Komisi Konstitusi

  • 14 Januari 2019
  • latifah
  • 5893

Wacana menghidupkan Garis Besar (daripada) Haluan Negara (GBHN) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia kembali muncul. Upaya tersebut diperlukan untuk menyusun cetak biru (blue print) rencana pembangunan nasional ke depan.

Wacana mengembalikan penerapan GBHN berarti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) harus melakukan amandemen (perubahan) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). GBHN sendiri di masa orde baru menjadi acuan utama bagi presiden untuk mewujudkan cita-cita bangsa dan negara.

Perubahan demi perubahan telah dilakukan oleh MPR. Perubahan Pertama UUD 1945 disahkan oleh MPR tanggal 19 Oktober 1999 dalam Sidang Umum MPR. Kemudian Perubahan Kedua UUD 1945 disahkan oleh MPR tanggal 18 Agustus 2000 dalam Sidang Tahunan MPR. Selanjutnya Perubahan Ketiga UUD 1945 disahkan oleh MPR tanggal 9 November 2001 dalam Sidang Tahunan MPR. Akhirnya, Perubahan Keempat UUD 1945 disahkan oleh MPR tanggal 10 Agustus 2002 dalam Sidang Tahunan MPR. Pelaksanaan perubahan ini merupakan salah satu tuntutan reformasi 1998 yang menginginkan perubahan UUD 1945 karena saat itu kekuasaan tertinggi ada di MPR.

Salah satu hasil perubahan, yakni MPR tak lagi menjadi lembaga tertinggi negara melainkan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Begitu pula kewenangan MPR untuk memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden, termasuk menetapkan GBHN turut dibatalkan. Sebagai gantinya, kewenangan MPR terbatas pada melantik dan memberhentikan presiden atau wapres dalam masa jabatannya serta mengubah dan menetapkan UUD.

Tak lama setelah itu muncul wacana perubahan kelima UUD 1945, termasuk di dalamnya upaya menghidupkan kembali GBHN dan mengembalikan MPR sebagai lembaga negara tertinggi. Persoalan besarnya adalah: Apakah perubahan kelima itu harus dilakukan oleh MPR? Apakah tidak perlu dibentuk Komisi Konstitusi yang independen (non- partisan), agar sesuai dengan proses perubahan konstitusi?

Prosedur Perubahan UUD 1945

MPR telah menetapkan perubahan UUD 1945 (pertama, kedua, ketiga, dan keempat) dilakukan dengan menerapkan ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Perubahan UUD 1945 tersebut ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 Agustus 2002.

Proses perumusan perubahan UUD 1945 lebih menggambarkan konfigurasi antar partai politik untuk merebut kekuasaan dalam pemilu berikutnya. Tidak heran jika kepentingan parpol tertentu lebih menonjol dari pada kepentingan bangsa. Komitmen kuat untuk melakukan reformasi konstitusi atau constitutional reform menuju iklim politik dan ketatanegaraan yang kondusif menjadi tidak bermakna. Wajar apabila hasil perubahan UUD 1945 tidak mendapat sambutan positif dari masyarakat, tetapi malah menjadi sasaran kritik yang seolah tidak pernah berhenti. Masyarakat tidak lagi percaya dengan hasil perubahan UUD 1945 yang dilakukan para wakilnya di MPR, karena lebih mementingkan kepentingan kelompok atau golongannya.

Dalam kondisi seperti ini, muncul permasalahan: ‘’Benarkah perubahan UUD 1945 terdapat kelemahan ‘’proses atau prosedur’’ serta ‘’materi muatan atau substansi’’ yang selama ini telah dilakukan oleh MPR?’’

Ada empat hal yang berkenaan dengan perubahan konstitusi pada umumnya dan UUD 1945 pada khususnya; ke empat hal tersebut adalah: 1) Proses/prosedur dan mekanismenya; 2) Sistem perubahannya; 3) Bentuk hukum, dan 4) Substansi yang akan diubah.

