Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 — sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 — sebagai titik kulminasi bangsa Indonesia dalam perjuangan memperoleh kemerdekaan. Proklamasi Kemerdekaan ditandatangani oleh Soekarno-Hatta, atas nama bangsa Indonesia.
Apabila diteliti terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada khususnya dan negara-negara lain pada umumnya, maka sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang terdapat di dalamnya – menurut A.A.H. Strycken dalam bukunya Het Staatsrecht van het Koninkrijk der Nederlanden yang dikutip oleh Sri Soemantri M. – dapat dikatakan, bahwa undang-undang dasar sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal, yang berisi: hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau; tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa; pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang; dan suatu keinginan di mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis juga dituangkan dalam sebuah dokumen formal; dokumen tersebut ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. UUD 1945 yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia itu dirancang oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan tanggal 16 Juli 1945. Apabila hari-hari libur dihitung dan tidak diadakan perbedaan antara sidang paripurna dan sidang panitia, UUD 1945 direncanakan hanya dalam waktu 49 (empat puluh sembilan) hari saja. Dari empat puluh sembilan hari, 4 (empat) hari pada Sidang Paripurna Pertama, dan 7 (tujuh) hari Sidang Paripurna Kedua.
Undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintahan sedemikian rupa, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindungi. Gagasan ini dinamakan konstitusionalisme.
Carl J. Freidrich dalam bukunya Constitutional Government and Democracy, seperti dikutip oleh Dahlan Thaib et. al., konstitusionalisme yaitu: ‘’gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah’’. Pembatasan yang dianggap paling efektif ialah dengan jalan membagi kekuasaan. Freidrich mengatakan, bahwa dengan jalan membagi kekuasaan, konstitusionalisme menyelenggarakan suatu sistem pembatasan yang efektif atas tindakan-tindakan pemerintah.
Pembatasan-pembatasan ini tercermin dalam undang-undang dasar atau konstitusi. Jadi dalam anggapan ini, konstitusi mempunyai fungsi yang khusus dan merupakan perwujudan atau manifestasi dari hukum yang tertinggi (supremation of law) yang harus ditaati, bukan hanya oleh rakyat tetapi oleh pemerintah serta penguasa sekalipun.
Menurut penelitian Henc van Maarseveen dan Ger van der Tang dalam sebuah studinya terhadap konstitusi-konstitusi di dunia, yang dituangkan dalam sebuah buku Written Constitutions, dikatakan antara lain bahwa: pertama, constitution as a national document, sebagai dokumen nasional; dan kedua, constitution as a birth certificate, sebagai piagam kelahiran negara.
Konstitusi sebagai dokumen nasional mempunyai fungsi: having a constitution to show to the outside world, mempunyai konstitusi itu untuk menunjukkan eksistensinya kepada dunia luar; to emphasize the state’s own identity, untuk menunjukkan identitas suatu negara; constitution as a means of forming the state’s own political and legal system, konstitusi sebagai alat untuk membentuk sistem politik dan sistem hukum suatu Negara.
Konstitusi sebagai piagam kelahiran negara mempunyai fungsi: constitution as a sign of adulhood and independent, konstitusi sebagai tanda kedewasaan dan kemerdekaan suatu bangsa; constitution as a politico and legal document, konstitusi sebagai dokumen politik dan dokumen hukum.
1. A Politico-Legal System
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah melakukan Perubahan Pertama sampai dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Perubahan Pertama UUD 1945, disahkan oleh MPR tanggal 19 Oktober 1999 dalam Sidang Umum MPR, berlangsung tanggal 14-21 Oktober 1999. Mengingat terbatasnya waktu, kesatuan pendapat yang dicapai dengan cara mengutamakan kesepakatan antar fraksi MPR. Selanjutnya Sidang Umum MPR menyelesaikan sembilan pasal dan tiga belas ayat, terdiri atas: Bab tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara; Bab tentang Kementerian Negara; dan Bab tentang Dewan Perwakilan Rakyat.
