Permukiman Kumuh di Perkotaan antara Empati Vs Komitmen

  • 14 Oktober 2016
  • 5717

Wakil Rektor II UNTAG Surabaya Dr. Ir. RA. Retno Hastijanti, MT menyoroti tentang ‘Permukiman Kumuh di Perkotaan: antara Empati Vs Komitmen’. Dosen Teknik Arsitektur ini adalah Tim Pengawasan Cagar Budaya Kota Surabaya.

Awalnya, suatu kawasan yang indah, terbentuk dari sekumpulan rumah­rumah. Didirikan di sekitar sumber air, sumber pangan ataupun pasar tradisional. Kawasan itu, masih disebut sebagai desa. Makin lama, makin berkembang, sehingga lebih luas, padat dan beragam fungsi. Seluruh fungsinya, menjamin  perikehidupan dan peningkatan kesejahteraan penghuninya. Sampai suatu saat, kawasan itu dapat disebut sebagai kota. Makin luas, makin padat dan makin beragam fungsi. Akhirnya, ia tidak saja menghidupi penghuni asli, tetapi menjadi tempat tujuan para pendatang untuk mencapai kesejahteraan hidup yang lebih baik. Maka kota itu tidak lagi hanya meluas, memadat, dan multi-fungsi tetapi juga multi­budaya dan multi­etnis. Sampai pada titik tertentu, pengembangan wilayah tidak lagi bisa meluas. Tetapi intensitas untuk memadat dan mengembangkan fungsi makin tinggi. Ini membuat kawasan tersebut menjadi kehilangan keseimbangan ruangnya, sehingga terjadilah proses perubahan ruang. Dengan berbagai pergulatan untuk berebut mencari kehidupan yang layak. Salah satu dampak dari proses perubahan ruang itu adalah permukiman kumuh. Permukiman kumuh, bukanlah hasil akhir dari proses perubahan ruang. Ia hanyalah salah satu indikator dari adanya proses tersebut.

Berbagai definisi tentang permukiman kumuh telah banyak diungkapkan oleh para ahli. Pada dasarnya permukiman kumuh dapat diartikan sebagai suatu lingkungan permukiman yang telah mengalami penurunan kualitas atau memburuk (deteriorated). Baik dari aspek fisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya. Dalam kondisi seperti ini, penghuninya tidak memungkinkan untuk mencapai kehidupan yang layak, bahkan dapat pula dikatakan bahwa para penghuninya benar­benar dalam lingkungan yang sangat rapuh. Berbagai indikator permukiman kumuh juga telah dikemukakan. Paling tidak dari berbagai aspek yang terkait dengan sosial, psikologi, demografi, kesehatan, pendidikan, teknik, infrastruktur, fasum, estetika, peraturan, keamanan, kenyamanan dan lokalitas. Mungkin banyak aspek lagi yang belum tersebut. Apapun indikatornya, pada dasarnya merujuk pada simpulan bahwa permukiman itu tidak layak bagi kehidupan penghuninya. Bahkan pada banyak kasus, predikat permukiman kumuh sekaligus disandang oleh permukiman liar. Kesimpulannya, permukiman kumuh itu menjadi elemen yang mengganggu keseimbangan ruang kota. Kota yang seharusnya indah, nyaman, aman, sehat, dan sejahtera, menjadi tidak lagi sesuai cita­cita para pengelolanya. Keseimbangan ruang kota menjadi terganggu, sehingga terjadi proses perubahan untuk mengembalikan kondisi yang sesuai cita­cita para pengelolanya.

Proses ini diawali dengan hilangnya sistem komunikasi antara pengelola kota (yang dapat dianalogikan sebagai Eywa) dan penghuni permukiman (yang dapat dianalogi­kan sebagai Suku Na’vi). Para penghuni, yang umumnya adalah para pendatang, terdesak, tidak mampu memenuhi kebutuhan tempat tinggalnya. Harga tanah terlalu tinggi, harga rumah tak terjangkau, harga material tak tersentuh, karena untuk memenuhi kebutuhan pokok saja, mereka harus mengais di tempat sampah. Diam­diam, kemudian mereka menempati tanah­tanah milik pengelola kota, tempat­tempat yang dalam aturannya, tidak boleh ada bangunan diatasnya. Pinggir kali, pinggir rel, pinggir jalan umum, kolong jembatan, ruang terbuka hijau, bahkan kuburan, merupakan tempat terbaik bagi mereka. Awalnya, hanya satu atau dua orang, tetapi makin lama makin banyak, sehingga memadat. Akhirnya, permukiman kumuh­pun menjelma.

