Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan

  • 02 Agustus 2018
  • latifah
  • 11653

Pernyataan untuk membentuk pemerintahan yang demokratis dijabarkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yang menentukan:

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatauan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, sehubungan dengan beberapa pandangan tentang demokrasi, menurut hemat saya terdapat ''unsur atau ciri secara umum'' tentang demokrasi, yaitu adanya ''partisipasi rakyat''.

''Partisipasi rakyat'' dapat ditemukan dalam sila keempat Pancasila, yaitu ''Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan''. Sejalan dengan pembahasan tersebut, perlu dikemukakan beberapa masalah yang perlu dijabarkan terlebih dahulu, yaitu: pertama, makna kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan; kedua, kebijaksanaan atau kebijakan; dan ketiga, permusyawaratan/perwakilan.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan

Istilah ''kerakyatan'' mempunyai arti, yang berdaulat atau yang berkuasa adalah rakyat. Istilah lain ''kerakyatan'' disebut juga demokrasi, berasal dari kata Yunani demos berarti rakyat dan kratos berarti pemerintahan. Demokrasi yaitu pemerintahan oleh rakyat di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dilaksanakan secara langsung oleh rakyat melalui wakil-wakilnya yang dipilih melalui pemilihan umum.

Sejalan dengan pemikiran tentang ''kerakyaran yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan'', unsur ''partisipasi rakyat'' akan ditemukan dalam hukum adat. Sunoto dalam ''Mengenal Filsafat Pancasila'', memaparkan bukti kerakyaan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan sebagai berikut:

Di Bali ada desa kuno yang syarat-syaratnya antara lain adanya Balai Agung dan Dewan Orang-orang Tua. Balai menunjukkan adanya suatu tempat untuk mengadakan pertemuan oleh masyarakat adat untuk bermusyawarah. Dewan menunjukkan adanya suatu kumpulan orang-orang yang mempunyai tugas tertentu dengan cara mengadakan musyawarah.

Di Minangkau ada yang dinamakan Nagari. Syarat-syarat Nagari ini antara lain harus ada Balai, pimpinannya berada di tangan Ketua Nagari yang dibantu oleh Dewan Nagari. Sama halnya dengan yang terjadi di Bali, maka sebenarnya masyarakat Minangkabau sudah mempunyai kebiasaan menyelenggarakan suatu lembaga yang kini lazimnya dinamakan demokrasi.

Di Jawa: desa-desa di Jawa mempunyai Balai Desa. Jika ada hal-hal yang perlu dirembuk desa diadakan pertemuan di Balai Desa.

Dardji Darmodihardjo dalam ''Pancasila Suatu Orientasi Singkat'' menjelaskan, ''hikmat kebijaksanaan'' berarti penggunaan atau rasio yang sehat dengan selalu mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan dilaksanakan dengan sadar, jujur dan bertanggung jawab serta didorong itikat baik sesuai dengan hati nurani.

Uraian di atas menurut hemat saya: ''partisipasi rakyat'' dalam melaksanakan demokrasi harus berdasar pada kebijaksanaan melalui putusan lembaga atau institusi.

Kebijaksanaan atau kebijakan

Kamus Umum Bahasa Indonesia menjelaskan, ''kebijaksanaan'' berarti: (1) hal bijaksana; kepandaian menggunakan akal budinya, pengalamannya dan pengetahuannya; (2) pimpinan dan cara bertindak, mengenai pemerintahan, perkumpulan; (3) kecakapan bertindak bila menghadapi orang lain.