Terhadap hasil Perubahan Pertama UUD 1945 dengan merujuk pada terbatasnya waktu, maka kesatuan pendapat yang dicapai dengan cara mengutamakan kesepakatan antar fraksi MPR. Hal ini menunjukkan, bahwa pembahasan substansi hukum dalam Perubahan Pertama UUD 1945 yang dilakukan oleh Panitia Ad Hoc I MPR menunjukkan kentalnya warna kepentingan politik anggota MPR
Perubahan Kedua UUD 1945, disahkan oleh MPR tanggal 18 Agustus 2000 dalam Sidang Tahunan MPR, berlangsung 7-18 Agustus 2000. Adanya sikap tidak konsisten dari beberapa fraksi MPR, mengakibatkan Perubahan Kedua UUD 1945 yang dilakukan oleh Badan Pekerja MPR hanya menyelesaikan dua puluh lima pasal dan lima puluh satu ayat, terdiri atas: Bab tentang Pemerintahan Daerah; Bab tentang Dewan Perwakilan Rakyat; Bab tentang Wilayah Negara; Bab tentang Warga Negara dan Penduduk; Bab tentang Hak Asasi Manusia; Bab tentang Pertahanan dan Keamanan; danBab tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Hasil Perubahan Kedua UUD 1945 yang dilakukan oleh Badan Pekerja MPR tidak optimal. Anggota-anggota MPR disibukkan dengan perdebatan dan perebutan kekuasaan. Mereka lebih tertarik membahas pembagian tugas Presiden dan Wakil Presiden, jatah kursi partainya dalam kabinet, daripada mencermati pasal demi pasal Perubahan Kedua UUD 1945. Pasal strategis seperti pemilihan Presiden secara langsung, kekuasaan kehakiman, perekonomian, pemilihan umum terlewati dari pembahasan sidang.
Terhadap hasil Perubahan Kedua UUD 1945 terlihat, bahwa hukum merupakan produk politik. Hukum sebagai produk merupakan proses konflik, proses yang penuh dengan muatan dan aspirasi titipan kepentingan politik.
Perubahan Ketiga UUD 1945, disahkan oleh MPR tanggal 9 November 2001 dalam Sidang Tahunan MPR, berlangsung 1-9 November 2001. Sidang Tahunan MPR menyelesaikan tiga bab, dua puluh tiga pasal, dan enam puluh empat ayat ketentuan UUD 1945. Perubahan Ketiga UUD 1945 diarahkan untuk menyempurnakan pelaksanaan kedaulatan rakyat, menyesuaikan wewenang MPR, mengatur pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, mengatur impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden, membentuk lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD), mengatur pemilihan umum, menguatkan kedudukan dan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta meneguhkan kekuasaan kehakiman dengan membentuk lembaga baru, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY).
Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945, terjadi perubahan mendasar pada Pasal 1 ayat (2) yang sebelumnya menentukan ‘’Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat’’, berubah menjadi ‘’Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar’’. Perubahan yang sangat mendasar terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (2) telah menimbulkan reaksi keras dari Gerakan Nurani Parlemen, Forum Kajian Ilmiah Konstitusi, sekelompok Purnawirawan ABRI dan akademisi yang menentang rumusan itu. Mereka menilai perubahan tersebut telah mengubah dasar ‘’Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan’’, dan meniadakan eksistensi MPR sebagai lembaga tertinggi negara, sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Pandangan tersebut ditolak oleh sebagian kelompok yang lain, bahwa eksistensi MPR tidak akan hilang, tetapi berubah fungsi sebagai forum, dan bukan sebagai lembaga. Sebagai forum, MPR merupakan sidang gabungan atau joint session antara DPR dan DPD, yang nantinya dirumuskan dalam ketentuan Pasal 2, dalam rancangan Perubahan Keempat.
Terhadap hasil Perubahan Ketiga UUD 1945, MPR telah membentuk Tim Pakar, yang meliputi pakar hukum, pakar politik, pakar ekonomi, pakar agama, pakar pendidikan, dan pakar sosial budaya. Tim Pakar tersebut diperbantukan pada Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR. Semula Sub-Tim Pakar Politik dan Sub-Tim Pakar Hukum bekerja sendiri-sendiri, akhirnya disepakati agar dalam pembahasan substansi atau materi muatan konstitusi dalam Perubahan Ketiga; kedua sub-tim tersebut mengadakan rapat bersama. Kesepakatan tersebut dilakukan, karena dilihat dari substansi yang dibicarakan tidak ada perbedaan antara tinjauan ilmu politik dan tinjauan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum tata negara.
