – 1998
Pada permulaan tahun 1959 Presiden dan Dewan Menteri dalam Kabinet Karya menganjurkan kepada Konstituante supaya UUD 1945 ditetapkan menjadi UUD yang menggantikan UUDS RI, sesuai dengan wewenang Konstituante menurut Pasal 134 UUDS RI. Selanjutnya, tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno menetapkan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 75 Tahun 1959 tentang Keputusan Presiden No. 150 Tahun 1959 mengenai Dekrit Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tentang Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945. Dalam dekrit tersebut antara lain disebutkan, bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali ke UUD 1945, yang disampaikan kepada rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante seperti ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara.
Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa, dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Dengan pertimbangan, bahwa pertama, Konstituante tidak berhasil membuat UUD yang tetap, dan kedua, Konstituante tidak berhasil menetapkan UUD 1945 sebagai UUD yang tetap. Dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan Presiden sendiri, Presiden menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi.
Berdasarkan alasan tersebut Presiden Soekarno dalam dekritnya mengambil tindakan hukum; pertama, membubarkan badan Konstituante; kedua, menyatakan berlaku kembali Umdang-Undang Dasar 1945; dan ketiga, membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara.
Dalam praktek ketatanegaraan, sejak kembali ke UUD 1945, lembaga-lembaga negara, sebagaimana MPR, DPR, DPA, dan BPK belum dibentuk berdasarkan undang-undang seperti yang ditentukan dalam UUD 1945. Dengan adanya beberapa penyimpangan ketatanegaraan, telah mengakibatkan sistem yang ditetapkan dalam ketentuan UUD 1945 tidak berjalan. Keadaan politik dan keamanan memburuk, yang mencapai puncaknya dengan pemberontakan Gerakan 30 September 1965/Partai Komunis Insonesia.
Letnan Jenderal Soeharto tampil menjadi Presiden Republik Indonesia kedua, melewati prosedur Surat Perintah 11 Maret 1966, yang dikenal dengan Supersemar, melalui Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia.
Pada bulan Juni 1966 Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong mengeluarkan sebuah Memorandum DPRGR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Memorandum tersebut diterima dalam Sidang Umum MPRS IV yang berlangsung bulan Juli 1966 dan dijadikan laporan otentik Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/ 1966. Dengan diterimanya memorandum ini, maka kedudukan Soeharto sebagai tokoh utama dalam pemerintahan semakin kuat karena dalam memorandum itu disebutkan Supersemar sebagai dasar hukum bagi lahirnya pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto. Apalagi secara khusus dalam Sidang Umum telah dikeluarkan pula Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS Republik Indonesia yang menguatkan Supersemar sebagai landasan berpijak bagi beroperasinya pemerintahan Orde Baru.
Pada awal kelahiran Orde Baru sudah ada kesepakatan untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, dimaksudkan agar melindungi UUD 1945 dari usaha perubahan. Hal ini dikarenakan UUD 1945 membuka kemungkinan adanya perubahan, yakni melalui ketentuan Pasal 37. Karena itu perlu ada tindakan preventif agar Pasal 37 tidak dioperasionalkan.
Periode 1998 – sekarang
MPR hasil Pemilihan Umum yang demokratis pada tahun 1999, dalam sidangnya yang diselenggarakan pada bulan Oktober 1999, mengangkat K.H. Abdurrahman Wahid menjadi Presiden telah melakukan tugas mengadakan perubahan UUD 1945 dalam Perubahan Pertama. Sebanyak sembilan pasal telah diubah dan ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999. Dengan sempitnya waktu, maka tugas mengadakan perubahan selanjutnya, Perubahan Kedua diserahkan pada MPR untuk disahkan pada Sidang Tahunan 2000. Dalam Sidang Tahunan MPR yang diselenggarakan pada bulan Agustus 2000 telah mengubah dan/atau menambah pasal-pasal UUD 1945 sebanyak dua puluh lima pasal, dan telah ditetapkan tanggal 18 Agustus 2000. Selanjutnya dalam Sidang Tahunan MPR yang diselenggarakan pada bulan November 2001 telah mengubah dan/atau menambah pasal-pasal UUD 1945 sebanyak dua puluh tiga pasal, yang telah ditetapkan tanggal 9 November 2001, sebagai Perubahan Ketiga. Akhirnya, Perubahan Keempat diputuskan dalam Rapat Paripurna Sidang Tahunan MPR, dan mulai berlaku pada tanggal 10 Agustus 2002.