Di lain pihak, ''kebijakan'' berarti: kepandaian, kemahiran. Istilah ''kebijakan'' dalam hukum, sering diapakai pada politik hukum. Moh. Mahfud MD. menjelaskan, bahwa politik hukum dapat dirumuskan sebagai kebijakan hukum atau legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum. Menurut hemat saya kebijaksanaan atau kebijakan, yaitu penggunaan pikiran yang sehat dengan mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Permusyawaratan/perwakilan

Permusyawaratan adalah suatu tata cara khas kepribadian Indonesia untuk merumuskan dan atau memutuskan suatu hal berdasarkan kehendak rakyat, hingga tercapai keputusan yang berdasarkan kebulatan pendapat atau mufakat. Di lain pihak, perwakilan adalah suatu sistem dalam arti tata cara mengusahakan turut sertanya rakyat mengambul bagian dalam kehidupan bernegara, antara lain dilakukan melalui lembaga-lembaga atau badan-badan perwakilan.

Dengan demikian, ''Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksana dalam permusyawaratan/perwakilan'' berarti, rakyat dalam menjalankan kekuasaannya melalui sistem perwakilan. Keputusan-keputusan yang diambil dengan jalan musyawarah yang dipimpin oleh pikiran yang sehat serta penuh tanggung jawab, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun kepada rakyat yang diwakilinya.

Berdasarkan uraian tentang ''Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan'', menurut hemat saya terdapat ''unsur atau ciri secara umum'' tentang demokrasi, yaitu adanya ''partisipasi rakyat''. Partisipasi rakyat sebagai ciri kedaulatan rakyat, kekuasaannya dijalankan melalui sistem perwakilan. Keputusan-keputusan yang diambil dengan jalan musyawarah yang dipimpin oleh pikiran yang sehat serta penuh tanggung jawab, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun kepada rakyat yang diwakilinya.

Sebagai negara demokrasi, maka di Indonesia harus ada lembaga kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang bertugas untuk menegakkan hukum dan keadilan serta mengawal demokrasi berdasarkan hukum yang demokratis.

Apa yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, seperti dikutip oleh Achmad Roestandi dalam bukunya Pendidikan Pancasila, bahwa suatu negara disebut negara demokrasi bila prinsip-prinsip demokratis yang paling menentukan dalam organisasi-organisasinya; dan suatu negara dinamakan negara otokrasi jika prinsip-prinsip otokratis yang menentukan.

Sedikit sekali pemimpin-pemimpin negara yang secara terus terang berani menyatakan, bahwa mereka tidak menerima sistem demokrasi. Hampir setiap negara, bagaimanapun sistem politiknya, menegaskan bahwa sistemnya demokratis. Untuk membuktikan apakah sistem demokrasi itu sesungguhnya terdapat dalam bentuk pemerintahannya, perlu diteliti organisasi pemerintahannya. Bagaimana hubungann antara alat perlengkapan negaranya? Sangat tepat apabila dirujuk pada UUD 1945.

Dalam perkembangan ketatanegaraan di Indonesia, selama menggunakan UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis ternyata Indonesia tidak pernah demokratis. Meskipun prinsip yang mendasari UUD itu sendiri menganut paham demokrasi dengan adanya pernyataan eksplisit tentang ''kedaulatan adalah di tangan rakyat'' atau ''kerakyatan'' dan meskipun para pendiri negara telah menegaskan pilihannya atas sistem demokrasi, namun dalam sepanjang berlakunya UUD 1945 pemerintahan yang tampil selalu otoriter.

Beberapa alasan, menurut Alfian yang dapat dikemukakan terhadap pemerintahan yang bersifat otoritarian, yaitu:

Pertama, masalah belum begitu berfungsinya DPR, dan oleh karena itu menimbulkan semacam kesenjangan dengan lembaga kepresidenan yang dinilai sudah sangat berfungsi;

Kedua, masalah masih lemahnya lembaga-lembaga politik di infrastruktur, seperti orpol, sehingga menimbulkan kesenjangan dengan lembaga-lembaga di suprastruktur;

Ketiga, masalah sistem dan penyelenggaraan pemilu yang dianggap secara substantif masih belum begitu selaras dengan makna kedaulatan rakyat.

Keempat, masalah kesulitan dalam mencari sumber daya manusia dan menyiapkan pemimpin-pemimpin politik yang berbobot di kalangan generasi penerus;.

