Legal Policy Pasal 222 UU Pemilu: Presidential Threshold 20 Prosen

  • 19 September 2018
  • latifah
  • 5869

Politik hukum merupakan politik (kebijakan) yang berguna untuk hukum dan ilmu hukum, sehingga antara politik hukum, hukum nasional, dan ilmu hukum berkait sangat erat. Kaitan sangat erat itu menyebabkan politik hukum merupakan bagian pula dari studi hukum atau menjadi bagian dari bidang studi hukum. Politik hukum mengetengahkan bagaimana hukum harus mengakomodasikan suatu tujuan masyarakat yang dirumuskan secara politik. Hukum dalam arti peraturan perundang-undangan memerlukan politik (kebijakan) dalam arti yang positif, karena memang harus diakui, bahwa hukum itu adalah produk politik. Lebih tegas lagi, dapat dikatakan, bahwa hukum sebagai suatu produk (peraturan perundang-undangan) merupakan proses konflik. Artinya proses yang penuh muatan aspirasi dan titipan kepentingan politik.

Politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakaan hukum itu.

Politik Hukum Nasional meliputi: 1) pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten; 2) pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat; 3) penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya; 4) meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elite pengambil kebijakan.

Legal policy mengetengahkan, bagaimana hukum harus mengakomodasi suatu tujuan masyarakat yang dirumuskan secara politik. Hukum dalam arti peraturan perundang-undangan memerlukan politik (kebijakan) dalam arti positif. Kebijakan dalam arti positif sebagai penjamin adanya kepastian hukum (rechtsmatigheid), maupun keadilan hukum (doelmatigheid).

Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, termasuk di antaranya Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), tidak mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya dijawab oleh hukum. Bahkan beberapa produk hukum yang lebih banyak diwarnai dengan kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan. Itulah sebabnya banyak pendapat yang mengatakan, bahwa hukum itu bagaikan bandul (pendulum). Apabila kepastian hukum tercapai, maka keadilan hukum akan tercampakkan; begutu pula sebaliknya, apabila keadilan hukum didapat, maka kepastian hukum akan ditinggalkan.

Dalam menentukan legal policy harus bertolak pada suatu tujuan yang dirumuskan bersama, dan tujuan itu menjadi sasaran yang akan dicapai setiap pembentukan hukum. Kebersamaan merumuskan suatu kebijakan itu sebagai konsekuensi dari pemerintahan yang bersistem politik demokrasi. Merumuskan tujuan hukum adalah suatu politik. Dengan rumusan itu kebijakan dibentuk oleh badan yang mempunyai kekuasaan. Dalam mencapai tujuan hukum diperlukan legal policy. Dengan demikian, legal policy berfungsi mengarahkan pembuat peraturan perundang-undangan dalam proses pembuatan hukum.

 Legal Policy Bersifat Messo

Pertama-tama, marilah dicermati dengan seksama ketentuan Pasal 222 UU Pemilu yang akan dibahas. Pasal tersebut menjelaskan: ‘’Pasangan Calon (Presiden dan Wakil Presiden) diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 2O% (dua puluh prosen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima prosen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.’’

Untuk membahas apakah Pasal 222 UU Pemilu merupakan legal policy bersifat messo, perlu dijabarkan terlebih dulu sifat legal policyLegal policy adalah bagian dari bidang studi hukum, mengandung makna, bahwa hukum bukan sesuatu yang steril dari pemikiran politik. Hukum dalam arti peraturan perundang-undangan adalah suatu wadah untuk memberikan legitimasi dan legalitas terhadap suatu kebijakan yang dihasilkan melalui proses politik.