Oleh karena istilah yang dipakai secara berurutan Perubahan Pertam, Kedua, Ketiga, dan Perubahan Keempat, maka otomatis sesudahnya akan ada lagi Perubahan Kelima, Keenam, Ketujuh, dan seterusnya sesuai dengan perkembangan kebutuhan di masa-masa yang akan datang. Karena itu, timbul kerikuhan untuk menyatakan, bahwa UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan, atau bahwa UUD 1945 itu telah mengalami satu rangkaian perubahan empat tahap. Dari segi prosesnya memang benar bahwa Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), Perubahan Ketiga (2001), dan Perubahan Keempat (2002) merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisah-pisah, karena memang banyak pasal yang diselesaikan perumusannya secara bertahap. Akan tetapi, oleh karena istilah yang dipakai dalam rangka membangun tradisi perubahan dengan sistem amandemen atau addendum adalah Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga, dan Keempat, maka dengan sendirinya perubahan yang dilakukan sesudahnya harus menggunakan sebutan Perubahan Kelima UUD 1945[9].
Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa Perubahan Kelima UUD 1945 yang diwacanakan dewasa ini merupakan sesuatu yang wajar. Apalagi apabila dikaitkan dengan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan UUD 1945 pasca reformasi selama 18 tahun terakhir, disadari terdapat beberapa permasalahan sistemik yang perlu ditinjau dan dikonsolidasikan kembali. Sebagian di antaranya terdapat dalam perumusan norma konstitusional yang dapat dipandang berlebihan atau pun ada pula yang dipandang masih mengandung kelemahan yang memerlukan perbaikan. Karena itu, ide Perubahan Kelima UUD 1945 dapat diterima dan dipertimbangkan untuk dilakukan pada periode 2012-2014 atau paling lambat pada periode 2014-2019.
Materi Muatan Perubahan Kelima UUD 1945
Dapat diuraikan bahwa materi muatan yang perlu diperhatikan dalam rangka gagasan Perubahan Kelima UUD 1945, antara lain:
Bahwa yang akan menjadi objek perubahan adalah pasal-pasal, bukan Pembukaan UUD 1945;
Bahwa pasal yang akan diubah tidak termasuk Pasal 1, khususnya Pasal 1 ayat (1), sebagaimana dimaksud oleh Pasal 37 ayat (5) UUD 1945;
Bahwa perubahan juga tidak akan berkenaan dengan ketentuan Pasal 7, Pasal 37 ayat (5), dan pasal-pasal atau ayat-ayat lain yang bersifat fundamental dan mencerminkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945;
Bahwa perubahan yang ditujukan untuk memperkuat kedudukan dan menambah kewenangan lembaga negara tidak akan menciptakan inefisiensi dalam proses pengambilan keputusan, dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip ‘checks and balances’ antar lembaga negara.
Prosedur Perubahan Kelima UUD 1945 Suatu Gagasan
Untuk melakukan perubahan UUD 1945 merupakan suatu hal yang bersifat spesifik. Dalam membuatnya haruslah ditangani oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan dan kompetensi untuk itu. Dilakukan seleksi oleh MPR secara terbuka, transparan, dan diketahui oleh publik. Sebenarnya, perubahan UUD 1945 tidak ditangani oleh MPR. Mengapa? Seperti diketahui keterlibatan unsur partisan (partai politik) menjadikan setiap proses pembicaraan berubah fungsi menjadi wahana untuk mendesakkan kepentingan masing-masing. Mereka lupa memikirkan kepentingan rakyat, dan tak jarang pula menimbulkan berbagai konflik. Sesuai dengan adagium, bahwa filosofi konstitusi adalah “membatasi kekuasaan”, sebaliknya filosofi partai politik adalah “menguasai kekuasaan”.
Sebagai solusi terhadap perubahan konstitusi haruslah diserahan kepada Komisi Konstitusi yang independen. Komisi Konstitusi tersebut, terdiri atas para pakar berbagai disiplin ilmu, mengakomodasi perwakilan daerah, diberi kewenangan khusus oleh MPR. Komisi Konstitusi bertugas untuk melakukan penyusunan naskah Rancangan Perubahan UUD 1945. Perubahan konstitusi dalam proses demokrasinya, dengan melibatkan partisipasi civil society; yang akan merancang constitution draft atau academic draftPerubahan UUD 1945. Dengan demikian, para elite MPR tidak melakukan monopoli hak kewenangan konstituante formalnya di atas segalanya. Secara keseluruhan, anggota Komisi Konstitusi haruslah non-partisan. Seleksi Ketua dan Anggota Komisi Konstitusi “diangkat” oleh MPR, melalui proses fit and proper test, secara transparan dan partisipatif.