Seperti diketahui, pengaturan tentang mengubah UUD 1945 tercantum dalam Pasal 37 UUD 1945. Ada tiga kaidah hukum yang terdapat di dalamnya, yakni: 1) Tentang lembaga yang berwenang mengubah UUD 1945; 2) Tentang sahnya sidang-sidang MPR (kuorum) yang mempunyai acara mengubah UUD 1945; dan 3) Tentang sahnya keputusan mengenai perubahan UUD 1945.

Berdasarkan uraian di atas, yang berwenang mengubah UUD 1945 ialah MPR. Prosedur untuk mengubah UUD 1945 antara lain terdapat dalam Pasal 37. Akan tetapi hal itu belum cukup, masih harus ada peraturan lain tentang prosedur untuk mengubah UUD 1945. Antara lain, siapa yang berhak mengajukan usul perubahan terhadap UUD 1945?

Terhadap pertanyaan di atas, perlu dikemukakan pendapat ahli hukum konstitusi Inggris, K.C. Wheare tentang supreme constitutions atau konstitusi derajat tinggi. Pada intinya, menurut Wheare, kedudukan konstitusi  dilihat dari aspek hukum mempunyai derajat tertinggi atau supremasi. Dasar pertimbangan supremasi konstitusi adalah beberapa hal: 1. konstitusi dibuat oleh Badan Pembuat Undang-Undang Dasar; 2. konstitusi dibentuk atas nama rakyat, berasal dari rakyat, kekuatan berlakunya dijamin oleh rakyat, dan ia harus dilaksanaan langsung kepada masyarakat untuk kepentingan mereka; dan 3. konstitusi ditetapkan oleh lembaga atau badan yang diakui keabsahannya.

Mencermati diktum pertama dasar pertimbangan supremasi konstitusi di atas, bahwa untuk melakukan perubahan UUD 1945 merupakan sesuatu yang bersifat spesifik. Untuk membuatnya haruslah ditangani oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan dan kompetensi untuk itu, dilakukan seleksi yang ketat oleh MPR secara terbuka, transparan, dan diketahui oleh publik. Jadi perubahan UUD 1945 tidak ditangani oleh MPR, karena keterlibatan unsur partisan akan menjadikan setiap proses pembicaraan sebagai wahana untuk mendesakkan kepentingan masing-masing. Mereka lupa untuk memikirkan kepentingan rakyat, dan tak jarang pula menimbulkan berbagai konflik. Sebagai solusi terhadap perubahan konstitusi haruslah diserahkan kepada Komisi Konstitusi atau Constitutional Commission, yang independen, sehingga kata ‘’dibuat’’ dalam diktum pertama akan terpenuhi.

Sejalan dengan adanya Komisi Konstitusi, Haysom seperti dikutip oleh Abdul Mukthie Fadjar, mengemukakan adanya empat cara proses pembuatan konstitusi yang demokratis, yaitu: (1) by a democratically constituted assembly; (2) by a democratically elected parliament; (3) by a popular referendum; dan (4) by a popularly supported constitutional commission.

Dengan cara keempat, sebagai salah satu proses pembuatan konstitusi di atas, merupakan konstitusi yang kokoh bagi suatu negara konstitusional atau constitutional state yang mampu menjamin suatu demokrasi yang berkelanjutan atau a sustainable democracy, juga harus merupakan konstitusi yang legitimate, dalam arti proses pembuatannya harus secara demokratis, diterima dan didukung sepenuhnya oleh seluruh komponen masyarakat dari berbagai aliran dan faham, aspirasi, dan kepentingan.

Muncullah Ketetapan MPR Nomor 1/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi, setahun kemudian baru disusul dengan Keputusan MPR Nomor 4/MPR/2003 tentang Susunan, Kedudukan, Kewenangan, dan Keanggotaan Konstitusi.