Dari proses tersebut, ditemukan adanya pelanggaran batas. Permukiman kumuh dan liar yang dibangun di tempat­tempat yang tidak diperbolehkan. Tidak diperbolehkan, karena telah diatur dalam undang­undang atau peraturan­peraturan pengelola kota. Segala undang­undang dan peraturan­peraturan ini, disebut sebagai kesepakatan dalam bentuknya yang tertinggi. Proses ini kemudian menimbulkan konflik. Menimbulkan ketidaksepakatan, antara pengelola kota dengan penghuni permukiman.

Apa jadinya bila Eywa tidak bersepakat dengan Suku Na’vi? Eywa tidak akan lagi menjamin kehidupan Suku Na’vi. Tidak akan lagi ditumbuhkan tanaman­tanaman yang menjamin ketersediaan pangan mereka. Tidak akan ada lagi pohon besar untuk hunian mereka. Karena terdesak kebutuhan untuk hidup, Suku Na’vi pun akan membabi buta merusak lingkungannya. Bahkan bukan tidak mungkin merusak tempat Eywa bersemayam, serta membunuh Eywa. Ekosistem Planet akan rusak, dan akhirnya Suku Na’vi pun bisa punah. Seperti itulah gambaran hilangnya keseimbangan ruang karena hilangnya jaringan komunikasi, terjadinya ketidaksepakatan dan akhirnya timbullah berbagai pelanggaran.

Peristiwa pelanggaran berbagai aturan yang ada, menggiring pada tanggapan pengelola kota. Tanggapan  ini berupa berbagai tindakan untuk menyelesaikan permasalah permukiman kumuh dan liar tersebut. Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, tanggapan ini akan melibatkan empati dan komitmen. Apabila empati yang dominan, tanpa diiringi komitmen, maka permukiman itu akan dibiarkan. Karena pengelola kota merasa ‘kasihan’ kepada mereka. Padahal, keberadaan permukiman kumuh, mau tidak mau, merugikan warga kota lainnya. Contohnya permukiman kumuh di pinggir kali, membuat kali banjir di musim hujan, dan banjir itu menyebar mengenai permukiman lain yang tidak kumuh. Proses pembiaran, dapat berakibat fatal terhadap perikehidupan di dalam kota tersebut. Lalu, bagaimana sebaliknya? Apabila komitmen yang dominan, dan tidak ada empati. Pengelola kota akan menjadi tukang gusur yang tidak pandang bulu. Dengan berpedoman bahwa seluruh hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, maka slogan ‘bongkar paksa’ dan ‘gusur’, menjadi primadona. Dan kemudian, tidak ada perencanaan kedepan bagi mereka yang tergusur dan tersingkirkan.  Berbagai permasalahan baru akan timbul setelahnya. Dan bila dikaitkan dengan pembahasan sebelumnya, maka kedua respon tersebut sama­sama ‘tidak manusiawi’. mukiman lain yang tidak kumuh. Proses pembiaran, dapat berakibat fatal terhadap perikehidupan di dalam kota tersebut. Lalu, bagaimana sebaliknya? Apabila komitmen yang dominan, dan tidak ada empati. Pengelola kota akan menjadi tukang gusur yang tidak pandang bulu. Dengan berpedoman bahwa seluruh hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, maka slogan ‘bongkar paksa’ dan ‘gusur’, menjadi primadona. Dan kemudian, tidak ada perencanaan kedepan bagi mereka yang tergusur dan tersingkirkan.  Berbagai permasalahan baru akan timbul setelahnya. Dan bila dikaitkan dengan pembahasan sebelumnya, maka kedua respon tersebut sama­sama ‘tidak manusiawi’.


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id