Untuk dapat menjalankan tugasnya dengan efektif, Komisi Konstitusi harus memiliki tugas dan wewenang:
Melakukan penyelidikan dalam rangka penyusunan naskah Rancangan Perubahan UUD 1945;
Melakukan upaya-upaya untuk memperoleh masukan dari publik;
Menyusun masukan dari masyarakat, organisasi kemasyarakatan, menjadi Rancangan Peruabahan UUD 1945 secara komprehensif; dan
Melakukan sosialisasi naskah Rancangan Perubahan UUD 1945 kepada publik.
Tugas dan wewenang Komisi Konstitusi untuk melakukan upaya guna menerima masukan dan sosialisasi naskah kepada publik, dimaksudkan untuk melibatkan secara aktif peran serta masyarakat dalam penyusunan konstitusi.
Sosialisasi naskah Rancangan Perubahan UUD 1945 dengan cara dengar pendapat publik melalui Public Hearing Committee akan dilakukan mekanisme top-down, dari Komisi Konstitusi ke Organisasi Kemasyarakatan, antara lain Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Civil Society, Organisasi Profesi, dan lain-lain. Dalam proses selanjutnya, dilalukan mekanisme bottom-up. Di sinilah komunikasi timbal balik atau two ways traffic communication dapat dilaksanakan dengan baik.
Setelah Komisi Konstitusi menerima Rancangan Perubahan UUD 1945 yang telah tersosialisasikan di Organisasi Kemasyarakatan, maka Komisi Konstitusi merumuskan secara komprehensif menjadi naskah Perubahan Kelima UUD 1945.
Naskah Perubahan Kelima UUD 1945 tersebut, selanjutnya diserahkan ke MPR. MPR mempunyai kewenangan untuk menolak atau menerima Naskah Rancangan UUD 1945 dari Komisi Konstitusi. Apabila menerima naskah tersebut, MPR tidak mempunyai kewenangan untuk mengubah sedikitpun; sebaliknya apabila menolak, maka mekanisme selanjutnya melalui referendum.
Perubahan Berdasarkan Ketentuan Pasal 37 UUD 1945
Ketentuan Pasal 37 UUD 1945 (Perubahan Keempat) terdiri atas 5 ayat, yaitu:
Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
Untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.
Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen ditambah 1 anggota dari seluruh anggota MPR.
Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 37 di atas, minimal ada 3 (tiga) norma hukum yang terdapat di dalamnya. Bahwa yang berwenang mengubah UUD 1945 ialah MPR;
Bahwa untuk mengubah UUD 1945, sidang-sidang MPR harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari seluruh anggotanya (quorum);
Bahwa keputusan tentang perubahan UUD 1945 adalah sah, apabila disetujui oleh 50 persen ditambah 1 anggota dari seluruh anggota MPR dan memenuhi quorum.
Jikalau dilihat dari sisi persyaratan quorum sidang yang harus dihadiri oleh 50 persen ditambah 1 anggota dari seluruh anggota MPR, maka cara perubahan demikian dapat dikatakan tergolong sulit (rigid), karena kurang dari satu anggota saja yang tidak hadir, quorum dinyatakan tidak sah.
Untuk mencapai quorum menurut Pasal 37 UUD 1945 setelah perubahan keempat, dihitung berdasarkan jumlah seluruh anggota MPR, yakni lima puluh prosen ditambah satu dari seluruh anggota MPR.
Apabila prosedur perubahan Undang-Undang Dasar di atas dikaitkan dengan pendapat para pakar ketatanegaraan, maka dapat ditemukan adanya persamaan cara perubahan UUD 1945 dengan para pakar tersebut, antara lain:
Pertama, pandangan George Jellinek, dengan mengikuti cara verfassungsanderung, yaitu cara perubahan yang sesuai dengan cara yuridis formal. Kedua, pandangan K.C. Wheare tentang formal amendment, yaitu perubahan UUD 1945 dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam konstitusi. Ketiga, Pandangan C.F. Strong, perubahan UUD 1945 dilakukan melalui lembaga perwakilan rakyat, dalam hal ini oleh MPR.
Mencermati perubahan UUD 1945, haruslah melalui perubahan dengan cara yuridis formal, dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam konstitusi, melalui lembaga perwakilan rakyat. Last but not least, perubahan dengan menggunakan ketentuan Pasal 37 UUD 1945 tergolong sangat sulit.
Penulis : Soetanto Soepiadhy Pakar Hukum Konstitusi Untag Surabaya dan Pendiri ‘’Rumah Dedikasi’’ Soetanto Soepiadhy
Redaksi yang malang melintang di bidang jurnalisme