Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Pemilihan Gubernur Jawa Timur (Pilgub Jatim) akan digelar 27 Juni 2018 mendatang. Masih kurang lebih dua bulan lagi pelaksanaannya. Dua pasangan, yakni Calon Gubernur Khofifah Indar Parawansa dan Calon Wakil Gubernur Emil Dardak, dengan partai pendukung Partai Demokrat, PPP, Nasdem, PAN, dan Hanura; jumlah kursi pendukung 42 kursi. Di pihak lain, Calon Gubernur Saifullah Yusuf dan Calon Wakil Gubernur Puti Guntur Soekarno, dengan partai pendukung PKB, PDI-P, Gerindra, dan PKS; jumlah kursi pendukung 58 kursi.
Untuk memetakan kekuatan para kandidat yang bersaing, tentunya kita harus melihat dulu kultur pemilih di Jatim. Secara umum basis pemilih kawasan Jatim dikelompokan menjadi tiga. Pertama, kelompok santri atau kelompok religius atau lebih spesifiknya Nahdlatul Ulama (NU). Kelompok kedua, nasionalis; dan ketiga, kelompok pemilih rasional (Dadang Kurnia, 2017).
Tapal Kuda yang meliputi Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi, hingga Madura memiliki basis pemilih berlatar santri. Mataraman yang meliputi Ngawi, Madiun, Pacitan, Magetan, Kediri, Nganjuk, Tulungagung, Blitar, Trenggalek, Tuban, Lamongan, dan Bojonegoro pemilihnya berlatar belakang nasionalis. Sementara pemilih rasional tercecer dari Surabaya hingga Malang.
Terlepas dari pemetaan kekuatan, kita akan seperti kebingungan untuk mencari calon pemimpin. Mengapa? Kedua pasangan merupakan kombinasi pasangan cagub-cawagub Jawa Timur ideal. Selain itu, kedua pasangan juga merupakan kombinasi pasangan ideal untuk kepemimpinan politik, yakni religius dan nasionalis. Maka, biarlah rakyat memilih siapa yang disukainya.
Pinter, Bener, dan Banter
Ada pemeo, carilah pemimpin yang masih segar dan fresh. Maksudnya, munculkan calon pemimpin baru yang lebih berintegritas dan amanah. Baik itu presiden, gubernur juga bupati atau walikotanya. Saatnya bagi mereka untuk tampil dan menawarkan diri, dengan gagasan yang lebih segar untuk membangun bangsa dan negara ini. Yaitu gagasan-gagasan besar untuk mengembalikan negeri besar ini menjadi negeri yang loh jinawi, toto tentrem kertoraharjo. Memang ini semboyan kuno. Semboyan yang sangat ingin dijangkau, tapi kendalanya begitu kompleks. Saking kompleksnya, menjadi tidak tahu, harus dari mana memulainya. Padahal, semua tahu, negeri ini memerlukan tindakan cepat agar tidak terus meluncur ke jurang kehancuran. Sementara pemimpin yang diberi mandat memiliki karakter lamban dalam mengambil keputusan penting.
Secara sederhana, seorang pemimpin itu harus pinter, bener dan banter. Yaitu, pandai dan cakap, penuh dengan nilai kebaikan dalam dirinya, dan bertindak cepat serta tegas. Ketiganya mutlak harus dimiliki kalau ingin sukses. Salah satu saja tidak ada, pasti ia akan gagal dan akibatnya sangat menyengsarakan yang dipimpinnya. Semua tahu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) orangnya pinter dan bener. Sayangnya, ia tidak banter, tidak cepat, selalu lamban dalam mengambil keputusan-keputusan strategis dan penting. Akibatnya, rakyatnya menanggung beban derita yang berkepanjangan. Tidak ada yang menyangkal, bahwa negeri ini tak akan bisa balik jadi negeri loh jinawi kalau pemimpinnya selalu lamban seperti itu. Tampaknya, karakter tidak banter itu, sepertinya susah untuk dirubah jadi banter di diri SBY. Dan karena itu, bangsa ini susah pula untuk jadi bangsa yang maju, makmur, rahayu, tenteram dan sentosa, di mana rakyatnya tidak menderita lagi.
