Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Suwarno Abadi berhasil meraih gelar doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum (FH) UNTAG Surabaya dengan disertasinya “ Putusan Ultra Petita Dalam Judicial Review Oleh Mahkamah Konstitusi ”. Ujian terbuka disertasi Suwarno dilaksanakan di ruang Meeting Room 1 Gedung Graha Wiyata lantai 1 pada jumat (20/2/2015).
Tarik ulur tentang boleh dan tidaknya putusan yang bersifat ultra petita terus bergulir, sehingga muncul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 48/PUU-IX/2001 tentang Pencabutan Pasal-pasal dalam UU MK No. 8 Tahun 2011 yang berkaitan dengan kewenangan MK terhadap putusan ultra petita. Dalam putusan tersebut dijelaskan, bahwa Pasal 45 A dan 57 ayat (2a) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Kritik para pihak bahwa putusan MK menyalahi doktrin larangan ultra petita semata-mata pengaruh khasanah bidang hukum perdata dan pidana yang mengakar kuat di kalangan hukum. Berdasarkan masalah tersebut pria kelahiran Gucialit, Lumajang ini tertarik melakukan penelitiannya.
Suwarno, di dalam disertasinya memberikan beberapa kesimpulan mengenai putusan ultra petita dalam pengajuan Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang dilakukan oleh MK. Pertama, putusan ultra petita yang dilakukan oleh MK dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 memiliki beberapa karakteristik, yaitu (1) MK hanya mengabulkan satu pasal yang diajukan oleh pemohon, meskipun hanya mengabulkan satu pasal dari beberapa pasal yang dimohonkan untuk ditinjau ulang, MK memutuskan untuk membatalkan seluruh Undang-Undang tersebut dan menyatakan Undang-Undang dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang Dasar serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat meskipun hal ini jauh melebihi apa hang diminta oleh pemohon. (2) Untuk menghindari kekosongan hukum putusan MK yang membatalkan sebuah Undang-Undang dan menyatakan Undang-Undang yang dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, MK dapat memberlakukan kembali Undang-Undang yang lama. Hal ini terjadi pada pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang ketenagalistrikan yang memberlakukan kembali Undang-Undang Nomor 15 tahun 1985. (3) MK dalam memutuskan suatu perkara judical review dapat mengesampingkan asas bahwa tidak seorang pun dapat menajadi hakim dalam kepentingan perkaranya sendiri. Secara normatif, Pasal 29 ayat (5) dan (6) UU No.4/2004 menyatakan seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
Kedua, MK dalam melaksanakan judical review Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, beberapa putusan MK telah mengeluarkan putusan ultra petita atau putusan yang melebihi dari yang dimohonkan pemohon. Ratio decidenci yang mendasari MK mengeluarkan putusan ultra petita yaitu, (1) hukum acara yang berkaitan dengan pengujian Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 menyangkut kepentingan umum yang akibat hukumnya bersifat orga omnes, sehingga tidak tepat untuk melihatnya sebagal hal yang bersifat ultra petita yang dikenal dalam konsep hukum perdata. Larangan untuk mengadili dan memutus melebihi apa yang dituntut (petitum) termuat dalam pasal 178 Ayat (2) dan (3) HIR serta padanannya dalam pasal 189 Ayat (2) dan (3) RBg, yang merupakan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama di Indonesia. (2) Pertimbangan keadilan dan kepantasan, sebagaimana tampak antara lain putusan MK tanggal 23 Mei 1970, tanggal 14 februari 1970, dan tanggal 8 januari 1972 serta putusan yang lain, kemudian dimana ditegaskan bahwa Pasal 178 Ayat (2) dan (3) HIR dan Pasal 189 (2) dan (3) RBg tidak berlaku secara mutlak karena adanya kewajiban hakim untuk bersikap aktif dan selalu harus berusaha memberikan putusan yang benar-benar menyelesaikan perkara. (3) Dalam gugatan perdata biasanya dicantumkan permohonan penggugat kepada hakim untuk menjatuhkan keputusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Dengan demikian, hakim memiliki keleluasaan untuk menjatuhkan putusan lebih dari petitum. Terlebih lagi bagi hakim konstitusi yang menjalankan hukum acara dalam perkara pengujian Undang-Undang yang terkait dengan kepentingan umum. Meskipun yang mengajukan permohonan pengujian suatu Undang-Undang adalah perorangan yang dipandang memiliki legal standing, akan tetapi Undang-Undang yang dimohonkan pengujian tersebut berlaku umum dan menyangkut kepentingan masyarakat luas daripada sekedar mengenai kepentingan pemohon sebagai perorangan. Apabila kepentingan umum dimaksud menghendakinya, hakim konstitusi tidak boleh terpaku hanya pada pemohon atau petitum yang diajukan.
Selain itu, Suwarno juga memberikan dua saran didalam disertasinya yaitu, Pertama dengan dianutnya putusan ultra petita di MK, seharusnya diikuti dengan perumusan Undang-Undang untuk mengaturnya lebih terperinci dengan berpedoman pada pertimbangan hukum yang beralasan. Hal ini diharapkan agar putusan ultra petita yang dilakukan oleh MK tersebut tidak lagi menimbulkan persepsi yang berbeda di kalangan masyarakat umum. Pengaturan ultra petita dapat dimasukan dalam Undang-Undang atau UUD 1945 atau juga dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi, sehingga dasar hukumnya menjadi jelas dan tidak membuat kalangan publik mengalami kebingungan.
Kedua, pemberlakuan putusan ultra petita dalam putusan yang dilakukan oleh MK hendaknya tidak terlalu jauh dalam menafsirkan UUD 1945, karena hal itu justru akan memunculkan putusan-putusan inkonstitusional yang dapat menjadikan kontroversi dan pemahaman yang berbeda ditengah-tengah masyarakat.