Ketentuan Pasal 1 Keputusan MPR Nomor  4/MPR/2003 di atas menetapkan, bahwa tugas Komisi Konstitusi melakukan ‘’pengkajian secara komprehensif’’ terhadap UUD 1945 dalam waktu tujuh bulan. Dalam melakukan pengkajian itu, Komisi Konstitusi terikat kesepakatan dasar PAH I MPR yang menyatakan: 1) tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; 2) tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 3) mempertegas sistem pemerintahan Presidensial; 4) Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam Penjelasan dimasukkan ke dalam pasal-pasal; dan 5) perubahan dilakukan dengan cara ‘’adendum’’.

Apa yang dimaksud dengan ‘’pengkajian secara komprehensif?’’ Ternyata di dalam Keputusan MPR, tidak ditemukan ketentuan lebih lanjut mengenai ‘’pengkajian secara komprehensif’’ yang dimaksud oleh MPR itu. Secara etimologis, yang dimaksud dengan pengkajian secara komprehensif adalah mempelajari, menyelidiki, menguji, menelaah, memikirkan secara luas dan lengkap tentang perubahan UUD 1945.

Sidang-sidang Komisi Konstitusi diawali perdebatan sengit, seperti wewenang yang diberikan oleh MPR. Sekadar mengkaji, kendatipun komprehensif atau juga mencakup kewenangan mengubah pasal-pasal yang sudah atau belum diubah oleh MPR dalam perubahan yang pertama hingga keempat. Akhirnya berkembang wacara, bahwa tugas Komisi Konstitusi melakukan perubahan-perubahan terhadap pasal-pasal UUD 1945, baik yang belum maupun yang sudah mengalami empat kali perubahan oleh MPR. Perubahan pasal-pasal yang dilakukan oleh Komisi Konstitusi disepakati akan dilengkapi dengan suatu kajian akademis.

Untuk dapat menjalankan tugasnya dengan efektif, Komisi Konstitusi harus memiliki tugas dan wewenang, yaitu: a) Melakukan penyelidikan dalam rangka penyusunan naskah Rancangan Konstitusi RI; b) Melakukan upaya-upaya untuk memperoleh masukan dari publik dan lembaga-lembaga negara; c) Menyusun masukan dari masyarakat menjadi naskah rancangan Konstitusi RI secara komprehensif untuk disahkan; d) Melakukan sosialisasi naskah rancangan Konstitusi RI kepada publik.

Dimasukkannya tugas dan kewenangan Komisi Konstitusi untuk melakukan penyidikan dalam rangka penyusunan konstitusi dan untuk merumuskan naskah konstitusi merupakan tujuan utama dari pembentukan komisi ini. Tugas dan wewenang untuk melakukan upaya guna menerima masukan dan sosialisasi naskah pada publik dimaksudkan untuk melibatkan secara aktif peran-serta masyarakat dalam penyusunan konstitusi.

Sementara itu keanggotaan Komisi Konstitusi harus terdiri dari: 1. Pakar dari berbagai disiplin ilmu; 2. Perwakilan dari tiap daerah di Indonesia. Secara keseluruhan anggota Komisi Konstitusi haruslah non-partisan, dengan komposisi yang mencerminkan kesetaraan jender, keadilan agama, dan etnis serta mengakomodasi unsur dan kepentingan daerah.

Keanggotaan Komisi Konstitusi di atas, diyakini dapat menjembatani secara optimal mayoritas kepentingan-kepentingan rakyat Indonesia terhadap materi konstitusi yang akan dibuat, sekaligus meminimalisasi materi konstitusi yang berorientasi jangka pendek dan sarat kepentingan sekelompok orang atau golongan.

Komisi Konstitusi harus mendapatkan legitimasi yang kuat, baik secara konstitusional maupun oleh rakyat, demikian pula hasilnya. Seleksi Ketua dan anggota Komisi Konstitusi ‘’diangkat oleh MPR dalam Sidang Tahunan’’ melalui proses yang transparan, partisipatif, akuntabel. Waktu pelaksanaan seleksi harus memadahi, tidak terlalu singkat, untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat.

