Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Batik adalah salah satu hasil budaya warisan Indonesia. Berkembangnya teknologi membuat batik lahir dengan desain baru, bahkan batik kerap dipakai sebagai busana dalam acara formal.
Setiap tahunnya, pada 2 Oktober, rakyat Indonesia merayakan Hari Batik Nasional. Tiap momentum itu, masyarakat Indonesia mulai dari pelajar, pekerja kantoran, hingga pejabat negara dianjurkan untuk mengenakan batik.
Nama batik sendiri, diambil dari kata ‘amba titik’ dalam bahasa Jawa yang berarti ‘menulis titik’. Istilah ini menggambarkan bagaimana cara membuat titik dengan lilin yang menetes pada kain.
Awalnya, batik hanya digunakan untuk pakaian raja dan keluarga kerajaan. Karena pekerja di kerajaan tinggal di luar keraton, mereka sering membawa pekerjaan membatik ke luar kerajaan. Dari situlah masyarakat banyak melihat dan meniru pembuatan batik.
Kegiatan membatik ini mulanya hanya dikerjakan oleh perempuan saja, akan tetapi saat ini membuat batik dapat dilakukan oleh siapapun. Batik sendiri sudah ada sejak zaman Majapahit dan terus berkembang hingga saat ini.
Batik Muncul Pada Zaman Majapahit
Batik sudah menjadi kebudayaan di kerajaan Majapahit seperti Mojokerto dan Tulungagung. Pada saat itu, Mojokerto menjadi kebudayaan di kerajaan Majapahit di mana batik mulai dikenal. Sedangkan Bonorowo kala itu dikuasai oleh Adipati Kalang yang tak tunduk kepada kerajaan Majapahit. Akibat Adipati Kalang tak ingin tunduk, maka terjadilah pertempuran di sekitar Desa Kalangbret yang menyebabkan Adipati Kalang tewas dan Majapahit berhasil menguasai Tulungagung.
Sejak itulah, prajurit yang tinggal di Tulung Agung mulai membawa budaya batik dari Majapahit. Dalam perkembangannya, batik Mojokerto dan Tulung Agung banyak dipengaruhi oleh batik Yogyakarta. Hal ini dikarenakan selama bentrokan tentara kolonial Belanda dengan pasukan Pangeran Diponegoro, beberapa pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri ke arah timur di daerah Majan. Oleh karena itu karakteristik batik Kalangbret dari Mojokerto hampir sama dengan Yogyakarta, dasarnya putih dan warnanya coklat muda, serta biru gelap.
Perkembangan Batik Pada Zaman Penyebaran Islam
Saat itu, seni membatik baru ada di dalam lingkungan Keraton saja. Karena putri Keraton Solo menjadi istri dari seorang Kyai, yakni Hasan Basri. Maka dibawalah ke Tegal Sari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. Selain itu, tak sedikit keluarga Keraton Solo yang belajar di pesantren milik sang Kyai.
Kala itu, peralatan yang digunakan dalam membatik merupakan buatan dalam negeri yang berasal dari kayu-kayuan seperti pohon tom, mengkudu, dan kayu tinggi. Sedangkan bahan kain putihnya juga memakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import bam dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.
Masuknya Batik Cap
Setelah perang dunia pertama, pembuatan batik cap di Ponorogo barulah dikenal oleh kalangan luas. Setelah dibawa oleh seorang dari China bernama Kwee Seng dari Banyumas. Pada awal abad ke-20, daerah Ponorogo terkenal batiknya, sebab dalam pewarnaan batiknya, dinilai tidak luntur.
Oleh karena itu, batik-batik tersebut mulai dilirik oleh pengusaha batik dari Banyumas dan Solo. Berkat dikenalnya batik cap, maka produksi Ponorogo setelah perang dunia pertama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.
Penetapan Hari Batik Nasional
Batik menjadi kebanggan, tak hanya di Indonesia batik pun sudah banyak dipakai oleh orang-orang mancanegara. Sampai pada akhirnya, tepat pada 2 Oktober dijadikan sebagai Hari Batik Nasional.
Hari Batik Nasional sendiri berawal ketika batik masuk dalam Daftar Perwakilan Warisan Budaya Tak-benda UNESCO (ICH). Sejarah hari batik nasional diinisiasi saat batik diakui pada saat sidang ke-4 Komite Antar -Pemerintah tentang Warisan Budaya Tak-benda yang diselenggarakan UNESCO di Abu Dhabi pada 2 Oktober 2009. (RA)
Sumber : https://seruni.id/sejarah-peringatan-hari-batik-nasional/