Legal policy dibedakan atas tiga sifat, yakni ‘’makro’’, messo, dan ‘’mikro’’. Legal policy bersifat ‘’makro’’ dirumuskan dalam suatu norma dasar (dalam hal ini Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945/UUD 1945), yang dalam susunan peraturan perundang-undangan ditempatkan sebagai peraturan yang tertinggi. Tujuan makro itu dilaksanakan dalam berbagai legal policy bersifat messo (menengah) melalui berbagai peraturan perundang-undangan. Legal policy bersifat ‘’mikro’’ dilaksanakan melalui berbagai peraturan yang lebih rendah lagi tingkatnya. Dengan cara demikian, akan tercipta peraturan perundang-undangan (sebagai hukum nasional) yang taat asas, yaitu dibenarkan pada tataran legal policy yang makro.

Dalam hal ini, ketentuan Pasal 222 UU Pemilu, merupakan legal policy bersifat messo, dengan konsep norma yang isinya tidak dapat ditetapkan secara persis, sehingga lingkupnya tidak jelas terhadap ketentuan-ketentuan legal policy bersifat ‘’makro’’.

Secara sosiologis dapat dikatakan, bahwa ketentuan Pasal 222 tersebut sebagai produk hukum yang bersifat konflik, yakni proses yang penuh muatan aspirasi dan titipan kepentingan politik sesaat. Dapat juga dikatakan, bahwa pasal tersebut sebagai produk hukum yang represif, elitis, tidak responsif, populis, memihak kepada daulat rakyat.

Sebaliknya, secara gramatikal dan tekstual, materi muatan dalam ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dengan tegas memberikan hak yang sama pada partai politik peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden untuk mengajukan Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden. Tidak ada proposisi – kata-kata atau kalimat – yang mengindikasikan perintah konstitusi untuk membeda-bedakan partai politik berdasarkan perolehan kursi atau suara.

Dari sini dapat dilihat, apakah kebijakan dalam membuat peraturan perundang-undangan sebagai legal policy memperbolehkan keluar dari atau melanggar apa yang telah ditetapkan dalam ketentuan konstitusi? Jawabnya singkat, jelas tidak bisa keluar dari norma-norma hukum yang ada di dalam konstitusi.

Kalau legal policy dalam ketentuan Pasal 222 tersebut dijadikan patokan untuk menghadirkan Calon Presiden yang dapat melaksanakan mandat dan amanat rakyat pemilih, bukan syarat prosentase. Bukan pada prosentase, bukan pada rendah maupun tingginya syarat; bukan pada presidential treshhold – syarat 20 prosen kursi dan 25 prosen suara – tetapi sekali lagi agar dapat melaksanakan mandat dan amanat rakyat pemilih.

Secara historis dan sosiologis, spirit dasar Pemilu Presiden dan Wakil Presiden memberi ruang luas kepada rakyat untuk memilih calon potensial yang ada di masyarakat. Itulah hasil terbaik yang akan dicapai. Hasil terbaik dalam peningkatan kualitas demokrasi, dan peningkatan kualitas pemimpin yang mampu menegakkan daulat rakyat. Sebab ketentuan Pasal 222 tersebut bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat, seperti diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, yang menjelaskan: ‘’Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar’’.

Untuk dapat melaksanakan mandat dan amanat rakyat pemilih, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus meningkatkan kualitas demokrasi, dari hanya ‘’prosedural’’ menjadi ‘’substansial’’, dari hanya ‘’representatif’’ menjadi semakin ‘’partisipatoris’’. Suara rakyat tidak hanya dihargai saat pemilihan, tetapi juga diikutsertakan dalam govenrning, dalam proses penentuan kebijakan (legal policy).

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus meningkatkan ‘’kualitas’’ pemimpin. Maka, pemilihan (election) harus didahului dengan selection. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah kesempatan untuk menguji dan membantu meningkatkan kualitas calon pemimpin, agar lebih tinggi dari persoalan-persoalan sekarang.

Legal Policy Pasal 222 Ambiguity

Ketentuan Pasal 222 tersebut multi-tafsir (ambiguity), karena terdapat lebih dari satu norma yang ada di dalamnya. Padahal teori hukum menegaskan, bahwa setiap pasal atau ayat harus mempunyai satu norma, agar tidak multi-tafsir. Apabila dalam pasal tersebut terdapat lebih dari satu norma, berarti multi-tafsir.