Berapa jumlah anggota Komisi Konstitusi? Sebagai perbandingan, di Filipina dengan Constitutional Commission terdiri atas 48 orang anggota; di Thailand denganConstitutional Drafting Assembly terdiri atas 99 orang anggota; maka Komisi Konstitusi kita berjumlah antara 45-99 orang anggota. Fakta menunjukkan, bahwa anggota Komisi Konstitusi yang bertugas mengkaji secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berjumlah 31 orang anggota.

Komisi Konstitusi ini diangkat oleh MPR, dengan pertimbangan bahwa MPR adalah lembaga yang berwenang untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, berdasarkan atas ketentuan Pasal 3 ayat (1) pada Perubahan Ketiga UUD 1945.

Bagaimana soal pertanggungjawaban Komisi Konstitusi? Dalam hal ini Komisi Konstitusi bertanggung jawab kepada MPR dan masyarakat. Pertanggungjawaban kepada MPR dilandasi pemikiran, bahwa mandat Komisi Konstitusi untuk melakukan tugas dan wewenangnya diberikan oleh MPR. Pertanggungjawaban kepada masyarakat atau publik merupakan konsekuensi logis, karena secara tidak langsung ia memperoleh mandat dari rakyat atau publik untuk menyelesaikan tugas yang sangat berat ini.

Pertanggungjawaban kepada publik dilakukan melalui mekanisme kerja yang transparan dan laporan akhir masa kerja yang terbuka, sehingga dapat diakses oleh publik. Di sisi lain, pertanggungjawaban kepada MPR diberikan melalui laporan pada akhir masa kerja kepada Sidang Paripurna MPR, yang sekaligus mengesahkan konstitusi baru yang telah disusun dan disetujui oleh rakyat.

Komisi Konstitusi ini diangkat oleh MPR, dengan pertimbangan bahwa MPR adalah lembaga yang berwenang untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, berdasarkan atas ketentuan Pasal 3 ayat (1) pada Perubahan Ketiga UUD 1945.

Bagaimana dengan jangka waktu atau masa kerja Komisi Konstitusi? Sebagai pembanding perlu diketengahkan, bahwa Filipina dapat menyelesaikan constituion draft/academic draft selama tiga bulan; di Thailand selama delapan bulan; maka Komisi Konstitusi kita diperkirakan masa kerjanya antara tiga-delapan bulan, mulai berlaku sejak diangkat oleh MPR.

Bagaimana struktur dan mekanisme kerja Komisi Konstitusi? Penyusunan naskah Konstitusi Baru harus dilakukan dalam proses yang transparan dan partisipatif. Mengingat bahwa tidak mungkin melibatkan seluruh rakyat untuk menjadi perumus konstitusi, sebagai anggota Komisi Konstitusi, maka paling tidak Komisi Konstitusi harus secara optimal mengundang partisipasi rakyat untuk penyusunan konstitusi. Anggota yang merupakan perwakilan dari tiap-tiap daerah diwajibkan pula untuk membentuk semacam sub-komisi di daerahnya masing-masing yang bertugas menjaring aspirasi masyarakat di daerah yang bersangkutan.

Berkaitan dengan persoalan partisipasi, perlu disadari pula bahwa partisipasi hanya akan efektif apabila ada transparansi tentang apa yang sedang dibuat. Transparansi juga dapat menghindari adanya proses penyusunan konstitusi yang tidak didasari pada kepentingan publik. Jangka waktu yang memadahi, tidak terlalu singkat, menjadi esensial pula dalam rangka mendukung proses partisipasi yang genuine. Pada akhirnya, hasil kerja Komisi Konstitusi akan disebarluaskan untuk mendapatkan persetujuan rakyat, untuk selanjutnya disahkan oleh MPR menjadi Konstitusi RI, sesuai dengan Pasal 3 UUD 1945.

