Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan Harus Diperluas

  • 01 April 2016
  • latifah
  • 5682

Roximelsen Suripatty, SH., MH., Rabu lalu, (30/03/16) melaksanakan Ujian Terbuka di Meeting Room Gedung Graha Wiyata Lantai 1 untuk  menyelesaikan pendidikan S3 Program Studi Doktor Ilmu Hukum Di Fakultas Ilmu Hukum (FH) Untag Surabaya dengan judul disertasi mengenai Rekonstruksi Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan Sebagai Upaya Melindungi Korban.

Roximelsen kuasa hukum koperasi papua siber media tersebut memaparkan bahwa selama ini terdapat kecendrungan pandangan umum mengenai pengaturan tindak pidana perkosaan masih terkungkung pada paradigma mainstream atau paradigma yang bersifat formalisme. Padahal gambaran lengkap dan benar mengenai pengaturan hukum perkosaan itu jauh lebih kompleks dan sistemik. Dengan demikian saya menganalisis dan menemukan pengaturan terhadap tindak pidana perkosaan dalam perspektif viktimologi dan pengaturan tindak pidana perkosaan sebagai upaya memberikan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan.

Dari hasil penelitian ini, lanjutnya, saya menyimpulkan bahawa pengatuaran tindak pidana perkosaan sebagai upaya melindungi korban dalam perspektif viktimologi masih belum memberikan perlindungan hukum bagi korban. Termasuk korban marital rape atau konsensual rape di dalam sistem peradilan pidana pada sistem hukum berdasarkan pancasila dan perlu direkonstruksi kembali rumusan pasal 285 KUHP dengan pendekatan teori keadilan bermartabat yang berorientasi kepada memanusiakan manusia, sehingga perkataan wanita dihilangkan dan memperluas korban perkosaan yang juga dapat menimpa siapa saja.

Laki-laki mantan Rektor Universitas Victory Sorong dalam penelitiannya merekomendasikan bahwa dalam kebijakan legislatif yang akan ditempuh, pembuat Undang-Undang pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi korban perkosaan harus diperluas guna memberikan perlindungan tidak hanya pada perempuan, tetapi juga pada setiap orang yang berpotensi menjadi korban kekerasan seksual dan terutama korban pemerkosaan. Pengaturan yang berpihak kepada korban kekerasan seksual, terutama perkosaan itu dapat dilakukan juga dengan legislator mengubah formasi pasal 285 KUH yang tidak hanya menyangkut korban perempuan, tetapi juga setiap orang.

" Masyarakat termasuk para penegak hukum seyogyanya juga ikut mendukung mereka yang menjadi korban kekerasan seksual yang luas, termasuk korban perkosaan, baik itu laki-laki maupun perempuan untuk mendapatkan perlindungan hukum dengan melakukan rekonstruksi pemahaman terhadap pasal 285 KUHP yang lebih menekankan kepada pemberian perlindungan kepada setiap orang, sebagai wujud konkret cita hukum, yaitu Pancasila sebagai jiwa bangsa (Volksgeist) Indonesia yang dilandasi oleh rasa kemanusiaan yang adli dan beradab, " Pungkasnya.


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id

N. S. Latifah

Redaksi yang malang melintang di bidang jurnalisme