Bahwa ketentuan Pasal 222 tersebut mengusung ‘’norma dispensasi’’ (vrijstelling) dan ‘’norma perintah’’ (gebod). ‘’Norma dispensasi’’ (pembebasan) dituangkan dalam proposisi induk kalimat: ‘’pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu’’. Sebaliknya ‘’norma perintah’’ tertuang dalam proposisi anak kalimat: ‘’yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh prosen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima prosen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR’’. Sedangkan, ‘’sebelumnya’’ adalah keterangan waktu.

Dalam hal ini menunjukkan, bahwa ‘’norma dispensasi’’ dan ‘’norma perintah’’ sebagai sesuatu yang kontradiksi. Dapat dijelaskan, bahwa dispensasi atau pembebasan (sebagai suatu kewenangan) terhadap partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan calon, tetapi sebaliknya partai politik atau gabungan partai politik diperintahkan (sebagai suatu kewajiban) untuk memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR. Apakah ini tidak kontradiksi? Dalam teori hukum dapat dikatakan, sebuah perintah dan sebuah dispensasi (pembebasan), tidak dapat berlaku bersama-sama. Jadi, secara respektif antara suatu perintah dan suatu dispensasi terdapat perlawanan (tegenspraak). Hubungan antar kedua norma tersebut, dalam logika disebut hubungan kontradiksi.

Artinya, jika ketentuan Pasal 222 UU Pemilu mempunyai lebih dari satu norma, dan terjadi konflik norma hukum (antinomi) – yang tidak dapat berlaku bersama-sama – maka pasal tersebut menjadi multi-tafsir.

Pada persoalan semacam ini, hakim ketika memutus harus menggunakan asas preferensi, yakni lex specialis derogat legi generali; lex superior derogat legi inferiori; dan lex posterior derogat legi priori. Dalam hal ini, asas hukum yang paling tepat digunakan adalah lex superior derogat legi inferiori, yaitu apabila terdapat dua aturan hukum mengatur hal yang sama, maka aturan hukum yang tinggi mengalahkan aturan hukum yang rendah.

Dalam kasus ini, kedua aturan hukum tersebut adalah ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menjelaskan: ‘’pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum’’ (sebagai aturan hukum yang paling tinggi) mengalahkan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu yang menjelaskan: ‘’pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik perserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh prosen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima prosen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR sebelumnya’’ (sebagai aturan hukum yang rendah atau di bawahnya).

Sampailah pada pemikiran, pertama, Ketentuan Pasal 222 UU Pemilu merupakan legal policy bersifat messo dengan konsep norma yang isinya tidak dapat ditetapkan secara persis, sehingga lingkupnya tidak jelas terhadap ketentuan-ketentuan legal policy bersifat ‘’makro’’. Kedua, legal policy ketentuan Pasal 222 UU Pemilu ambiguity karena dalam ketentuan pasal tersebut terdapat dua norma (perintah dan dispensasi) yang saling berlawanan; di dalam logika disebut hubungan kontradiksi.

Ketiga, ketentuan Pasal 222 UU Pemilu merupakan legal policy bersifat messo dijadikan patokan untuk menghadirkan Calon Presiden yang dapat melaksanakan mandat dan amanat rakyat pemilih, seharusnya tidak mencantumkan syarat prosentase. Bukan pada prosentase, bukan pada rendah maupun tingginya syarat; bukan pada presidential treshhold – syarat 20 prosen kursi dan 25 prosen suara – tetapi sekali lagi agar dapat melaksanakan mandat dan amanat rakyat pemilih.

Keempat, legal policy ketentuan Pasal 222 UU Pemilu agar tidak ambiguity, seharusnya ketentuan pasal tersebut tanpa menggunakan norma perintah.

Penulis : Soetanto Soepiadhy, Pakar Hukum Konstitusi UNTAG Surabaya dan Pendiri ‘’Rumah Dedikasi’’Soetanto Soepiadhy

 


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id

N. S. Latifah

Redaksi yang malang melintang di bidang jurnalisme