Perubahan Keempat UUD 1945, disahkan oleh MPR tanggal 10 Agustus 2002 dalam Sidang Tahunan MPR, berlangsung bulan Agustus 2002. Pada saat berlangsung Perubahan Keempat, muncul kelompok untuk menggagalkan perubahan UUD 1945 secara mendasar. Terdapat dua kelompok di masyarakat, perlu tidaknya perubahan diteruskan sampai tahap akhir, yaitu:
Pertama, kelompok neokonservatif. Kelompok ini ditandai dengan munculnya beberapa kelompok, baik di dalam maupun di luar MPR. Misalnya Gerakan Nurani Parlemen dimotori oleh Amin Aryoso, Forum Kajian Ilmiah pimpinan Usep Ranawijaya, dan Persatuan Purnawirawan ABRI atau Pepabri dengan Jenderal (Purn) Try Sutrisno sebagai ketua umumnya. Amin Aryoso menilai proses perubahan sudah “kebablasan”, karena terjadi perubahan terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (2), intinya menghapus eksistensi MPR. Try Sutrisno berpendapat UUD 1945 sudah cukup flexible, sehingga tidak perlu diubah lagi.
Kedua, kelompok pro reformasi. Kelompok ini menghendaki perubahan UUD 1945 diteruskan, karena hal ini merupakan tuntutan reformasi.
Mengapa timbul kontroversi di masyarakat? Hal ini disebabkan hasil Perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR sangat jauh dari ideal dan terkesan parsialistik, sehingga sistem yang dibangun oleh UUD 1945 sebagai suatu konstitusi menjadi kabur. Di samping itu, substansi atau materi muatannya banyak yang tumpang tindih antara pasal yang satu dengan pasal yang lain. Tujuan melakukan perubahan untuk menyempurnakan kekurangan yang ada pada UUD 1945, bukannya menjadi sempurna, bahkan sebaliknya.
Terhadap hasil Perubahan Keempat UUD 1945 menunjukkan, bahwa hukum merupakan hasil proses konflik politik.
Berdasarkan uraian Perubahan Pertama sampai dengan Perubahan Keempat UUD 1945 menunjukkan, bahwa substansi yang di bicarakan tidak ada perbedaan antara tinjauan ilmu pollitik dan tinjauan ilmu hukum (a politico-legal system).
2. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai A Politico-Legal System
C.F. Strong dalam bukunya Modern Political Constitutions, seperti dikutip oleh Sri Soemantri M., mengemukakan bahwa negara-negara di dunia ini terdapat dua macam sistem pemerintahan, yaitu presidential executive constitution (konstitusi sistem pemerintahan presidensial), dan parlementary executive constitution (konstitusi sistem pemerintahan parlementer). Dalam sistem pemerintahan presidential terdapat ciri-ciri pokok, sebagai berikut:
Di samping mempunyai kekuasaan nominal (sebagai Kepala Negara) Presiden juga berkedudukan sebagai Kepala Pemerintahan. Sebagai Kepala Pemerintahan, dia mempunyai kekuasaan yang besar; Presiden tidak dipilih oleh pemegang kekuasaan legislatif, akan tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau oleh dewan pemilih seperti berlaku di Amerika Serikat; Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif; Presiden tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan diadakan pemilihan umum. Biasanya Presiden dan pemegang kekuasaan legislatif dipilih untuk masa jabatan yang tetap.
Konstitusi yang di dalamnya memuat ciri-ciri tersebut di atas diklasifikasikan sebagai konstitusi sistem pemerintahan presidensial. Sebaliknya, sistem pemerintahan parlementer mempunyai ciri-ciri pokok sebagai berikut: Kabinet yang dipilih oleh Perdana Menteri dibentuk oleh atau berdasarkan kekuatan-kekuatan yang menguasai parlemen; Para anggota kabinet mungkin seluruhnya, mungkin sebagian adalah anggota parlemen; Perdana Menteri bersama kabinet bertanggung jawab kepada parlemen; Kepala Negara dengan saran atau nasihat Perdana Menteri dapat membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilihan umum.
