Pencegahan dan Pemberatasan Tidak Pidana Korupsi, Sulitkah Dilakukan di Negeri Ini?

  • 01 Februari 2018
  • latifah
  • 5852

Korupsi telah menjadi masalah yang sangat serius bagi bangsa Indonesia bahkan sudah membudaya karena telah merambah ke seluruh lini kehidupan masyarakat yang dilakukan secara sistematis, sehingga memunculkan stigma negatif bagi negara dan bangsa di dalam pergaulan masyarakat internasional.

Menurut Jaksa Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur (anggota Satsus Tipikor), Dr. Desi Rochman, S.H., M.Hum, tindakan korupsi di Indonesia dalam pandangan budaya merupakan perwujudan eksternalisasi nilai yang sudah terhayati (menginternal) menjadi kebiasaan (habitus), sehingga tidak ragu dan tidak malu untuk melakukannya. Berbagai kalangan menilai korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan bahkan kultur dan menjadi satu sistem yang menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara termasuk dalam tataran K/L/D/I/LSM/Ormas.

“Masalah korupsi sebenarnya bukanlah masalah baru di negeri ini, karena pengaturannya telah ada sejak era tahun 1950-an. Tetapi kondisi korupsi di negara kita ini diperparah dengan perangkat hukum yang lemah, ditambah pula dengan adanya aparat penegak hukum (APH) yang kurang serius,” ucapnya.

Korupsi di Indonesia, lanjut dia, saat ini dalam tahap kritis karena dipraktikkan begitu meluas di semua aspek kehidupan (sektor) dan kondisi ini menyebabkan terjadinya budaya korup. Budaya dapat terbentuk dari tindakan yang dipelajari.

“Budaya menyebar dari pengetahuan yang terbagikan kepada orang lain, sehingga korupsi ditiru oleh pelaku satu dan lainnya dengan modus operandi yang beragam. Koruptor yang tidak terungkap akan terus melakukan korupsi dengan rasa aman dan nyaman bahkan mereka merasa menang karena tindakannya tidak mendapat hukuman,” jelas Rochman.

Alumni S3 FH UNTAG Surabaya itu, menungkapkan bahwa semangat untuk memberantas korupsi sampai saat ini terkesan menyalahkan sistem yang ada, tetapi kurang berorientasi kepada peningkatan dan pengawasan kinerja serta profesionalitas HRD (human resource development), aparat penegak hukum (APH), sehingga tidak jarang dalam proses pencegahan dan penindakan korupsi terhalang oleh perilaku para penegak hukum maupun perilaku para aparat pemerintahan sebagai representatif atas mandat rakyat dengan menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan.

“Kompleksitas perkara korupsi yang semakin masif, serta dampak kerugian keuangan negara yang sangat luar biasa yang ditimbulkan pelaku saat ini, maka peran pemerintah melalui political will (kemauan dari peran politik) sangatlah diperlukan,” tegasnya.

Kata Rochman, korupsi merupakan bentuk terorisme gaya baru terhadap bangsa dan negara indonesia yang berdampak tidak saja merugikan perekonomian negara saja, tetapi telah merugikan hak-hak sosial ekonomi masyarakat indonesia bahkan dalam batas-batas tertentu telah merusak tatanan dan struktur sosial budaya yang beradab keadilan dan kesejahteraan.

“Salah satu tujuan falsafah negara kita adalah menuju masyarakat yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka untuk para penegak hukum maupun pemerintahan harus sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam pemberantasan, jangan pernah berhenti dilakukan dengan optimal karena pemberantasan korupsi di Indonesia perlu dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa,” pungkasnya.

Perlu diketahui bahwa Dr. Desi Rochman, S.H., M.Hum adalah, salah satu Narasumber seminar “Mengurai Benang Kusut Penegakan Pidana Korupsi” yang digelar mahasiswa Magister Ilmu Hukum, FH UNTAG Surabaya pada 7 Desember 2017.


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id

N. S. Latifah

Redaksi yang malang melintang di bidang jurnalisme