Memilih Siapa?
Gubernur Jawa Timur yang baru nanti, diharapkan adalah sosok pemimpin baru yang segar dan fresh. Pokoknya yang penting, ia harus punya tiga sifat dasar itu, yaitu, pinter, bener dan banter. Yakinlah, dengan modal dasar seperti itu, maka Jawa Timur akan bisa maju semaju-majunya. Karenanya tak ada nasehat yang afdhol bisa disampaikan, kecuali pilihlah pemimpin Anda dengan hati-hati.
Artinya, pilihan politik terhadap pasangan kandidat gubernur Jawa Timur itu perlu lebih didasarkan pada pemahaman yang benar tentang kualitas kepribadian maupun kapasitas dan kompetensi calon dalam memimpin daerahnya. Walau bisa berkilah, karena alasan pragmatisme ekonomi di tengah beban hidup yang makin sulit, sudah tidak zamannya lagi menjatuhkan pilihan politik hanya atas dasar imbalan materi jangka pendek yang nilainya tidak sebanding dengan resiko kebobrokan pemerintahan yang justru akan menyengsarakan rakyat. Kalau terpaksa harus menerima imbalan materi itu, ya terima saja, apa susahnya. Tapi, ketika di bilik suara, konsistenlah dengan pilihan hati Anda sendiri.
Jadilah pemilih yang otonom, mandiri dan independen. Maksudnya, jadilah pemilih yang cerdas, kritis dan bertanggungjawab. Sebagai pemegang kedaulatan, setiap warga masyarakat harus mampu menggunakan hak pilihnya secara mandiri, rasional, obyektif, dan bebas dari tekanan pihak manapun. Bebas dari jebakan iming-iming dan janji maupun pemberian materi yang sengaja dilakukan untuk membeli suara. Juga, jangan sampai menjatuhkan pilihan hanya atas dasar ikatan sentimen primordial semata, misalnya hanya atas dasar hubungan kekerabatan, sentiman kepartaian, keagamaan, ataupun ikatan-ikatan sosial lain. Memilih calon yang benar-benar berkualitas adalah tanggungjawab kita bersama, jika ingin memiliki pemimpin yang mampu membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi Jawa Timur.
Agaknya masih cukup waktu, sekitar dua bulan, untuk mencermati dan memilih gubernur Jawa Timur. Terutama bagi para pegawai negeri sipil (PNS). Ini karena pasangan kandidat yang muncul ada dari kalangan top birokrasi, atasan para PNS. Baik atasan yang masih menjabat atau sudah mantan. Maka tetap bersikaplah loyal sepanjang itu urusan kedinasan. Tetapi, bersikaplah mandiri ketika itu di luar urusan kedinasan. Jangan lagi dicampuradukkan antara urusan dinas dan non-dinas. Urusan menjatuhkan pilihan politik, sepenuhnya adalah urusan non-dinas. Tapi, bersikap mandiri seperti itu, bagi PNS tidaklah mudah. Karena mereka sudah terlalu lama berada dalam posisi yang selalu digiring untuk mendukung kekuatan politik yang sedang berkuasa. Sementara di era reformasi ini, praktik penunggangannya dilakukan oleh partainya atasan/sang kepala daerah.
Namun satu hal yang perlu diingat, sebagai rakyat, baik PNS atau bukan, memilih gubernur adalah untuk kebaikan dan kesejahteraan bersama. Salus populi suprema lex.
Penulis : Soetanto Soepiadhy, Dosen UNTAG Surabaya dan Pendiri ‘’Rumah Dedikasi’’ Soetanto Soepiadhy
Redaksi yang malang melintang di bidang jurnalisme