Konstitusi yang di dalamnya memuat ciri-ciri tersebut di atas diklasifikasikan sebagai konstitusi sistem pemerintahan parlementer.
Sebagai konsekuensi dianutnya Sistem Pemerintahan Parlementer, akan terjadi hal-hal sebagai berikut: Dalam bentuk pemerintahan republik, Presiden mempunyai kedudukan sebagai Kepala Negara saja; Tanggung jawab pemerintahan terletak di tangan Perdana Menteri dan anggota-anggota kabinetnya; Presiden tidak dapat diganggu gugat.
Selain hal-hal di atas, kedudukan eksekutif (Perdana Menteri dan kabinetnya juga dipengaruhi oleh sistem kepartaian yang dianut. Apabila yang berlaku sistem dua partai, maka kedudukan eksekutif tidak mempunyai kedudukan yang kuat. Hal ini tergantung dari kerja sama antara partai-partai politik yang mendukung dan duduk dalam pemerintah.
Sebagaimana wacara yang berkembang, baik dalam masyarakat maupun dalam Panitia Ad Hoc I – saat melaksanakan perubahan UUD 1945 – ada kehendak untuk mengubah sistem pemerintahan yang dianut dalam UUD 1945. Kalau dipelajari UUD 1945 sebelum perubahan, ternyata sistem pemerintahan yang dianut mengandung aspek Presidensiil dan Parlementer.
Aspek Presidensiilnya terletak pada: Kekuasaan pemerintahan berada di tangan Presiden Republik Indonesia: Pasal 4 UUD 1945 sebelum Perubahan; Dalam menjalankan kekuasaannya, Presiden dibantu oleh Menteri-menteri yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden: Pasal 17 UUD 1945 sebelum Perubahan.
Sebaliknya, aspek Parlementernya terletak pada: Presiden dipilih oleh MPR dengan suara yang terbanyak: Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 sebelum Perubahan; Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR: Penjelasan Umum UUD 1945 sebelum Perubahan; MPR berwenang meminta pertanggungjawaban dari Presiden dan menilai pertanggungjawaban itu; MPR berwenang mencabut kekuasaan dari Presiden dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya.
Selanjutnya, wacana yang berkembang saat itu dan kemudian menjadi pembahasan dalam Panitia Ad Hoc I yaitu adanya kehendak untuk menganut Sistem Pemerintahan Presidensiil. Hal ini dapat dilihat dari adanya kehendak agar Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu paket oleh rakyat secara langsung.
Dalam perkembangannya, perubahan UUD 1945 telah menetapkan: Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (Pasal 6A); Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 7A).
Persoalan yang timbul adalah, apabila Presiden Republik Indonesia melakukan pelanggaran hukum, seperti umpamanya pengkhianatan terhadap negara dan tindak pidana berat lainnya. Hal ini membawa kita pada persoalan lain, yaitu perlunya institusi impeachment. Pertanyaannya, yaitu bagaimana impeachment itu dilaksanakan? Siapa yang akan ”mengajukan gugatan”, dan kepada badan apa gugatan itu ditujukan? Semua pertanyaan itu akan terjawab dalam Pasal 7B ayat (1) sampai dengan ayat
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa UUD 1945 merupakan sistem politik dan sistem hukum (a politico-legal system), karena substansi yang di bicarakan tidak ada perbedaan antara tinjauan ilmu politik dan tinjauan ilmu hukum. Selain itu UUD 1945 dikatakan sebagai a politico-legal system karena dapat dimanifestasikan dalam salah satu substansi atau materi muatan pasal UUD 1945, khususnya Pasal 7A.
Penulis : Soetanto Soepiadhy Pakar Hukum Konstitusi Untag Surabaya dan Pendiri ‘’Rumah Dedikasi’’ Soetanto Soepiadhy
Redaksi yang malang melintang di bidang jurnalisme