Materi Muatan atau Substansi yang Diubah

Dalam sejarah konstitusi di Indonesia, dikembangkan pandangan yang berbeda dari kelaziman di berbagai negara. Hal ini disebabkan, bahwa dalam sejarah konstitusi di Indonesia, Pembukaan UUD 1945 disusun dan dibuat lebih dahulu dari naskah UUD 1945. Karena faktor kesejarahan itu, Pembukaan UUD 1945 dianggap sebagai suatu dokumen formal.

Sementara itu, apabila diteliti terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada khususnya dan negara-negara lain pada umumnya, maka sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang terdapat di dalamnya, menurut A.A.H. Struycken, dapat dikatakan, bahwa undang-undang dasar sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal. Karena itu, sebagai dokumen formal, substansi UUD 1945 dapat dikembangkan dengan tiga elemen materi muatan, yaitu: 1. Materi muatan yang dapat diubah dan tidak dapat diubah, yaitu Pembukaan UUD 1945; 2. Materi muatan yang dapat diubah dengan cara biasa, yaitu seluruh pasal UUD 1945 kecuali yang dikeculikan; dan 3. Materi muatan yang dapat diubah dengan cara yang tidak biasa, yaitu pasal-pasal yang berkenaan dengan bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republik serta pasal-pasal yang berkenaan dengan dasar negara.

Beberapa hal yang perlu dicermati atas kelemahan dari segi materi muatannya adalah: Pertama, tidak adanya paradigma yang jelas. Model rancangan Perubahan UUD 1945 yang ada sekarang di mana semua alternatif perubahan dimasukkan dalam satu rancangan, membuka peluang lebar bagi tidak adanya paradigma, konstruksi nilai dan bangunan ketatanegaraan yang hendak dibentuk dan dianut dengan perubahan tersebut. Karena MPR dapat saja secara sepotong-sepotong memilih suatu pasal dan merumuskannya tanpa melihat hakikat dan keterkatitan antara satu pasal dengan pasal yang lainnya. Hal ini semakin diperburuk dengan keterbatasan pemahaman anggota MPR, adanya bias kepentingan politik, dan lemahnya proses perubahan itu sendiri.

Sebagai ilustrasi untuk menggambarkan hal di atas misalnya adanya perubahan yang menguatkan peran DPR pada Perubahan Pertama dan Kedua (Pasal 5, 13, 14, 15, 20, 20A, 22A, dan 22B UUD 1945) dan memasukkan alternatif pemilihan presiden langsung serta impeachment dalam rangcangan Perubahan Ketiga tanpa adanya pembicaraan secara mendalam terlebih dulu, sistem pemerintahan yang bagaimana yang hendak dipergunakan dalam konstitusi yang baru. Padahal, perubahan yang dilakukan tidak secara konsepsional semacam itu secara tidak langsung telah berujung pada mekanisme ketatanegaraan yang rancu. Hal ini antara lain terlihat dari konflik antara lembaga eksekutif dan legislatif, akibat masih tidak jelasnya hubungan antara keduanya.

Kedua, tidak didasari ide konstitusionalisme. MPR dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945 ini, tidak mau/berani keluar dari kerangka dengan mendekonstruksi prinsip dan nilai UUD 1945 yang relevansinya saat ini sudah layak dipertanyakan. MPR tidak mendasarinya dengan ide-ide konstitusionalisme yang esensinya merupakan spririt/jiwa bagi adanya pengakuan hak asasi manusia (HAM) dan lembaga-lembaga negara yang dibentuk untuk melindungi HAM dengan dibatasi oleh hukum. Ide konstitusionalisme yang bersifat universal ini, tidak memahami konstitusi sebagai doktrin karena konstitusi hanyalah raga/wadahnya, namun sebagai spririt/jiwa yang membentuknya yang berkembang saat ini, yakni prinsip demokrasi dan nilai-nilai HAM.

Penulis : Soetanto Soepiadhy Pakar Hukum Konstitusi Untag Surabaya dan Pendiri ‘’Rumah Dedikasi’’ Soetanto Soepiadhy

 

 


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id

N. S. Latifah

Redaksi yang malang melintang di bidang jurnalisme