Kalangan ilmuwan politik, setelah mengamati praktek demokrasi di berbagai negara merumuskan, demokrasi secara empirik dengan menggunakan indikator tertentu, yaitu:

Pertama, akuntabilitas.

Dalam demokrasi, setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya. Tidak hanya itu, ia juga harus dapat mempertanggungjawabkan ucapan atau kata-katanya. Yang tidak kalah pentingnya adalah perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang, bahkan akan dijalaninya. Pertanggungjawaban tersebut tidak hanya menyangkut dirinya, tetapi juga menyangkut keluarganya dalam arti luas. Yaitu, perilaku anak dan isterinya, juga sanak keluarganaya, terutama yang berkaitan dengan jabatannya. Dalam konteks ini, si pemegang jabatan harus bersedia menghadapi apa yang disebut public scrutiny-penyelidikan tentang kebenaran hasil pemungutan suara-terutama yang dilakukan oleh media massa yang ada.

Kedua, rotasi kekuasaan.

Dalam demokrasi, peluang akan terjadi rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai. Jadi, tidak hanya satu orang yang selalu memegang jabatan, sementara peluang orang lain tertutup sama sekali. Biasanya, partai-partai politik yang menang pada suatu Pemilu akan diberi kesempatan untuk membentuk eksekutif yang mengendalikan pemerintahan sampai pada pemilihan berikutnya. Dalam suatu negara yang tingkat demokrasinya masih rendah, rotasi kekuasaan biasanya rendah pula. Bahkan peluang untuk itu sangat terbatas. Kalaupun ada hal itu hanya akan dilakukan dalam lingkungan yang terbatas di kalangan elit politik saja.

Ketiga, rekruitment politik yang terbuka.

Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan suatu sistem rekruitment politik yang terbuka. Artinya, setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut. Dalam negara yang tidak demokratis, rekruitmen politik biasanya dilakukan secara tertutup. Artinya, peluang untuk mengisi jabatan politik hanya dimiliki oleh beberapa gelintir orang saja.

Keempat, pemilihan umum.

Dalam suatu negara demokrasi, Pemilu dilaksanakan secara teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih dan bebas menggunakan haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Dia bebas untuk menentukan partai atau calon mana yang akan didukungnya, tanpa ada rasa takut atau paksaan dari orang lain. Pemilih juga bebas mengikuti segala macam aktivitas pemilihan, termasuk di dalamnya kegiatan kampanye dan menyaksikan perhitungan suara.

Kelima, menikmati hak-hak dasar.

Dalam suatu negara demokratis, setiap warga masyarakat dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk di dalamnya adalah hak untuk menyatakan pendapat atau freedom of expression, hak untuk berkumpul dan berserikat atau freedom of assembly, dan hak untuk menikmati pers yang bebas atau freedom of the press. Hak untuk menyatakan pendapat dapat digunakan untuk menentukan preferensi politiknya, tentang suatu masalah, terutama yang menyangkut dirinya dan masyarakat sekitarnya. Hak untuk berkumpul dan berserikat ditandai dengan kebebasan untuk menentukan lembaga, atau organisasi mana yang ingin dia bentuk atau dia pilih.

Indikator atau elemen-elemen dasar dari demokrasi ini merupakan elemen yang umum dikenal di dalam ilmu pengetahuan, terutama ilmu politik. Dengan elemen ini dapat dihindari terjadinya etnosentrisme. Yang harus dipahami pula, seperti telah disinggung di atas, tentu saja dapat diamati seberapa besar interaksi antara nilai universal demokrasi dengan nilai-nilai lokal dapat saling menopang satu sama lain. Dalam konsteks Indonesia, memang masih terdapat pengamat yang pesimis terhadap demokrasi di Indonesia, di antaranya Harould Crouch.

Penulis : Soetanto Soepiadhy, Pakar Hukum Konstitusi UNTAG Surabaya dan Pendiri ''Rumah Dedikasi'' Soetanto Soepiadhy


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id

N. S. Latifah

Redaksi yang malang melintang di bidang jurnalisme